Bulan Oktober dibuka dengan peristiwa politik sekaligus sebagai catatan bersama untuk mengawal masa depan. Berbagai kota telah menetapkan sikap oleh generasi muda untuk berpihak. Sebagai salah satu bagian dari Rumah Budaya Rumata’, kami berpihak pada kemanusiaan. Dan, saya berharap andapun demikian.
Dalam edisi Oktober ini, kami mengabarkan perihal program LIPA Project, sebuah proyek lintas disiplin seni antara seniman Makassar dan UK. Ada informasi mengenai perkembangan Weaving Stories yang telah dialih-wahanakan oleh Dapoerdongeng Noesantara, serta aktivitas yang akan berlangsung di Rumata’, seperti Live Recording oleh PELAKOR (Pelantun Keroncong).
Kegiatan yang secara rutin berlangsung ialah MIWF Memory Project. Di edisi Oktober ini pula, kami mewawancarai Yandy Laurens tentang pendapatnya soal posisi film Indonesia Timur dalam skala nasional, juga rekomendasi podcast oleh LIttile Joyful Stories, mitra kreatif Rumata’ ArtSpace dan artikel mengenai kota Makassar oleh Telusur Kota.
Kami sangat senang bila Anda bersedia menjadi kontributor untuk mengirimkan tulisan, ulasan, atau bahkan kritik mengenai seni dan budaya Indonesia, terutama Indonesia Timur. Kami percaya bahwa keberagaman perspektif itu adalah salah satu kemewahan yang dapat kita lahirkan terus menerus.
Salam, dan selamat membaca!
Rachmat Hidayat Mustamin
Direktur Program & Kerjasama Rumata’ ArtSpace.
__
Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:
Kordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Penulis Bulan Oktober 2020: Yudhi Soerjoatmodjo (Dapoerdongeng Noesantara), Adiatma Hudzaifah Syukur, Yandy Laurens, Muchlis Abduh, Irma, Telusur Kota, Pamula Mita Andary, Wawan Kurniawan, William Pakan, Yoga Pratama, Rachmat Mustamin
Korektor: Amy Djafar.
Penerjemah: Edan Runge & Wawan Kurniawan.
October started with political events and discussions of approaches to the future. In cities the younger generation has set a stance by taking sides. As part of the Rumata ArtSpace, we stand up for humanity. And, I hope you do too.
In this October issue, we will inform you about the LIPA Project program, a cross-disciplinary art project between Makassar and UK artists. There is information about the development of Weaving Stories which has been adapted by Dapoerdongeng Noesantara, as well as activities that will take place at Rumata', such as a Live Recording by PELAKOR (Pelantun Keroncong/Keroncong Singers).
Another activity that takes place regularly is the MIWF Memory Project. Also, in this October issue, we interview Yandy Laurens about his opinion on the position of Eastern Indonesian films on a national scale, as well as podcast recommendations by Little Joyful Stories, Rumata' ArtSpace’s creative partner, and articles about Makassar by Telusur Kota.
We are very happy if you are willing to be a contributor to send writing, reviews, or even criticism about Indonesian art and culture, especially Eastern Indonesia. We believe that a diversity of perspectives is one of the services that we can continuously deliver.
Welcome and happy reading!
Rachmat Hidayat Mustamin
Director of Programs & Cooperation at Rumata 'ArtSpace.
__
Rumata' ArtSpace Newsletter Team:
Coordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Author Contributors October 2020: Yudhi Soerjoatmodjo (Dapoerdongeng Noesantara), Adiatma Hudzaifah Syukur, Yandy Laurens, Muchlis Abduh, Irma, Telusur Kota, Pamula Mita Andary, Wawan Kurniawan, William Pakan, Yoga Pratama, Rachmat Mustamin
Proofreader: Amy Djafar.
Translator: Edan Runge & Wawan Kurniawan.
