Salam dari Rumata'!

Kita menghadapi masa-masa yang tidak mudah di beberapa bulan terakhir ini akibat COVID-19. Segala aspek kegiatan dibatasi juga dengan diadakannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tiap-tiap kota dan kabupaten. Rumata' ArtSpace tetap berupaya untuk menginisiasi kegiatan, program melalui media daring termasuk terus merilis newsletter setiap bulannya. Kami berharap newsletter dari Rumata' punya peran tidak hanya sekadar mengabarkan kegiatan dan aktivitas untuk masyarakat tetapi sebagai salah satu cara untuk merekam, alih-alih menggerakkan dari sektor seni dan budaya di Indonesia Timur, terutama Makassar sebagai kota di mana Rumata' berada.

Tim Newsletter Rumata' terdiri dari relawan yang relatif muda dengan latar belakang yang berbeda. Kami berharap komposisi ini dapat menambah perspektif lain dalam memandang suatu situasi, termasuk dalam keadaan "normal baru" ini. Jika Anda memiliki saran, komentar atau ingin mengirimkan tulisan, email kami ke rumata.artspace@gmail.com. Kami selalu siap menerimanya.

__

Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:

Kordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Penulis Bulan Mei 2020: Luna Vidya, Bobhy - Kedai Buku Jenny, Pamula Mita Andary, Rachmat H. Mustamin
Korektor: Amy Djafar
Penerjemah: Edan Runge

Greetings from Rumata'!

We have faced difficult times in recent months due to COVID-19. All activities are also limited by the Large-Scale Social Restrictions (PSBB) in each city and district. Rumata' ArtSpace still strives to initiate activities and programs through online media and continuously releasing a newsletter every month. We hope that the newsletter from Rumata' has a role not only to preach activities to the community but as a way to record, the arts and culture sector in Eastern Indonesia, especially in Makassar as the city where Rumata' is located.
 
Rumata's Newsletter Team consists of relatively young volunteers with different backgrounds. We hope this composition can add another perspective to the situation, even in this "new normal" state. If you have suggestions, comments or want to send posts, email us at rumata.artspace@gmail.com. We will always be ready to receive them.
 
__

Rumata' ArtSpace's Newsletter Team:

Coordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
May Contributors Writers 2020: Luna Vidya,
Bobhy - Kedai Buku Jenny, Pamula Mita Andary, Rachmat H. Mustamin
Proof Reader: Amy Djafar
Translator: Edan Runge

MIWF 2020 RESMI DITUNDA

MIWF 2020 IS OFFICIALLY CANCELLED

Dear friends, we are reluctantly announcing the change in schedule for the 10th edition of MIWF, which was supposed to be held this year to June 23-26, 2021. We made this decision amid the increasingly widespread pandemic of COVID19 in various countries, including Indonesia. We are all affected by this pandemic and the path to recovery from the multidimensional crisis caused by COVID19 will still be very long. But, of course, we cannot lose hope. At Rumata' ArtSpace we decided to shift all work programs this year to a digital platform, including a number of literary and literacy activities in the second half of 2020 while preparing for a decade of Rumata' and the 10th edition of MIWF next year. MIWF curators will continue to work on the Emerging Writers selection and the results will be announced in the next few months. Take care of your health and stay enthusiastic, friends. Next year we will meet, embrace and let go of our longing for literary works, new books, old and new friends, fresh ideas and the warmth of friendship in the name of culture, science and humanity.
 
After this news was first announced on the MIWF Instagram account (@makassarwriters), we got many stories from MIWF friends who always make time to attend. We will return with more interesting programs. We have also held meetings with the curators and discussed other possibilities for the near future. We might not meet again until next year at MIWF, but we can still discuss and share stories through other digital platforms.
 
See you again soon!

MERAWAT RUMATA' PART II

LOOKING AFTER RUMATA' PART II

Rumatalks adalah podcast yang diinisiasi oleh Rumata’ Artspace. Rumatalks akan berisi tentang obrolan-obrolan menarik tentang seni, budaya, literasi, dan  film. Selain itu, podcast ini akan membahas isu-isu sosial yang dikemas dengan ringan, sederhana dan informatif. Podcast Rumatalks akan rilis sekali sebulan. 

Di podcast part II ini, Riri Riza kembali menceritakan tentang apa sih SEAscreen Academy itu, mengapa ia menginisiasinya, dan apa harapan Riri Riza untuk kemajuan sineas Indonesia khususnya dari kawasan Indonesia Timur.

Lain lagi dengan Lily Yulianti Farid, yang membahas tentang cerita di balik lahirnya MIWF, segala harapan baik di catatan perjalanan MIWF, hingga kisah tentang penobatan MIWF sebagai festival terbaik di London Book Fair 2020.

Simak cerita menarik proses lahirnya 2 event unggulan Rumata’ ArtSpace di bawah ini:

Rumatalks is a podcast created by Rumata’ Artspace. Rumatalks will contain interesting chats about art, culture, literacy, and film. Besides this podcast, we will also discuss social issues that will be packaged in a lightweight, simple and informative way. Rumatalks podcast itself will be released once a month.

In Part II of the podcast, Riri Riza again tells us what the Seascreen Academy is, why it initiated it, and what Riri Riza hopes for the future of Indonesian filmmakers, especially in Eastern Indonesia.
 
It’s another chat with Lily Yulianti Farid, who discusses the story behind the birth of MIWF, all the highlights from MIWF’s travel diaries, to the story of the coronation of MIWF as the Best Festival at the London Book Fair 2020.
 
