“New Normal” merupakan ungkapan yang kian sering dilafalkan hari ini. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota, termasuk Makassar juga telah ditiadakan. Meski begitu, kami di Rumata' ArtSpace masih belum memutuskan untuk membuka ruangan dan fasilitas secara fisik. Kami tetap antusias untuk menawarkan program-program secara daring, termasuk konsisten untuk merilis newsletter ini setiap bulannya.
Melalui newsletter ini pula, kami mengecam rasisme dalam bentuk apa pun. Ini adalah sikap dan respons kami atas apa yang telah terjadi di Amerika dan Papua, Indonesia.
Jika Anda memiliki saran, komentar atau ingin mengirimkan tulisan, email kami ke rumata.artspace@gmail.com. Kami selalu siap menerimanya.
__
Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:
Kordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Penulis Bulan Juni 2020: Erni Aladjai, Abdi Karya, The Book Club Makassar, Little Joyful Stories.
Korektor: Amy Djafar
Penerjemah: Edan Runge
"New Normal" is an expression that is increasingly being used today. Large-scale Social Restrictions (PSBB) in several cities, including Makassar, have also been removed. Even so, we at Rumata' ArtSpace still have decided not to open the room and facilities physically. We remain enthusiastic about offering programs online, including releasing this newsletter every month.
Through this newsletter, we officially announce that we condemn racism in any form. This is our attitude and response to what has happened in America and Papua, Indonesia.
If you have suggestions, comments or want to send posts, email us to rumata.artspace@gmail.com. We are always ready to accept it.
__
Rumata' ArtSpace Newsletter Team:
Coordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Author Contributors for June 2020: Erni Aladjai, Abdi Karya, The Book Club Makassar, Little Joyful Stories.
Proofreader: Amy Djafar
Translator: Edan Runge
Apakah kamu ingat kapan terakhir kali ke museum? Apa sih yang membuat kamu tertarik ke museum? Menurut tirto.id, angka kunjungan museum di Indonesia tergolong rendah, sehingga ia perlu beradaptasi dengan situasi terbaru agar dapat menarik pengunjung.
Setelah aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait pembatasan sosial, akhirnya kini museum dibuka kembali dengan tetap mengikuti anjuran protokol kesehatan. Pada episode ketiga RumaTalks ini, Yudhi Soerjoatmodjo akan berbagi pengalaman ia bersama Rumah Dongeng Noesantara dalam mengelola sebuah program yang bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan minat pengunjung, namun juga memberikan pengalaman yang berkesan pada siapa pun yang berkunjung ke musuem.
Simak cerita menarik tentang menemukan nyawa museum di bawah ini:
Do you remember the last time you went to a museum? What made you attracted to the Museum? According tirto.id, the number of museum visits in Indonesia is relatively low, so museums in Indonesia need to adapt to the latest situation in order to attract visitors.
After the regulations issued by the government regarding social restrictions, the museum is now finally reopened by following the recommended health protocol. In this third episode of RumaTalks, Yudhi Soerjoatmodjo will share his experience with Rumah Dongeng Nusantara in managing a program that aims not only to increase visitor interest but also to provide a memorable experience to anyone visiting Musuem.
Check out an interesting story about finding the soul of a museum below:
Ingin belajar bagaimana sih melihat dan menjangkau pasar untuk film yang kita buat? Bagaimana kemungkinan pola distribusi film yang dapat dilakukan, apalagi film-film dengan pendanaan yang minim...
Rumata Online Course menyediakan kelas “Pasar Film dan Distribusi” bersama Mira Lesmana, selaku salah satu produser terkemuka Indonesia dari Miles Film.
Semua kreator membutuhkan pengetahuan mengenai ruang tumbuh karyanya. Pentingnya wacana mengenai pasar film dan distribusi bagi para kreator, termasuk sutradara, penulis skenario terutama produser tentang perencanaan, pengelolaan, dan target pasar, juga mengenai pola distribusi dari lokal ke global.
Yuk, tunggu apa lagi. Mari tetap produktif selama kita #dirumahaja. Kita tunggu kehadiran kalian di kelas ya!
Do you want to learn how to see and reach the market for the films we make? About the possible patterns of film distribution, even for films with minimal funding?
Rumata Online Course provides the "Film and Distribution Market" class with Mira Lesmana, as one of Indonesia's leading producers from Miles Film.