3. Rachmat Hidayat Mustamin
Rachmat Hidayat Mustamin berprofesi sebagai sutradara film, penulis, penyair, dan seniman perfomarmans, saat ini berbasis di Makassar, Indonesia. Karya seninya berfokus pada eksplorasi medium dan hubungan antara imajinasi, gambar, bahasa, dan pengalaman imersif. Rachmat tertarik pada bentuk bahasa, narasi kolektif, sejarah sosial, dan perspektif yang menantang. Kolaborasi dengan seniman telah menjadi bagian besar dari praktiknya, bekerja untuk memikirkan kembali cerita serta melihat bagaimana biografi, elemen sosial-politik dapat digunakan sebagai alat kreatif.
4. Eliza Collin
Eliza Collin berprofesi sebagai seorang seniman dan desainer, pekerjaan ia berkaitan dengan masalah seputar produksi dalam kaitannya dengan material dan manusia. Keintiman desain menawarkan ruang penting untuk membahas hubungan material manusia sehari-hari dan politik dari proses yang terlibat di dalamnya. Hubungan ia dengan material sebagai desainer merupakan bagian integral dari filosofi bagaimana ia bekerja dan apa yang ia buat; dalam upaya untuk menjembatani keterputusan antara pemeliharaan materi, kerja manusia dan konsumsi akhirnya. Karya tersebut menolak kecepatan hiper dari konsumsi pasca-kapitalis. Ia telah menemukan dirinya dengan cermat memetakan rute dan cerita seputar produksi kuno, mengeksplorasi potensi masa depan kerajinan dan menggunakannya sebagai alat untuk meletakkan dasar bagi metodologi kontemporer canggih yang menantang sistem tidak fleksibel dan hierarkis yang manusia andalkan saat ini.
Keterkaitan erat dengan kerajinan tangan dengan komunitas, sejarah dan material lokal dibangun atas dasar kebutuhan dan kesempatan, hal ini dapat menjadi penggerak untuk kepentingannya di masa depan. Hilangnya dedikasi untuk memproses dan kebangkitan identitas merek berarti kehancuran yang hanya akan dikritik lebih lanjut saat manusia bergerak maju ke masa depan material yang lebih maju. Pekerjaan Eliza sendiri mengangkat masalah ini dan memberikan solusi.
Dalam beberapa minggu ke depan, anak-anak dan orangtua di Indonesia, yang termasuk kelompok paling menderita selama pandemi bakal mendapat kejutan yang menyenangkan!
Setelah enam bulan lamanya terkurung di rumah, mereka bakal bisa bergabung dalam petualangan yang mengasyikkan dengan menjelajahi kisah samudera dan hayati laut di sekitar pulau Sulawesi melalui kisah Samariona—seorang gadis kecil dari Mandar, Neneknya yang bijak, dan berbagai hewan laut yang turut membantunya menemukan dan menyelamatkan sang Ayah, nelayan yang hilang di laut.
Dapoerdongeng Noesantara, yang kembali bekerja sama dengan Teater Koma, mengadaptasi kisah Samariona menjadi drama radio untuk anak-anak yang pada tahap awal direncanakan sebanyak 8 episode, berdasarkan cerita pendek sastrawan dan dosen muda, Dahri Dahlan. Cerita ini awalnya dibuat untuk Weaving Stories 2019, program residensi mendongeng dan craft yang diinisiasi oleh British Council, Rumata’ ArtSpace, Makassar International Writers Festival, dan MakkoMikki Comic Lab.
Anak-anak dan orangtua dapat segera menikmati drama radio melalui berbagai platform podcast tak berbayar, mitra radio lokal, dan file audio (yang dapat didistribusikan ke komunitas-komunitas dengan akses internet terbatas) sebagai bagian dari inovasi program AkhirPekan@MuseumNasional—program dongeng tahunan yang kami rancang, susun, dan kelola untuk Museum Nasional Indonesia di Jakarta sejak 2013.