Check out the interesting story of the birth of these two Rumata' ArtSpace featured events below:
 

DI RUMAH

Rumata’ ikut berperan dalam upaya memutus penularan dan penyebaran COVID-19 yang sangat mengkhawatirkan dengan mengadakan Instagram Live dan platform Zoom. Program ini bernama DI RUMAH, dengan mengundang narasumber-narasumber untuk berbincang, berdiskusi mengenai ragam wacana, misalnya soal karya dan proses kreatif, aktivitas selama di rumah, pengelolaan kebun sampai hasil olahan pangan.

Sejak rilisnya program ini di tanggal 28 Maret 2020 lalu, Rumata’ menyiapkan konten bermanfaat selama #dirumahaja di tengah pandemi COVID-19 yang dipandu oleh host dari rumah masing-masing. DI RUMAH memproduksi lima episode. Dua episode terakhir dirangkum sebagai berikut:

DI RUMAH EPISODE 4 (Sesi Pagi)
TEMA: RUPA DONGENG HARI INI
Host: Pamula Mita Andary
Talents: Rona Mentari
Via: Aplikasi Zoom
Sabtu 18 April 2020, 11.00 – 12.00 WITA



Pamula ngobrol bagaimana rupa dongeng hari ini, perjalanan Rona menjadi juru dongeng keliling sampai akhirnya mendirikan komunitas Mentari Dongeng, menceritakan Simeulue / cerita rakyat Indonesia yang tak banyak orang ketahui, pentingnya dongeng tidak hanya pertumbuhan imajinasi anak-anak, tapi juga pengalaman dan pengamatan Rona selama di International School of Storytelling, UK.

Beberapa poin penting dalam obrolan dengan Rona:
1. Rona belajar mendongeng sejak kecil, dan membentuk Rumah Dongeng Mentari bersama kakaknya.
2. Kegiatannya mendongeng untuk anak-anak sekitar rumahnya tiap pekan.
3. Dongeng tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa.
4. Pencerita yang baik bagi anak-anak adalah orang tua mereka.
5. Pada dasarnya, kita semua ialah pencerita. Banyak dari kita hanya ingin didengarkan.
6. Jika ada di antara kalian yang ingin menjadi pendongeng, saran dari Rona ialah dengan membentuk kelompok storyteller untuk saling berbagi cerita juga melatih keterampilan kita bercerita.




DI RUMAH EPISODE 4 (Sesi Sore)
TEMA: Femme Fatale
Host: Rachmat
Talents: Mouly Surya
Via: Aplikasi Zoom
Sabtu 18 April 2020, 16.00 – 17.00 WITA

Rachmat dan Mouly dalam pertemuan zoom membahas Femme Fatale, ciri-ciri, dan isunya sampai bagaimana Mouly menjadikan film sebagai medium bercerita, proses kreatif pembuatan film-filmnya dan kesan menjadi sutradara perempuan di male-dominated industry.



Beberapa poin penting dalam obrolan dengan Mouly:
1. Femme Fatale citra yang dibayangkan sesuatu yang seksi
2. Secara garis besar, Mouly menghindari streotip Femme Fatale di dalam film-filmnya. Ia ingin menampilkan sosok perempuan yang nyata dan hidup sesuai yang sering ia temui.
3. Untuk menyusun skenario, Mouly mengumpulkan begitu banyak fragmen untuk diseleksi.
4. Tiap proses film berbeda dan semuanya menyenangkan sebagai suatu pembelajaran untuk terus mengembangkan diri.
5. Sinema adalah temapt bermain.
6. Film adalah tempat untuk bercerita dan kadangkala takjub bahwa banyak orang yang relate dengan ceritanya.

__

Episode yang ke-5 ini, Rumata’ mengundang penulis kenamaan Indonesia serta perupa muda asal Makassar.

DI RUMAH EPISODE 5
TEMA: DAYA HIDUP DI TENGAH PANDEMI
Host: Lily Yulianti Farid
Talents: Dewi Lestari
Via: Aplikasi Zoom
Sabtu 25 April 2020, 10.00 – 11.00 WITA



Untuk menemani akhir pekan selama #dirumahaja, Kak Lily memandu obrolan dengan Dee Lestari mengenai dampak Covid-19 bagi kehidupannya sebagai penulis, rencana workshop online yang diadakan Dee, juga soal buku-buku bajakan yang marak kembali belakangan ini.

Berikut beberapa saran dari Dewi "Dee" Lestari:
1. Dalam menulis, kita butuh menetapkan deadline.
2. Progress! Sering melihat hasil karya sendiri dan membandingkannya dengan karya sebelumnya.
3. Melakukan peleburan dengan alam dengan bermeditasi dan bermenung. Hal ini akan membantu mengetahui diri, gerak pikiran dan jiwa serta kegelisahan yang kita alami.
4. Dee juga mengimbau pembaca agar tetap membeli buku-buku original, apalagi maraknya penyebaran buku bajakan selama pandemi ini.
5. Jika ingin menjadi penulis, mulailah! Sering dilakukan dan tetap konsisten.
6. Dee menyarankan juga sebagai calon penulis ada dua hal, siap berhasil dan siap gagal. 
7. Ia juga meminta agar para pembaca pemula untuk mengirimkan karyanya kepada para pembaca pertama untuk di-review dan dikoreksi.
8. Terakhir, jangan membuang coretan-coretan kecil!