All creators need knowledge about the growth space of their work. The importance of discourse regarding the film market and distribution for creators, including directors, screenwriters, especially producers about planning, management, and target markets, also regarding patterns of distribution from local to global.
Come on, what are you waiting for? Let's stay productive as long as we're #dirumahaja. We look forward to welcoming you to class!
MIWF MEMORY PROJECT will present various programs to remember, discuss and reflect on the process of the Makassar International Writers Festival. This activity will take place from 24-27 June 2020. There will be talks on how to produce the poetry exhibition Sapardi Djoko Damono, the ins and outs of Papermoon Puppet Theater to Makassar, MIWF's experience of holding residencies and establishing partnerships and parades of books published during the pandemic.
Baru-baru ini pada Rabu malam, Makassar International Writers Festival (MIWF) diumumkan menjadi pemenang International Excellent Award 2020 kategori The Literary Festival di London. Kemenangan MIWF adalah kemenangan bersama—hasil kerja keras para; pencetus, relawan, anak muda dan komunitas-komunitas di Makassar. Napas panjang MIWF adalah semangat kolaborasi dan kerendahhatian.
Di sebuah pulau perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, saya menghabiskan masa kecil hingga remaja dengan membaca narasi-narasi tentang Jawa, seperti cerita rakyat Baruklinting, Raden Jayadwipa, Legenda Tangkuban Perahu, dan buku tebal biografi Presiden Soeharto—bersampul hijau persawahan dengan gambar Ibu Tien dan sang presiden tengah menggenggam sejumlah batang padi. Masa itu, saya sekadar bergembira dengan bacaan yang tersedia di perpustakaan sekolah. Seiring waktu saya bertanya-tanya tentang narasi milik tempat saya sendiri—dalam konteks yang lebih luas—narasi keindonesiatimuran kami, narasi ini hampir tidak pernah datang dari negara ke tempat saya bersekolah dalam buku berstempel ‘milik negara dan tidak diperdagangkan.’
Keterhubungan ini mengingatkan persentuhan saya dengan MIWF pada 2011 silam, saya sedang di kota pantai kecil di Sulawesi Tengah, saya tengah bekerja di lembaga belajar untuk anak-anak sembari menyambi kerja sebagai editor berita di koran lokal, tiba-tiba saya mendapat berita gembira untuk datang kembali ke Makassar menghadiri MIWF sebagai emerging writers. Selain saya, Shinta Febriany—sekarang kurator MIWF, Hendra Gunawan S Thayf dan Hamran Sunu. Waktu itu saya baru saja menerbitkan novel debut saya tentang kehidupan sunyi seorang remaja penderita kusta—setelah pada 2008 saya meninggalkan Makassar dengan membawa kesepian—kesepian akan kegiatan-kegiatan diskusi buku, pelatihan menulis dan acara kesenian di Makassar yang tidak akan saya peroleh di Banggai kala itu.
Pada helatan MIWF perdana, saya terhubung dengan penulis-penulis seperti Maaza Mangiste dari Ethiopia, Abeer Soliman dari Mesir, Gunduz Vasaaf dari Turki, Rodaan Al Galidi dari Jerman. Saya mengingat sejumlah mata acara menarik kala itu; Debat Penyair vs Politisi yang berlangsung di Museum Kota Makassar, Tur ke Baranglompo sebagai kegiatan dialog dengan warga, pemutaran film pendek Tribute to Muhammad Salim (Penerjemah naskah klasik I La Galigo). Tema MIWF di perayaan pertamanya; Celebrating The World of The Words With The Locals—merayakan dunia kata-kata dengan orang-orang setempat.
Sepulang dari MIWF, saya gelisah karena ada pengaruh selepas festival ini, dimana saya ingin juga melakukan kerja kesusastraan dalam skala kecil di tempat saya—lalu bersama komunitas Dapur Seni Salanggar, kala itu kami membuat kelas penulisan kreatif di Salakan—Banggai Kepulauan, membuat kelas menulis puisi, jurnalistik dan cerita pendek kemudian membacakan di alun-alun kota Salakan—membuat warga terheran-heran dengan segerombolan anak muda seperti kami yang berdiri di alun alun kota membaca puisi pada sore hari. Ini hanyalah upaya kecil saya setelah pulang dari MIWF, ada puluhan ribu orang yang pernah terhubung dengan MIWF melakukan kerja-kerja literasi di tempat mereka sendiri—dalam kesunyian maupun dalam pengkabaran, entah itu berumur pendek atau berumur panjang—semuanya memiliki kegunaan.
