Oleh Al Ridwan
Pada tahun 2018, Aditya Ahmad menceritakan kompleksitas kehidupan seorang remaja dalam film pendeknya yang berjudul Kado. Film ini berhasil meraih sejumlah penghargaan di berbagai festival, seperti penghargaan Orizzonti: Best Short Film di Venice Film Festival tahun 2018 dan Piala Citra, Kategori Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2018.
Lima tahun setelah rilisnya, akhirnya film Kado kembali di tayangkan di Makassar, kota di mana film ini dibuat, dalam SPEKTRUM, sebuah program pemutaran film pendek yang diadakan oleh Kinefilia dan didukung oleh Rumata’ Artspace pada tanggal 24 hingga 25 Juni 2023. Melalui SPEKTRUM, Kado masih berhasil berdiri sebagai sebuah film pendek yang signifikan, bahkan setelah setengah dekade.
PLOT DAN TEMA
Secara singkat, Kado menceritakan kehidupan Isfi (Isfira Febiana), seorang gadis remaja SMA yang lebih nyaman mengenakan pakaian yang dianggap maskulin dan lebih senang bergaul dengan laki-laki sebayanya. Namun, ketika Isfi berusaha untuk mempersiapkan kado ulang tahun untuk Nita (Anita Aqshary Thamrin), dia harus mengenakan rok panjang dan hijab agar bisa masuk ke dalam rumah sahabatnya itu.
Sebagai sebuah film coming-of-age (menuju kedewasaan), Kado berhasil mengemas banyak topik dalam durasi yang terbatas, yakni lima belas menit. Krisis dentitas atau pencarian jati diri, maskulinitas dan feminitas, persahabatan, keluargaan, serta keagamaan. Namun, semua tema tersebut tidak rata penyajiannya, sehingga ada yang lebih menonjol dan ada yang tidak begitu kentara. Di sepanjang film, isu tentang krisis identitas atau gender serta eksplorasi maskulinitas dan feminitas seorang remaja terasa lebih pekat dibandingkan isu kekeluargaan dan keagamaan yang hanya mendapatkan screentime yang sedikit (tetapi masih cukup untuk memperkuat naratif film).
HUBUNGAN ANTARKARAKTER YANG KOMPLEKS
Film Kado berpusat kepada protagonisnya yang bernama Isfi. Dari awal film, penonton diperkenalkan dengan Isfi sebagai seorang gadis remaja walaupun dia berpenampilan seperti semua teman laki-lakinya. Namun, setelah audiens diperkenalkan dengan Nita, satu-satunya sahabat perempuan Isfi, karakter Isfi (dan hubungannya dengan Nita) menjadi begitu menarik untuk didiskusikan.
Sang protagonis dari film Kado terasa begitu kompleks seperti remaja pada umumnya. Dalam film Kado, kompleksitas karakter Isfi dicerminkan melalui sudut pandangnya terhadap maskulinitas dan feminitas. Di sepanjang film, Isfi terlihat tidak begitu membenci dirinya atau kewanitaannya, terutama setelah melihat adegan di mana Isfi memasang pembalut di kamar mandi Nita. Namun, di sepanjang film, Isfi juga terlihat tidak begitu mengekspresikan dirinya sebagai perempuan, hanya ketika dia berdua dengan Nita, terutama di adegan ketika mereka berdua mengobrol hingga waktu subuh. Jika perlu menggunakan terminologi terkait gender, Isfi bisa saja terhitung sebagai seorang genderqueer, namun di sepanjang film, Isfi juga tidak menunjukkan kebetahan menjadi sosok yang berada di “tengah-tengah”. Sederhananya, Isfi berada di garis abu-abu antara maskulin dan feminin, dia tidak merasa risih nan tidak merasa nyaman, dia masih terombang-ambing.
Di sisi lain, Nita sebagai karakter pendukung membuat Kado lebih menarik karena tidak banyak yang audiens tahu mengenai latar belakang atau sifatnya, hanya melalui kedekatannya dengan Isfi dan pengaruhnya terhadap perkembangan Isfi sebagai seorang remaja. Adegan di mana mereka berdua berbincang hingga pagi menjadi esensial dalam menunjukkan kedekatan antara keduanya. Keintiman yang mereka alami, di era modern yang semakin menunjukkan luasnya spektrum sebuah hubungan atau perasaan, pun menimbulkan pertanyaan yang interpretasinya tergantung oleh penonton: apakah mereka hanya sahabat atau lebih dari itu?