DI RUMAH EPISODE 5 (Sesi Sore)
TEMA: DAYA HIDUP DI TENGAH PANDEMI
Host: Rachmat
Talents: Adi Gunawan (Benangbaja)
Via: Aplikasi Zoom
Sabtu 25 April 2020, 16.00 – 17.00 WITA

Di sore harinya, Rachmat dan Benangbaja membahas imbas dari pandemi, juga mendiskusikan siasat-siasat yang dilakukan benangbaja selama dua-tiga minggu terakhir dan rencana selama setahun kedepan.



Berikut siasat yang dilakukan Adi Gunawan selama Pandemi, yang barangkali dapat diadopsi bagi kawan-kawan sekalian:
1. Berkebun. Adi mengisi waktunya untuk menghiasi halaman rumahnya dengan tanaman-tanaman.
2. Efek pandemi memang cukup menghantam begitu banyak lini ekonomi perusahaannya bersama rekan-rekannya di Hujanbuatan, tapi ia melakukan siasat untuk membuka jasa ilustrasi bernama BEJAT, yang mengambil donasi 100ribu/wajah.
3. Adi Gunawan juga membuka kelas gambar secara online dan dilakukan bertahap setiap sekali dalam seminggu untuk tetap berinteraksi dengan orang-orang dan mengusir rasa bosan.



Di akhir program, kami mengumumkan kepada:
1. Yani yang berhasil memperoleh beasiswa dari Rumata’ dan MIWF untuk mengikuti Kaizen Writing Workshop bersama Dewi “Dee” Lestari. Selamat belajar!
2. Gilang A. Jagini yang mendapatkan hadiah berupa sketsa wajah dari benangbaja. Selamat dipajang!

Terima kasih kepada seluruh narasumber dan teman-teman yang telah berpartisipasi di rangkaian sesi #DIRUMAH sejak episode 1-5 dengan penuh semangat! Kami tidak akan bisa mewujudkannya tanpa bantuan dan antusiasme kalian.

DI RUMAH

Rumata’ has played a role in cutting the very worrying transmission and spread of COVID-19 by holding Instagram Live and using the Zoom platform. Our online program is called DI RUMAH, which invites speakers to talk, discuss various literary themes, for example creative works and processes, activities at home, garden management to food preparation.
 
Since the program's release on March 28, 2020, Rumata has prepared useful content during #dirumahaja in the midst of the COVID-19 pandemic, with hosts presenting from their respective homes. DI RUMAH has produced five episodes so far. Here are summaries of the last two episodes:
 
DI RUMAH EPISODE 4 (Morning Session)
THEME: Fairy Tales Today
Host: Pamula Mita Andary
Talent: Rona Mentari
Via: Zoom Application
Saturday 18 April 2020, 11.00 - 12.00 WITA
 
Pamula talked about how fairy tales look today, Rona's journey to become a traveling myth interpreter until the establishment of the Mentari Fairy Tale Community, and telling Simeulue stories (Indonesian folklore) that not many people know. Fairy tales are important not only to the growth of children's imagination, but also Rona's experience and observations during at the International School of Storytelling, UK.



 
Some important points in the conversation with Rona:
1. Rona learned storytelling since she was a child, and formed Rumah Dongeng Mentari with her sister.
2. Rona’s custom of storytelling for children around the house every week.
3. Fairy tales are not only for children, but also adults.
4. A good storyteller for children is their parents.
5. Basically, we are all narrators. Many of us just want to be heard.
6. Rona's suggestion is to form a storyteller group to share stories and also practice our storytelling skills.
 
 
DI RUMAH EPISODE 4 (Evening Session)
THEMES: Femme Fatale
Host: Rachmat
Talent: Mouly Surya
Via: Zoom Application
Saturday 18 April 2020, 16.00 - 17.00 WITA


 
In the zoom meeting, Rachmat and Mouly discussed the characteristics of a Femme Fatale, issues with how Mouly used films as a medium for storytelling, the creative process of making films and her perspective as a female director in the male-dominated industry.
 
Some important points in the chat with Mouly:
1. A Femme Fatale is imagined as a sexy character.
2. Broadly speaking, Mouly avoids Femme Fatale stereotypes in her films. She wants to show the true living female figure according to the women she often meets.
3. To construct a scenario, Mouly collects many fragments to then make a selection.
4. Every film process is different and all are fun learning experiences.
5. Cinema is a place to play and experiment.
6. Film is a place for storytelling and Mouly is sometimes amazed that many people relate to her stories.
 

__
 
This 5th episode, Rumata’ invited well-known Indonesian writers and young artists from Makassar.
 
DI RUMAH EPISODE 5
THEME: VITALITY IN THE MIDDLE OF A PANDEMIC
Host: Lily Yulianti Farid
Talent: Dewi Lestari
Via: Zoom Application
Saturday 25 April 2020, 10:00 - 11:00 WITA
 
To accompany the weekend during #dirumahaja, Lily had a chat with Dee Lestari about the impact of Covid-19 on her life as a writer, Dee's planned online workshops, as well as the issue of book piracy that has become rife again lately.



 
Here are some suggestions from Dewi "Dee" Lestari:
1. In writing, we need to set deadlines.
2. Progress! Check the results of your own work often and compare them with previous works.
3. Harmonise with nature by meditation and introspection. This will help us to understand ourselves, the movements of the mind and soul, and the anxiety that we experience.
4. Dee also urged readers to keep buying original books, especially with the rampant spread of pirated books during this pandemic.
5. If you want to become a writer, just start! Do it often and stay consistent.
6. Dee also suggested two things for potential writers, be ready to succeed and ready to fail.
7. She also requested that novice readers send their work to a reader first for review and correction.
8. Finally, don't throw away small scribbles and notes!
 