MIWF bermula dari dua orang; Lily Yulianti Farid dan Riri Riza yang kala itu merintis Rumata’ Art Space sekaligus membuat program-programnya. Gagasan mengenai festival ini terbersit sepulang Lily terlibat di acara Writers Unlimited di Den Haag, Belanda. Lily dan Riri adalah dua orang Makassar—yang tidak tinggal di Makassar tetapi memikirkan Makassar, tujuan mereka adalah turut membangun Makassar dalam jangka panjang dan mengajak orang-orang untuk itu.
Dan memang tahun-tahun perayaan MIWF memperlihatkan pengaruh cukup besar bagi masyarakat, tidak hanya dalam ruang kesusastraan—penulis, komunitas, penerbit, pembaca, seniman, melainkan juga bagi masyarakat Sulawesi Selatan, dan Indonesia Timur. Dari sini berdampak pada meningkatnya minat terhadap buku, munculnya penulis-penulis yang membawa narasi ketimuran mereka (dalam buku ‘Dari Timur’ mulai dari vol 1 hingga yang terakhir vol 3, diterbitkan atas kolaborasi MIWF dan Penerbit Gramedia), ditambah setiap tahun MIWF menjaring emerging-emerging writers di kawasan Indonesia Timur, dari sini terus bermunculan penulis-penulis baru yang menceritakan realitasnya sendiri.
MIWF menciptakan narasi bahwa kehadirannya bukanlah mendikotomi timur dan barat, melainkan ingin menunjukkan bawah hak berkesusastraan, berkesenian adalah milik semua warga Indonesia—milik semua umat manusia sebagai bagian dari narasi kosmik. Bahwa dibutuhkan kerendahhatian saling menopang satu sama lain untuk menciptakan narasi masa depan yang lebih baik—bahwa kecenderungan sikap kita merasa diri adalah ‘pusat’ hanyalah melahirkan bentuk fanatisme yang tak berfaedah.
MIWF sebagai Festival Nir Sampah
Isu ekologis haruslah menjadi prioritas terpenting dalam kegelisahan kita di hari-hari sekarang. Elizabeth Kolbert dalam tulisannya ‘Field Notes from a Catasthrope’ mengatakan selama ini manusia telah berperilaku sebagai pembantai massal ekologis, jika kita melanjutkan apa yang kita lakukan akan menyebabkan tidak hanya musnahnya sebagian besar bentuk kehidupan, melainkan melemahnya fondasi peradaban manusia. Dibutuhkan laku untuk mengatasinya dimulai dari sekarang—dari tindak terkecil sampai upaya-upaya penyelamatan bumi dalam skala yang lebih besar.
Sebagai festival yang fokus pada isu-isu besar, pada tahun ke sembilan, MIWF mengusung konsep Festival Nir Sampah. Di tahun ini MIWF membentuk tim kerja ‘Zero Waste’, mereka bertugas memantau sampah selama festival, sampah ini dipilah sebagai kompos atau sebagai bahan baku daur ulang, tujuannya agar sampah tidak berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang—Makassar. Di sini, MIWF berkolaborasi dengan sejumlah komunitas seperti Ecobrick Makassar dan Forum Komunitas Hijau.
MIWF dan para komunitas peduli bumi di Makassar menyadari perkara sampah adalah isu serius, sehingga secara tidak langsung MIWF membangun kesadaran publik untuk mengatasi dan bertanggung jawab dengan sampah plastik mereka, dengan solusi sederhana—namun berdampak besar dengan mengajak warga mengisolasi sampah plastik mereka dalam ecobrick.
Selain laku pengisolasian sampah plastik dalam ecobrick, kabar terbaru adalah MIWF akan menghitung emisi yang dikeluarkan dalam penerbangan pesawat ketika para penulis undangan terbang dari tempatnya masing-masing menuju Makassar. Hasil akumulasi dari semua emisi ini akan ditukar dengan bentuk kerja MIWF dalam menanam bakau.