LATAR DAN KUNCI VISUAL
Film Kado berlatar di Kota Makassar pada tahun 2018. Kota Makassar yang digambarkan bukanlah sebuah kota metropolitan seperti Jakarta, namun sebuah kota yang masih mengalami proses pembangunan. Hal ini ditunjukkan melalui adegan ketika Nita belajar naik motor dengan Isfi di dekat area konstruksi dan adanya gedung besar nan kosong yang menjadi salah satu latar utama dalam film. Bahkan sampai saat ini, Kota Makassar masih terasa tidak jauh berbeda dengan Makassar yang digambarkan dalam film Kado.
Tak hanya dari penggambaran latar secara besar, aspek sinematografi dalam film Kado juga begitu menarik dalam menceritakan kehidupan protagonisnya. Treatment kamera yang dinamis berpadu dengan teknik editing yang kadang terasa aneh berhasil menggambarkan kondisi Isfi yang meragukan keberadaannya di tempat yang disinggahinya, baik di antara teman-teman lelakinya maupun bersama Nita. Bahkan bisa dibilang, Kado menerapkan sebuah gaya dalam pembuatan film dokumenter, yakni cinéma vérité yang berpusat pada eksplorasi visual untuk menampilkan kebenaran di balik realita yang hampir tak kasat mata.
Melalui treatment sinematografinya, beberapa detail visual menjadi aspek yang tidak kalah penting untuk diinterpretasikan kemudian dibahas. Mulai dari kado untuk Nita yang jadi penggerak cerita, hingga detail yang lebih kecil seperti lemari terkunci.
Isi dari kado yang disiapkan Isfi untuk Nita di dalam lemarinya pada akhirnya tidak terlihat oleh audiens. Hal tersebut bisa menimbulkan pertanyaan di benak audiens terkait benda apa yang kira-kira menjadi hadiah dari Isfi untuk Nita, tapi hal tersebut juga menekankan bahwa niat dan usaha untuk memberi lebih berarti daripada hal apa yang diberi.
Masih berkaitan dengan kado, lemari dan pintu yang terkunci pun menjadi salah satu pesan visual yang penting dalam film Kado. Lemari merupakan objek yang sangat dekat dengan orang yang tergolong dalam minoritas identitas seksual dan gender, termasuk genderqueer. Ada sebuah kiasan yang sering digunakan, yaitu “hiding in the closet” yang berarti “bersembunyi di dalam lemari” (menyembunyikan identitas atau jati diri) dan “coming out of the closet” yang berarti “keluar dari lemari” (menunjukkan dan mengakui identitas atau jati diri). Setiap kali Isfi berada di kamar Nita, pintu dikunci. Pintu lemari Nita juga dikunci dan Isfi harus diam-diam menyiapkan hadiah ulang tahun Nita di dalamnya. Detail ini menimbulkan kesan ambigu dan menambah kompleksitas karakter Isfi dan bagaimana dia memandang dirinya sendiri.
Rumata’ ArtSpace adalah rumah budaya yang resmi berdiri 18 Februari 2011, dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Selain menawarkan fasilitas yang bisa diakses secara luas khususnya bagi seniman dan komunitas di Makassar, Rumata’ dikenal dengan program-program unggulan yang telah menjadi bagian penting pengembangan kebudayaan dan kesenian, antara lain Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Ratusan seniman dan relawan telah terlibat dalam berbagai kegiatan di Rumata’ dan ribuan pengunjung telah mengikuti berbagai kegiatan Rumata’. Perluasan kerjasama, peningkatan kualitas kegiatan dan upaya melebarkan jangkauan audiens adalah tiga hal mendasar yang akan terus dikerjakan Rumata’ Artspace.
Rumata’ ArtSpace is a cultural institution officially established on the 18thof February 2011. It operates independently and receives most of its funding from public donations. Apart from offering facilities that can be widely accessed, especially by artists and the Makassar community, Rumata’ is famous for its featured programs which have become an important part of cultural and artistic development, for example the Makassar International Writers Festival (MIWF) and SEAScreen Academy. Hundreds of artists and volunteers have participated in various activities at Rumata’ and thousands of visitors have also got involved. The three objectives that Rumata’ ArtSpace will continue to strive for are extending its collaborations, increasing the quality of its activities and growing its audience.
Jika ada saran, masukan dan informasi yang perlu kami ketahui, Anda dapat mengunjungi Rumata' ArtSpace dan menghubungi email serta nomor telefon yang tertera:
Jl. Bontonompo No.12A, Gn. Sari, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Indonesia