 
DI RUMAH EPISODE 5 (Evening Session)
THEME: VITALITY IN THE MIDDLE OF A PANDEMIC
Host: Rachmat
Talent: Adi Gunawan (Nickname ‘Benangbaja’)
Via: Zoom Application
Saturday 25 April 2020, 16.00 - 17.00 WITA


 
In the afternoon, Rachmat and Benangbaja discussed the impact of the pandemic, Benangbaja’s strategies over the past two to three weeks and plans for the coming year.
 
Adi Gunawan carried out the following tactics during the Pandemic, which may be adopted by all of your friends:
1. Gardening. Adi has used his time to bring his yard to life with decorative plants.
2. The effects of the pandemic have hit quite a lot of his colleagues’ companies economically, but he came up with an illustration service called BEJAT, which takes donations of IDR 100,000 per face illustrated.




3. Adi Gunawan also opened online drawing classes, which are done in stages once a week to keep interacting with people and stave off boredom.
 
At the end of the program, we announced some prizes:
1. To Yani, who managed to get a scholarship from Rumata’ and MIWF to join the Kaizen Writing Workshop with Dewi "Dee" Lestari. Enjoy your study!
2. To Gilang A. Jagini, who received a prize in the form of a face sketch from Benangbaja. Hope it can be displayed proudly!
 
Thank you to all the speakers and friends who have participated in the #DIRUMAH session series since episodes 1-5 eagerly! We wouldn't be able to make it happen without your help and enthusiasm.
 

Halo sahabat Rumata’!

Untuk menemani kalian #belajardirumah selama masa pandemi, kami membuka program baru bertajuk RUMATA ONLINE COURSE. Program belajar ini diisi oleh pemateri profesional yang terampil di bidang masing-masing dan akan berlangsung selama TIGA JAM setiap kelasnya. Kegiatan ini bertujuan sebagai program belajar jarak jauh dengan materi yang telah dirancang dengan target tertentu, mempelajari skill baru, serta mengembangkan kapasitas individu maupun suatu kelompok masyarakat selama berada di rumah.

Registrasi Peserta
Donasi: Rp. 150.000/kelas,-
Pembayaran dapat ditransfer ke Rekening Mandiri. No. Rek: 1520018326674 a.n Nabila Indira Idris

Untuk melakukan pendaftaran, silakan klik link yang ada di bawah ini. Yuk tetap produktif selama kita #dirumahaja.

Info lebih lanjut –
Email: rumata.artspace@gmail.com
Nabila (+62 821-9646-8789)

Hello Rumata friends!
 
To accompany your #belajardirumah (study at home) during the pandemic, we opened a new program called RUMATA ONLINE COURSE. This learning program is supported by professional presenters who are skilled in their respective fields and will last for THREE HOURS per class. This activity intends to be a distance learning program with material that has been designed with certain targets: to learn new skill and develop the capacity of individuals and a community group while at home.
 
Participant Registration
Donation: IDR. 150,000 / class, -
Payments can be transferred to a Mandiri Account. No. Account: 1520018326674 a.n Nabila Indira Idris
 
To register, please click on the link below. Let's stay productive while we're #dirumahaja.
 
More info -
Email: rumata.artspace@gmail.com
Nabila (+62 821-9646-8789)

"Ketekunan adalah Rutinitas Itu Sendiri": Wawancara dengan Luna Vidya

"Perseverance Is A Routine In Itself": Interview with Luna Vidya

Sebagai salah satu upaya untuk membangun wacana kota dari sektor seni dan budaya, kami mewawancarai Luna Vidya, seorang seniman dan aktivis mengenai perspektifnya secara personal terkait perubahan dan pergeseran kota di Makassar dan Indonesia Timur dalam skala yang lebih besar. Rumata' sebagai salah satu rumah budaya yang ada di Makassar ingin mencatat pengalaman dan pengamatan Luna dalam bentang waktu 10-15 tahun yang lalu hingga kini, serta sarannya bagi seniman muda hari ini.

***

Bisa ceritakan secara singkat diri Kak Luna mengenai profil, biografi dan fokus-fokus kekaryaannya di bidang apa saja…
Di akun IG saya, saya adalah seluruh yang saya sebut di sana: Luna Vidya
I am a mother of four, was born in Papua, Moluccan by blood, live in Makassar. I am an (native) Eastern Indonesian. Saya lahir di kampung bernama Ifar Gunung, Sentani, Papua. Jika saya adalah dadu, guliran yang menunjukkan angka apapun, adalah diri saya: penyair, konsultan komunikasi, papua dan community development enthusiast, penulis naskah dan aktor teater, pun istri. 


 
Kapan mulai berkesenian, Kak? Bagaimana mulanya?
Ketertarikan saya pada sastra, dimulai sejak kecil. Saya suka cerita, berdeklamasi, ikut bermain sandiwara di gereja kampung saat Natal. Saya suka menulis juga sejak masih muda. Ketika SD sajak saya terbit di Sinar Harapan. Itu salah satu peristiwa besar dalam hidup saya. Sajak yang terbit di koran itu, jadi pembicaraan untuk waktu lama,  membuat saya punya sahabat pena, dari banyak tempat. Dari menulis sajak dituntun aksara nama seseorang, surat, saya mulai menulis cerita, kemudian jadi prosa, esai, dan naskah monolog. Tidak banyak karya saya yang dikenal orang. Karya-karya itu biasanya menumpang diterbitan orang lain, jadi milik saya sendiri yang saya bagikan dalam bentuk pementasan atau pembacaan, kalau pun saya bagikan sebagai teks, hanya saya bagi ke beberapa orang terdekat.