Tak hanya isu ekologis yang menjadi prioritas, MIWF juga melakukan advokasi dan pemberdayaan bagi warga disabilitas. Sebagai laku nyata, MIWF menyediakan petugas penerjemah bahasa isyarat untuk membantu para disabilitas setiap tahunnya, dan membuka panel diskusi bagi penggemar buku untuk warga tunarungu.
Kerja-kerja MIWF yang berkelanjutan hingga usia satu dekadenya pada tahun ini, adalah menjaga semangat, nilai, kerjasama dan keberpihakan. Dari tahun ke tahun MIWF terus memberi makna baru untuk Indonesia dan Indonesia Timur—mulai dari mendatangkan banyak penulis dan pembicara perempuan, mendukung warga disabilitas, menolak semua panelis laki-laki—dalam artian jumlah panelis perempuan dan pria haruslah setara hingga mengusung nilai sebagai festival nir sampah.
Kerja-kerja panjang dan independen MIWF akan terus berumur panjang dengan kesadaran kita untuk berpartisipasi dan mendukungnya dalam kemampuan kita masing-masing—sekecil apa pun itu.
Di masa masa peralihan dari karantina ke “new normal”, membuat kita belum seutuhnya dapat berkegiatan seperti sediakala, kita masih dituntut oleh situasi untuk bertualang dari satu platform digital ke platform digital yang lain untuk memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan kita. Sembari menemani kamu yang sedang beradaptasi dengen kelaziman baru ini, Little Joyful Stories, podcast berisi dongeng anak-anak dalam bahasa Inggris yang juga merupakan in-house creative partner Rumata’ ArtSpace, ingin memberikan kamu 5 rekomendasi podcast yang bisa kamu dengarkan kapan saja dan di mana saja.
Ear To Asia
Podcast ini merupakan podcast yang diinisiasi oleh Asia Institute, Universitas Melbourne yang akan berbincang dengan para peneliti yang berfokus pada Asia - dalam semua keragaman masyarakat, dan sejarahnya. Jika kamu ingin menikmati percakapan mendalam tentang kawasan paling padat dan dinamis di dunia dengan durasi sekitar 25-40 menit, seperti Living Witth Disabilities in Asia Society yang akan membahas tentang bagaimana nasib orang-orang disabilitas di Asia dapat hidup berdampingan dengan masyarakat non-disabilitas, atau Can Japan Stop Its Rapid Population yang akan membahas tentang masalah apa saja yang sedang dihadapi Jepang, serta kebijakan-kebijakan yang akhirnya dikeluarkan oleh pemerintah untuk memerangi depopulasi, ada pula episode berjudul Fleeing in North Korea tentang warga Korea Utara yang memilih untuk keluar dari tanah air mereka, menempatkan diri mereka sendiri dan anggota keluarga yang mereka tinggalkan dalam risiko, serta mengulas bagaimana hidup para pembelot itu saat ini dan masih banyak topik menarik lainnya. Kamu dapat berlangganan podcast Ear To Asia ini di Apple Podcast ataupun Spotify.
Thirty Days of Lunch
Podcast ini terinspirasi dari pengusaha asal Hongkong Li Ka Shing. Ruby dan Ario Pratomo mengajak satu tokoh inspiratif untuk makan siang disertai bincang bincang tentang suatu topik. Tentunya dari percakapan tersebut kita bisa menambah banyak ilmu baru, dan dari semua perbincangan yang sangat bergizi, inspiratif dan informatif ini, #Lunch 10: Investing in Your 20s with Jouska (part 1 dan 2) adalah salah satu yang paling menarik terutama untuk anak muda yang ingin mendapatkan insight tentang dunia saham dan investasi, serta membahas tentang generasi sandwich dan kondisi ekonominya, selain itu di #Lunch 11: Najwa Shihab juga membahas tentang pentingnya konten yang “impactful” di masa saat ini. Podcast ini telah memasuki season 2 di pertengahan Desember tahun lalu, dan kembali menghadirkan narasumber yang tak kalah menariknya dengan para pembicara di season sebelumnya.