Sesuai ciri khas program dapoerdongeng, drama radio ini juga akan kami lengkapi dengan modul edukasi terintegrasi yang dikembangkan bersama mahasiswa senior Departemen Psikologi Universitas Pembangunan Jaya. Juga, akan ada tur virtual terhadap artefak pilihan yang menjadi bagian dari >190.000 benda bersejarah koleksi museum, serta lembar aktivitas belajar yang akan membantu anak-anak usia 6 sampai 11 tahun yang saat ini belajar dari rumah untuk mengeksplorasi sejarah alam dan warisan budaya Mandar dan Sulawesi.
Kami mengajak calon pendengar dan mitra media menghubungi kami untuk mendapatkan berita terkini dan kemungkinan kerjasama melalui manager@dapoerdongeng.com atau + 62-811-9338-911.
Over the coming weeks Indonesian children and parents who have suffered some of the worst consequences of the pandemic will be in for a little treat!
Having gone through a record-breaking six-month of confinement at home, many will soon be able to join in on an exciting adventure, exploring some of the mythical waters and marine life surrounding the island of Sulawesi through the story of Samariona --the little girl from Mandar, her wise grandmother, and the various ocean animals on a quest to help find and rescue her fisherman father lost at sea.
Dapoerdongeng Noesantara, in partnership with its long-time collaborator Teater Koma, is adapting the tale into an initial 8-episode radio drama for children from a short story by the young Mandar writer-scholar, Dahri Dahlan --originally created for the 2019 Weaving Stories storytelling and craft residency program by the British Council, Rumata Art Space, Makassar International Writers Festival, and MakkoMikki Comic Lab.
Children and parents will soon be able to enjoy the radio drama through various free-to-stream podcast platforms, local radio partners, and even audio files (posted to select communities with no or limited internet access) as part of our innovative AkhirPekan@MuseumNasional yearly weekend storytelling program, conceived and managed for the Indonesian National Museum in Jakarta since 2013.
Accordingly, this production will also be complimented with the integrated educational modules that have been the hallmark of our program. Developed with senior students from the Universitas Pembangunan Jaya’s Psychology Department, these include a virtual tour of select artifacts from the museum’s collection of over 190,000 historic objects as well as learning activities that will help kids aged 6 to 11 explore Mandar and Sulawesi’s natural and cultural history heritages.
We welcome potential listeners and media-partners to contact us for updates and collaborations at manager@dapoerdongeng.com, +62-811-9338-911.
Koran Tempo, 22 Oktober 2015
Oleh: Muchlis Abduh dan Irma
Tentukan pilihan dan lakukan usaha untuk mewujudkannya. Begitulah. Tekad Desi Trisnawati saat memutuskan mengikuti kompetisi Mater Chef Indonesia. “Suami dan anak saya sempat bertanya tentang motivasi saya ikut Master Chef,“ ujar pemenang MasterChef Indonesia Season 2 ini dalam talk show Inspirasi di Rumah Budaya Rumata’, Jumat dua pekan lalu, di Saoraja Ballroom, Wisma Kalla. Talk show ini merupakan kegiatan pertama Makassar Foodies yang dilaksanakan Rumah Budaya Rumata’ yang bekerja sama dengan Kalla Group.
Selain Desi, Yusuf Adirima hadir di sana. Melalui makanan, Yusuf-eks pejuang Islam Moro-setelah lepas dari penjara merintis bisnis usaha kuliner. Dia percaya bisnis ini memberikan kesempatan kedua bagi kehidupannya. Lewat rasa, Desi dan Yusuf berbagi kisah dan cerita tentang nilai-nilai yang diperoleh selama menggeluti dunia kuliner yang menjadi pilihan mereka.
Pertanyaan anak dan suami itu membuat Desi terenyak. Desi menjadi berpikir keras memastikan ikut dalam MasterChef Indonesia Season 2. Namun pertanyaan itu tak menghentikan niat Desi. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia meyakinkan diri sendiri bahwa motivasi untuk berlaga dalam kompetisi memasak ini bukanlah mengejar polularitas. Desi ingin menunjukkan bahwa sebuah mimpi harus diwujudkan. “Bahkan sering kita harus mampu keluar dari zona nyaman untuk menggapai mimpi, “ujar direktur salah satu hotel di Indonesia itu.