Kalau dalam kekaryaan, ada tidak figur yang sangat memengaruhi karya-karya Kak Luna? Siapa saja dan kenapa? 
Saya kagum pada banyak orang. Saya menyukai para narator dengan diksi yang tegas seperti  Maya Angelou, atau story teller mumpuni seperti Morgan Freman. Saya ingin bisa menarasikan kisah-kisah sekuat narasi mereka, tapi saya tidak ingat lagi, apakah ada pengaruh-pengaruh ketokohan orang lain dalam jejak karya-karya saya. Saya hanya ingat musim-musim dalam karya saya. Musim angin, laut, kapal, dan bau karang. Lalu musim tanah, benih dan menanam.  



Bagaimana ceritanya Kak Luna bisa bertemu dengan Makassar? Dan apa impresi awalnya?
Makassar yang saya temui pertama kali adalah Makassar yang tumbuh bersama saya di Jayapura. Pedagang pasar. Bukan orang makan sekolah. Itu membuat saya terheran-heran, menemukan versi Makassar yang lain: orang-orang yang berpikir kritis, menyukai sastra, membaca yang belum saya baca, ketika saya datang ke Makassar untuk melanjutkan sekolah. Saya kemudian ya belajar bertahan, mengelola diri saya, sebab bagi Makassar, saya adalah keganjilan juga. Unik. Lengkap dengan ekspresi artistik. Kriteria yang tidak diharapkan terkumpul dalam seseorang yang datang dari pedalaman bernama Irian Jaya, pada masa itu. Setalah melewati masa adaptasi itu, saya dan Makassar berdamai. Saya adalah saya, yang menyebut Makassar sebagai “pulang” untuk setiap pergi saya. Bahkan ketika ke Jayapura. 
 
Bisa dibilang Kak Luna punya catatan & ikatan personal dengan kota Makassar sebagai medan dari banyaknya karya-karya yang dihasilkan. Bagaimana sih situasi dan suasana berkesenian di Makassar 10-15 tahun yang lalu?
Suasana berkesenian 10-15 tahun lalu adalah kesenian yang denyutnya ada pada diskusi pembacaan, penerbitan karya dan pementasan karya. Memiliki buku yang sedang dibicarakan, adalah kemewahan. Berkesempatan memasuki ruang diskusi dengan pada “tetua” sastra dan kesenian, adalah kehormatan. Tapi akses itu hanya bisa diperoleh lewat kecerdasan. Diskusi yang bernas. Karya yang diterbitkan di Pedoman Rakyat, paling tidak. Terbit di Horison itu berarti sudah masuk kelas lain dalam komunitas.  Jadi ada masa kesenian tumbuh dalam ekosistem diskusi dan dukungan pada rencana karya antar sesama seniman sepantaran usia, paling tidak. Rasanya semua tahu, siapa sedang mengerjakan apa. Jika tidak terlibat dalam proses, setidaknya akan hadir di waktu pementasan, dengan kritis. 
 


Tahun 2011, setelah hadirnya Rumata’ ArtSpace, apakah ada dampak yang signifikan atas situasi itu? Kalau ada, bagaimana dampaknya terhadap kota Makassar sendiri terutama atmosfir berkesenian? 
Rumata’ Art Space adalah hub yang dibayangkan dapat menjadi tempat komunitas periferi bisa menemukan ruang untuk pementasan karya. Sebuah ruang alternatif. Apakah Rumata; sudah menjadi demikian? Saya kira ya. Sedang berjalan ke sana. 
 
Kalau sekarang, iklim berkesenian di Indonesia Timur, khususnya di Makassar bagaimana, Kak?
Apa yang saya ceritakan tentang dulu, apa yang terjadi, tentu sangat subyektif. Menurut saya. Jadi menurut saya, atmosfir saling belajar, saling memperkaya, kebiasaan menakar karya pada apresiasi lewat mekanisme diskusi, setelah karya itu dipentaskan, itu yang hilang. Atau mungkin tergantikan dengan cara lain, atau mungkin dilakukan tapi tidak lagi pada orbit komunitas yang saya kenal. Diskusi kritis pada karya sesama anggota komunitas, tidak lagi ada. 

Kota makin besar. Peminat sastra dan seni makin terserak. Biaya pementasan makin mahal. Pementasan karya dekat dengan upaya komersialisasi, atau setidaknya “harus bisa dijual”, membuat pilihan untuk membangun diskusi-diskusi komunitas secara independen lebih masuk akal. Tumbuh kelompok-kelompok sastra, komunitas peminat sastra dan teater tapi tanpa ada konektifitas antar komunitas itu. Setiap komunitas merasa cukup dengan dirinya sendiri. Termasuk komunitas yang akan menyebut Benteng, DKM, sebagai dua dari hanya beberapa lintasan proses karya terkait sastra dan teater. Komunitas jadul. Dua tempat yang makin jauh berjarak dengan kerja-kerja seni sastra dan teater di jaman saya. Ukurannya? Sekalipun banyak komunitas teater, tetapi ruang-ruang belajar bersama, tidak banyak diminati. 
 