Modern Love
Modern love adalah podcast yang diproduksi oleh Boston University’s Student Radio Station dan The New York Times. Podcast ini merupakan pelarian yang manis dan menginspirasi. Kisah-kisah yang disajikan dapat menggerakkan hati secara emosional, terdapat banyak kisah-kisah hebat yang diriwayatkan dengan indah, diikuti oleh wawancara cerdas, dan produksi audio yang luar biasa. Podcast yang dirills sejak tahun 2016 ini dapat membuat siapapun yang mendengarkan menjadi tertawa, menangis, santai dan terhibur sekaligus. Tidak jarang, aktor dan aktris terkemuka dunia seperti Saoirse Ronan, Daniel Redcliff, Jake Gyllenhaal bahkan Alicia Keys turut serta membacakan esai para kontributor. Dari sekitar 200-an episode, Cupid is A Prying Journalist dan Let’s Meet Again in Five Years adalah dua episode yang memiliki cerita cinta sederhana namun sangat menyentuh. Cerita tentang cinta lama yang akhirnya kembali disatukan setelah kedua pemeran mengalami pergolakan batin yang hebat, serta cerita tentang dua pasangan muda yang memilih untuk fokus pada urusan mereka masing-masing dan ingin menguji perasaan mereka satu sama lain, hingga kemudian berjanji untuk bertemu kembali 5 tahun kemudian di salah satu sudut perpustakaan di kota New York. Episode baru akan rilis setiap hari Kamis pagi.
Coming Home With Leila Chudori
Coming Home With Leila Chudori diselenggarakan oleh penerbit Kepustakaan Gramedia. Podcast yang dipandu oleh jurnalis senior Leila Chudori ini akan membicarakan buku dalam tiga segmen: “In contemplation with…”, “In conversation with…” and “In consideration with…” In contemplation with Leila akan berbicara kepada tokoh-tokoh terkemuka yang gemar membaca dan memperlakukan buku sebagai kebutuhan hidup. In conversation with, Leila akan membicarakan tentang proses kreatif dengan para penulis dan penyair…. “In consideration with…” Leila akan mendiskusikan satu atau dua buku menarik bersama beberapa tokoh. Perlu waktu yang cutup luang untuk dapat menyelesaikan 1 episode di podcast ini, durasi beberapa episode bahkan goes beyond an hour. Meski begitu, If you are a literature enthusiast, this is going to be one of a kind that you absolutely won’t miss.
NGOPI - Ngobrolin pilem
Podcast yang dipandu oleh Tomi, Iwan, Aldy, Gian, dan Liam ini mendiskusikan soal film lawas hingga yang terbaru. Podcast ini dikemas secara unik, santai, dan detil, sehingga pendengarnya tidak hanya akan merasa larut akan obrolan para host, tapi juga mendapatkan banyak insight tentang film termasuk penjelasan-penjelasan detil mengenai teknis-teknis film, naskah, plot, setting, dan art semua dibahas. Berkaca pada kiprah Gian sebagai kritikus film di Kincir, di podcast ini Gian dengan antusiasmenya mengajak empat kawan lainnya yang semakin membuat podcast ini terdengar seru dan cocok disimak saat senggang.
Rumata’ ArtSpace adalah rumah budaya yang resmi berdiri 18 Februari 2011, dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Selain menawarkan fasilitas yang bisa diakses secara luas khususnya bagi seniman dan komunitas di Makassar, Rumata’ dikenal dengan program-program unggulan yang telah menjadi bagian penting pengembangan kebudayaan dan kesenian, antara lain Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Ratusan seniman dan relawan telah terlibat dalam berbagai kegiatan di Rumata’ dan ribuan pengunjung telah mengikuti berbagai kegiatan Rumata’. Perluasan kerjasama, peningkatan kualitas kegiatan dan upaya melebarkan jangkauan audiens adalah tiga hal mendasar yang akan terus dikerjakan Rumata’ Artspace.
Rumata’ ArtSpace is a cultural institution officially established on the 18thof February 2011. It operates independently and receives most of its funding from public donations. Apart from offering facilities that can be widely accessed, especially by artists and the Makassar community, Rumata’ is famous for its featured programs which have become an important part of cultural and artistic development, for example the Makassar International Writers Festival (MIWF) and SEAScreen Academy. Hundreds of artists and volunteers have participated in various activities at Rumata’ and thousands of visitors have also got involved. The three objectives that Rumata’ ArtSpace will continue to strive for are extending its collaborations, increasing the quality of its activities and growing its audience.
Jika ada saran, masukan dan informasi yang perlu kami ketahui, Anda dapat mengunjungi Rumata' ArtSpace dan menghubungi email serta nomor telefon yang tertera:
Jl. Bontonompo No.12A, Gn. Sari, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Indonesia