Desi juga ingin mengkritik anak muda yang mengungkapkan bahwa proses mewujudkan mimpi dan obsesi bak air sungai yang mengalir. Desi menolak anggapan itu. “Janganlah suka bilang terwujudnya obsesi seperti air yang mengalir saja. Tentukan pilihan dan berusahalah untuk mewujudkannya, “ujar Desi.
Perempuan yang juga bekerja sebagai konsultan rasa di Japanese Flavour Company Takasago sejak 2012 itu merasa berat menyandang gelar Master Chef. Soalnya, banyak orang menganggap dia mengetahui segalanya. “Saya lebih suka dipanggil Desi tanpa ada kata chef yang menyertainya. Saya merasa belum jadi chef.” Di luar negeri, kata Desi, seorang chef harus melalui jenjang. Makanya penyebutan gelar chef tak bisa sembarangan.
Tak sekadar berbagi cerita inspiratif, Desi juga memberikan beberapa tip. Mereka yang ingin menggeluti dunia kuliner harus rajin mencatat. Mencatat, kata Desi, akan sangat membantu seseorang memperkaya pengetahuan dan berkreasi dengan takaran bumbu sesuai dengan selera. “beda tangan, beda rasa,” ucap dia.
Sebagai peracik makanan, Desi melanjutkan, seorang chef harus kreatif dengan terus menghadirkan sesuatu yang baru serta bisa memenuhi keinginan pelanggan. Beberapa resep baru yang ia buat diakuinya berasal dari tantangan yang diberikan oleh pelanggan di restorannya.
Berbeda dengan cerita karier Desi yang terbilang lancar, Yusuf Adirima harus memulai usaha kulinernya dengan berusaha keras meraih kepercayaan masyarakat. Sebab, dia pernah mendekam di penjara selama 5 tahun akibat kasus terorisme. Keputusannya memilih bisnis kuliner sebagai kesempatan kedua dalam hidupnya, kata Yusuf, sangat dipengaruhi oleh Noor Huda Ismail, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, yang berfokus mendampingi narapidana kasus terorisme.
Setelah kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat, ia bisa mengembangkan bisnis kulinernya. Yusufpun mendakati komunitas pencinta makanan. Dia percaya bahwa di setiap daerah selalu saja ada orang yang punya hobi di bidang makanan. Yusuf kini mempunyai beberapa restoran. Salah satunya Dapoer Bistik, terletak di depan Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah di Semarang. Kebanyakan pelanggannya adalah polisi.
Direktur Rumata’ ArtSpace, Lily Yulianti Farid, yang memandu talk show tersebut, mengatakan kedua tokoh insporatif ini membagikan pengalaman baru dalam soal makanan. “Makanan tak sekadar makan dan makanan, tapi ada nilai-nilai dan semangat berbagi di dalamnya.” Peserta talk show didominasi kaum Hawa. Mereka tak hanya datang dari Makassar, tapi juga Kabupaten Takalar dan Toraja.
Ruang Berbagi di Makassar Foodies
Dunia kuliner bukan sekadar soal makanan. “Ada nilai dan semangat berbagi di dalamnya,” kata Lily Yulianti Farid, Direktur Rumata’ ArtSpace, penggagas Makassar Foodies-tempat para pecinta kuliner berbagi info kuliner.
Lily menuturkan perhelatan Makassar Foodies berawal dari kecintaan awak Rumata’ terhadap makanan. “Saya dan beberapa teman yang hobi makan punya ide, yaitu bagaimana menjadikan makanan perekat sosial di Masyarakat, “ ujar dia.