Bagaimana sih menjaga nyala atau api dalam berkesenian supaya tetap konsisten dan produktif berkarya, Kak?
Saya merasa tidak adil menjawab pertanyaan ini kepada sahabat seniman saya. Saya tidak bisa bicara tetap produktif menghasilkan karya, sebab ukuran produktif dalam arti jumlah, tidak bisa diterapkan ke saya. Saya secara jumlah tidak menghasilkan banyak karya tahun lalu. Hanya 1 naskah monolog berjudul Lidah. Tapi dalam kewajiban saya yang lain saya telah terus menerus menghasilkan produk. Sebagai jiwa seni, saya sedang mengerjakan kumpulan karya dari koleki lama, sebenarnya. Hanya saya kemas dalam situasi yang relevan dengan saat ini.

Untuk tetap konsisten berkarya salah satunya adalah melakukan redifinisi dan re-form terhadap rutinitas kita. Yang lain, mengaitkan apa yang kita sedang kerjakan dengan tujuan-tujuan yang hanya dimungkinkan dapat dicapai lewat ketekunan. Dalam beberapa situasi, ketekunan adalah rutinitas itu sendiri. 



Sehingga rutinitas harus selalu menjadi ruang untuk melakukan pemaknaan kembali dan kemudian melakukan aksi yang dibutuhkan, bahkan jika itu berarti membangun normal baru. Halah. Sok update sama istilah saya. Wkkkkk

Dalam beberapa pekan ini, kita diimbau untuk di rumah saja, sebetulnya apa dampaknya bagi Kak Luna sebagai seniman dan sebagai bagian dari ekosistem seni yang ada di Makassar dan Indonesia Timur? 
Sebagai bagian dari ekosistem seni, saya mengamati betapa penting memiliki jejaring. Konektifitas. Bagaimana jejaring itu dimanfaatkan, entah untuk keperluan diri sendiri atau orang banyak itu urusan lain. Tapi ada gagasan-gagasan karya yang masih bisa dipertukarkan. Ada eksplorasi dan diskusi yang bisa dikemukakan. Sekalipun platformnya online, ikut didikte dengan kecanggihan koneksi internet, tapi bahwa ruang-ruang fisik berbiaya mahal itu, runtuh menjadi sangat penting. Saya hanya mengamati. Saya belum berkontribusi apa-apa pada ruang-ruang baru kemungkinan ini. 
 
Sebagai seorang seniman, apa pesan Kak Luna bagi kawan-kawan yang juga ingin menekuni bidang seni?
Saya tidak bisa melakukannya, seolah-olah seni adalah sebuah mall. Hehehe. Seni itu lebih seperti perpustakaan. Jadi saran yang bisa saya berikan, adalah saran kepada sesama pembaca buku. Find what you want to know, and enjoy reading. 
 
Adakah karya yang Kak Luna persiapkan dalam waktu dekat ini? Kalau ada, tentang apa, Kak?
Ada rencana merampungkan potongan kecil kumpulan puisi saya. Awalnya saya mempersiapkan sesuatu tentang Papua. Tapi mungkin akan menjadi sesuatu yang terkait pengalaman baru pandemi Covid-19 ini. Apakah akan selesai segera, nda tau mi. 
 
Terima kasih banyak, Kak Luna…

As an effort to promote discourse and city from the arts and culture sector, we interviewed Luna Vidya, an artist and activist about her personal perspective regarding changes and shifts of cities in Makassar and Eastern Indonesia on a larger scale. Rumata 'as one of the cultural houses in Makassar wants to record Luna's experience and observations in the span of 10-15 years ago until now, as well as her advice for young artists today.

***

Can you tell us briefly about your profile, biography and the focus of your work in various fields ...
On my Instagram account, it’s all there: 
I am a mother of four, was born in Papua, Moluccan by blood, and live in Makassar. I am a  native Eastern Indonesian. I was born in a village called Ifar Gunung, Sentani, Papua. If I were a dice, whatever number was roled, it was me: a poet, communication consultant, a Papuan and community development enthusiast, script writer and theatre actor, even a wife.
 
When did you start producing art, Luna? How did it begin?
My interest in literature, started from childhood. I liked stories, declaiming, performing plays in village churches at Christmas. I’ve liked writing too since I was young. When I was at elementary school, a poem of mine was published in Sinar Harapan. That was one of the big events in my life. The poem was published in the newspaper, so the conversation from it lasted for a long time, made me have pen pals, from many places. From writing poems guided by the letters in a person's name, I began writing stories, then became prose, essays, and monologue texts. Not many of my works are known to people. These works were usually picked up by other publications, that’s how my own works like performances or readings were shared. Even if I shared them as text, I would only share them with the closest people.
 
In terms of work, are there figures that greatly influence your works? Who and why?
I am amazed by many people. I like narrators with strict diction like Maya Angelou, or qualified story tellers like Morgan Freeman. I want to be able to narrate stories as strongly as their narratives, but I don't remember anymore, whether there were influences from other figures in my work. I only remember the seasons in my work. The season of wind, sea, ships and the smell of coral. Then the seasons of soils, seeds and plants.


 
How did you encounter Makassar? And what was your initial impression?
The first Makassar I encountered was the Makassar of my childhood in Jayapura. Market Traders. Not educated people. So it amazed me, finding another version of Makassar: people who think critically, like literature and have read things I haven't read, when I came to Makassar to continue my schooling. I then learned to survive, look after myself, because for Makassar, I was an oddity too. I was unique. Full of artistic expression. I was an unexpected criteria as someone who came from the hinterland of Irian Jaya, Papua’s name at that time. After passing through the adaptation period, Makassar and I made peace. I am who I am, I call Makassar "home" every time I leave. Even when going to Jayapura.
 
You could say that have a history & ties with the city of Makassar as it’s the scene of many works you’ve produced. What was the situation and atmosphere of art in Makassar 10-15 years ago?
The atmosphere of art 10-15 years ago was a heartbeat of discussions on reading, publishing works and staging works. Having a book being the talk of the town, was a luxury. The opportunity to enter discussion rooms with the "elders" of literature and art, was an honour. But that access could only be obtained through intelligence. A mature discussion. For works published in Pedoman Rakyat, at least. Getting published in Horizon meant that you had entered another class in the community. So, there was a time when art grew in this ecosystem of discussion and support about draft works between artists of the same age, at least. It felt like everyone knew who was doing what. If weren’t involved in the process, at least they would be present during the performance, critically.


 
In 2011, after the arrival of Rumata 'ArtSpace, was there a significant impact on your situation? If so, what was the impact on the city of Makassar itself, especially the artistic atmosphere?
Rumata 'Art Space was imagined as a hub, a place where the peripheral community could find space for staging their works. An alternative space. Has Rumata’ done so? I think so. It’s on the way there.
 
And currently, what about the climate of art in Eastern Indonesia, especially in Makassar?
What I said about the past, what happened, is certainly very subjective. It’s my opinion. So in my opinion, the atmosphere of mutual learning, mutual enrichment, the custom of measuring and appreciating works through the mechanism of a discussion, after the work is staged, that's what is lost. Or maybe replaced in some other way, or maybe performed but no longer in the orbit of the community that I know. Critical discussion on the work of fellow community members, no longer exists.
 
The city is getting bigger. Lovers of literature and art are increasingly scattered about. The cost of staging performances is more expensive. Performance works are for commercialization, or versions "must be sold", which creates discussions, grows literary groups, literary communities and theatre lovers, but there is no connectivity between these communities. Each community seems happy enough on its own. Regarding the communities, let’s say Benteng and DKM, as two of only a few pathways of literary and theatrical works. Old school communities. Two places that were increasingly busy with senior literature and theatrical works in my day. Their size now? Even though there are many theatrical communities, shared learning spaces are not much in demand.
 
How do you productively prepare and maintain the flame or fire in the arts? 
It is unfair to answer this question for my friends. I cannot say I constantly produce work, because I don’t consider productivity to mean producing significant amounts. Numerically, I did not produce many works last year. Only 1 monologue text entitled Tongue. But in my other duties I have been continuously producing works. As an artistic spirit, I'm working on a collection of works from previous collections, actually. I’m only packaging them in discussions that are relevant to the current time.


 
To consistently produce works means redefining and reshaping our routines, for one. Besides that, associating what we are working on with goals that can only be achieved through perseverance. In many circumstances, perseverance is a routine in itself.
 
So routine must always be a space to redefine and then take the necessary action, even if it means building a new normal. Haha. It’s like an update in my terminology. Hahaha.
 
In the past few weeks, we have been advised to stay at home, what are the actual impacts for you as an artist and as part of the art ecosystem in Makassar and Eastern Indonesia?
As part of the art ecosystem, it is very important to maintain a network. Connectivity. The question is how the network is used, for personal needs or for other people's. But the main thing is ideas for works can be exchanged. There are discussions and talking points that can be suggested. Even if the platform is online, dictated by sophisticated Internet connections, but the collapse of expensive physical spaces has become a very important factor. I’m just discussing it. I have not yet contributed anything to new spaces or possibilities.


 
As an artist, what is your message for friends who also want to immerse themselves in art?
I can't do that, it’d be as if art was a mall. Hehehe. Art is more like a library. So the advice I can give is advice for fellow book readers. Find what you want to know, and enjoy reading.
 
Is there any work that you have prepared for the near future? If there’s anything planned, what’s it about?
There is a plan to complete a small piece of my poetry collection. Initially I prepared something about Papua. But maybe it will be something related to the new experience of the Covid-19 pandemic. Will it be finished soon, who knows….
 
Thank you very much, Luna.
 

Poster-Poster Pilihan

Produksi poster / flyer di setiap rangkaian kegiatan tidak hanya sebagai salah satu media untuk promosi tetapi sebagai catatan dan dokumentasi atas apa yang telah dikerjakan. Berikut kami lampirkan delapan poster yang dipilih secara acak, yang telah diproduksi oleh Rumata' baik Rumata' sebagai inisiator maupun sebagai kolaborator untuk menggerakkan seni dan budaya di kota Makassar dan dalam jangkauan yang lebih luas: Indonesia Timur.

Selected Posters

The production of posters / flyers in each series of activities is not only for promotion but as a record and documentation of what we’ve done. Next we enclose eight posters chosen at random, which have been produced by Rumata', both as initiators and collaborators, to drive art and culture in the city of Makassar and more widely in Eastern Indonesia.
 

Menjenguk Kenangan

Visiting The Memories

Makassar patut berbangga karena sebuah ajang internasional bertajuk Makassar International Writers Festival (MIWF) 2012 yang dihadirkan oleh Rumata’ dilaksanakan di kota ini selama 5 hari (13 – 17 Juni 2012). Beragam kegiatan dilangsungkan selama ajang ini. Padat, sampai-sampai ada yang berlangsung paralel.

Tim kurator  yang terdiri dari Aslan Abidin (koordinator), Luna Vidya, Shinta Febriany dan M. Aan Mansyur bersama Direktur MIWF Lily Yulianti Farid telah mempersiapkan sejumlah program dan membuka kesempatan bagi para penulis di seluruh tanah air untuk berpartisipasi dalam berbagai program. Festival tahun ini memilih tema Visiting the Memories (Menjenguk Kenangan).