Ide ini kemudian didiskusikan bersama oleh Kalla Hospitality dan Rumah Budaya Rumata’. Hasilnya, mereka melihat perlunya memberi perhatian terhadap aspirasi pencinta kuliner makin marak dan banyak dikabarkan di media massa serta media sosial. Hanya, ulasan-ulasan yang bermunculan masih bersifat sporadic. Sedangkan cerita di balik menu yang terkenal atau restoran yang legendaris serta ulasan mendalam dengan sudut pandang foodies belum banyak ditulis langsung oleh para foodies itu sendiri. Makassar Foodies bisa menjadi ruang buat mereka.
Setelah hampir satu tahun vakum, akhirnya Little Joyful Stories Podcast merilis episode terbaru. In house creative partner Rumata’ ArtSpace ini turut memutus rantai penyebaran COVID-19 dengan menghentikan seluruh kegiatan rekaman. Di newsletter edisi Oktober ini, Little Joyful Stories juga merayakan tepat 1 tahun mereka mengudara sebagai podcast dongeng yang ditujukan untuk anak-anak belajar bahasa Inggris, maka dari itu, Tim Newsletter memberikan rekomendasi dongeng terbaru dari Little Joyful Stories yang berjudul “Daha and the Nagara’s Buffalo”.
Di episode 14, podcast ini bercerita tentang seekor kerbau yang dirawat oleh Pak pengembala yang kejam. Lelaki ini keras kepada kerbau-kerbaunya termasuk Daha. Suatu hari Pak gembala mengalami kecelakaan, namun untung saja Daha, kerbau yang baik hati, sigap menolong sehingga nyawa Pak Gembala terselamatkan. Apa yang terjadi pada Pak Gembala? Mengapa Daha begitu baik setelah apa yang dilakukan Pak Gembala padanya? Ingin tahu bagaimana cerita selengkapnya? Yuk simak dongeng ini di Spotify, Anchor, atau Apple Podcast. Selain episode 14 ini, Little Joyful Stories juga telah merilis 13 episode dongeng yang bisa kamu perdengarkan untuk adik, keponakan, anak, atau mungkin untuk kamu sendiri. Selamat mendengar dan berimajinasi!
Pemeran Daha and The Nagara's Buffalo:
• Penulis: Ria Lestari Baso
• Narator: Safira Devi Amorita
• Daha: Ijaz Subekti
• Mr. Shepherd: Muh. Zuhri
• Daha's sister: Amanda Raina Dewi
Rumata’ ArtSpace adalah rumah budaya yang resmi berdiri 18 Februari 2011, dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Selain menawarkan fasilitas yang bisa diakses secara luas khususnya bagi seniman dan komunitas di Makassar, Rumata’ dikenal dengan program-program unggulan yang telah menjadi bagian penting pengembangan kebudayaan dan kesenian, antara lain Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Ratusan seniman dan relawan telah terlibat dalam berbagai kegiatan di Rumata’ dan ribuan pengunjung telah mengikuti berbagai kegiatan Rumata’. Perluasan kerjasama, peningkatan kualitas kegiatan dan upaya melebarkan jangkauan audiens adalah tiga hal mendasar yang akan terus dikerjakan Rumata’ Artspace.
Rumata’ ArtSpace is a cultural institution officially established on the 18thof February 2011. It operates independently and receives most of its funding from public donations. Apart from offering facilities that can be widely accessed, especially by artists and the Makassar community, Rumata’ is famous for its featured programs which have become an important part of cultural and artistic development, for example the Makassar International Writers Festival (MIWF) and SEAScreen Academy. Hundreds of artists and volunteers have participated in various activities at Rumata’ and thousands of visitors have also got involved. The three objectives that Rumata’ ArtSpace will continue to strive for are extending its collaborations, increasing the quality of its activities and growing its audience.
Jika ada saran, masukan dan informasi yang perlu kami ketahui, Anda dapat mengunjungi Rumata' ArtSpace dan menghubungi email serta nomor telefon yang tertera:
Jl. Bontonompo No.12A, Gn. Sari, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Indonesia