Makassar should be proud because an international event titled Makassar International Writers Festival (MIWF) 2012 presented by Rumata’ was held in the city for 5 days (13-17 June 2012). Various activities were carried out during this event. The schedule was full enough so that activities going on simultaneously.
 
The curator team consisting of Aslan Abidin (coordinator), Luna Vidya, Shinta Febriany and M. Aan Mansyur together with MIWF Director Lily Yulianti Farid prepared a number of programs and opened opportunities for writers throughout the country to participate in various programs. The 2012 festival had the theme Visiting the Memories.

Bentuk dan Sistem Kerja Artist In Residency Sebagai Program Pelatihan Teater Di Rumata Artspace

The Form and the Working Experience of an Artist In Residency for Rumata’ Artspace’s Theatre Training Program

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian Herdiana Sephiyang yang menjadikan Rumata' ArtSpace sebagai objek penelitian mengenai residensi seniman serta pola pengelolaan manajemen yang dilakoni Rumata' sejak beberapa tahun terakhir. Berikut kami lampirkan abstrak kajiannya, analisis, serta kesimpulannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1). sistem kerja Artist in Residency sebagai program pelatihan teater di Rumata artspace 2). bentuk kegiatan Artist in Residency sebagai program pelatihan teater di Rumata artspace. 3. pengaruh yang ditimbulkan Artist in Residency program pelatihan di teater Rumata artspace.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif yang terdiri dari paparan yang menjelaskan data-data yang diperoleh dari narasumber. Hasil penelitian Bentuk Dan Sistem Kerja Artist In ResidencySebagai Program Pelatihan Teater di Rumata Artspace meliputi: 1). Sistem kerja Artist In Residency terbagi menjadi dua yaitu struktur kepengurusan Rumata Artspace meliputi Ketua, Sekertais, Bendahara, Direktur Artistik, terbagi menjadi beberapa bagian yaitu Direktur Pengembangan dan Kerjasama, Direktur keuangan dan Administrasi, Direktur Operasional dan masing-masing Direktur memilikiStaff. Kedua Sistem Manajemen program Artist In Residency yaitu meliputi Ketua Umum atau Supervisor, Direktur Program dan Coordinator Program diantaranya Administrasi dan Keuangan, Direktur Artistik, dan Manejer Produksi. 2). Bentuk Kegiatan Artist In Residency yaitu Ya Ling-Peng (Taiwan) judul pementasan Echoes Of Asia, Ethan Chia (Singapura) judul pementasan Silly Little Girl and The Funny Old Tree, Ethan Chia dan Candice (Singapura) judul pementasan Ivanov, Ethan Chia dan Candice (Singapura) Saito dan Yen (Jepang) judul pementasan Habibi, Anna Thu (German) judul pementasan Across The Heavenn Above The Eart. Lima kegiatan di atas masing-masing memiliki Planning, Staffing, Organizing, Motivating, Controling. 3). Pengaruh yang ditimbulkan Artist In Residency meliputi Keaktoran yaitu dasar-dasar keaktiran yang tidak seperti biasanya yang didapatkan, dan Penyutradaraan meliputi Teknik-teknik penyutradaraan yang berbeda.

This paper is the result of Herdiana Sephiyang's research into artist in residency programs and management patterns at Rumata over the past few years. Below we’ve attached the abstracts of the studies, analyses, and conclusions.
 
This study aims to find out about 1). The Artist in Residency work system for the theatre training program in Rumata’ Artspace 2). The form of Artist in Residency activities in the theatre training program at Rumata’ Artspace. 3). The influence of the Artist in Residency training program on Rumata’ Artspace theatre.
 
The data analysis technique used in this study is a descriptive analysis consisting of an explanation explaining the data obtained from the speakers. The results of the research into the form and work system of artists in Residency in the Theatre Training Program at Rumata Artspace include: 
 
1). The management of the Artist In Resident's work system is divided into two aspects, firstly, the management structure of Rumata Artspace which includes the Chairperson, Secretary, Treasurer, Artistic Director, and, secondly, the Director of Development and Cooperation, the Director of Finance and Administration and the Director of Operations. Each Director has staff.
 
 2). The forms of Artist In Residency activities include Ya Ling-Peng’s (Taiwan) play,  Echoes Of Asia, Ethan Chia’s (Singapore) plays Silly Little Girland The Funny Old Tree, Ethan Chia and Candice’s (Singapore) play Ivanov, Ethan Chia and Candice (Singapore) and Saito and Yen’s (Japanese) collaboration Habibi, Anna Thu’s (Germany) play The Heavenn Above The Eart. Supervising each of the five activities were Planning, Staffing, Organizing, Motivating and Controlling managers. 3). The influence of the Artist In Residency on Rumata’s theatre included the involvement of new actors, namely the contribution of innovative performances, and Directing that provided different directing techniques.

Album Musik Pilihan dari Kedai Buku Jenny

Selected Music Albums Kedai Buku Jenny

Recommendator: Bobhy, (co-founder of Kedai Buku Jenny and Lecturer at Bosowa University)

While at home, we’ve got to do something to avoid boredom, maintain energy to be focused and stay productive. We asked Bob from Jenny's Bookstore to recommend five music albums that are suitable to accompany your days at home. We deliberately did not explain too much about the content, context and concept of the albums. We just want you to go directly to your favourite digital platform to listen to these albums directly.

THE ADAMS - AGTERPLAAS