Salam dari Rumata'!

Bulan ini kami kembali menyuguhkan beberapa informasi, bacaan, podcast dan rekomendasi mengenai seni dan budaya. Informasi mengenai peraih beasiswa SEAscreen Academy, podcast perihal perundungan anak, informasi kegiatan MIWF Memory Project yang akan membahas Tren Sastra Indonesia Timur dari Hasil Seleksi Emerging Writers MIWF 2020, wawancara dengan Ama Achmad terkait pengalamannya selama di MIWF dan bagaimana akhirnya ia bersama kawan-kawan dari Babasal Mombasa menggelar Festival Sastra Banggai, serta rekomendasi museum virtual oleh Littletalks Ubud.
 
Semoga bacaan-bacaan melalui newsletter Rumata' ini tetap dapat menambah khazanah pengetahuan dan gagasan kita mengenai sastra, literasi, seni dan budaya untuk Indonesia, khususnya Indonesia Timur.

Jika Anda memiliki saran, komentar atau ingin mengirimkan tulisan, email kami ke rumata.artspace@gmail.com. Kami selalu siap menerimanya.

__

Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:
Kordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Penulis Bulan Juli 2020: Rizka Raisa Fatimah, Al Adi Fitrah,  Ama Achmad, Pamula Mita Andary, Jumardan, Little Talks Ubud, William Pakan, Yoga Pratama, Ari Al-Qodri.
Korektor: Amy Djafar
Penerjemah: Edan Runge

Greetings from Rumata'!

This month we again present some information, readings, podcast and recommendations on art and culture. Information about SEAScreen Academy scholarship winners, podcasts on child abuse, information on MIWF Memory Project activities that will discuss Easten Indonesia Literature Trends from the MIWF Emerging Writers 2020 Selection Results, interviews with Ama Achmad related to her experiences while at MIWF and how she ended up with her friends from Babasal Mombasa to hold the Banggai Literature Festival, as well as a virtual museum recommendation by Littletalks Ubud.

Hopefully the readings through Rumata' newsletter will still be able to give you a new insights and ideas about literature, literacy, art and culture for Indonesia, especially Eastern Indonesia.

If you have suggestions, comments or want to send posts, email us to rumata.artspace@gmail.com. We are always ready to accept it.

__

Rumata' ArtSpace Newsletter Team:
Coordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Author Contributors for Juli 2020: Rizka Raisa Fatimah, Al Adi Fitrah, Ama Achmad, Pamula Mita Andary, Jumardan, Little Talks Ubud, William Pakan, Yoga Pratama, Ari Al-Qodri.
Proofreader: Amy Djafar
Translator: Edan Runge

Beasiswa Film dari SEAscreen Academy!

Film Scholarships from SEAscreen Academy!

Rumata’ ArtSpace – SEAscreen Academy memberikan beasiswa kepada komunitas yang akan diwakili oleh 1 orang sebagai representatif pembuat film dari Kawasan Timur Indonesia untuk kelas: DIRECTING CLASS with RIRI RIZA di Cinema Crash Course (CCC). Kelas ini berlangsung pada tanggal 14, 15, 21 dan 22 Juli 2020, Pukul 18:30–21:30 WIB berbasis daring. Rumata’ – SEAscreen Academy memilih dua komunitas ini dengan melihat progres, kegiatan dan program-program yang dijalankan komunitasnya sesuai dengan visi dan misi SEAscreen Academy di bidang diskursus dan wacana perfileman.

1. SINEKOCI (Palu, Sulawesi) - Muhammad Ifdhal
2. Komunitas Film Kupang (NTT) - Adriana Ajeng Ngailu
 
“Cinema Crash Course (CCC)” merupakan program yang digagas oleh Kinosaurus, membahas seluk beluk dunia produksi dalam rangkaian empat kali pertemuan spesifik, bersama pengajar dan praktisi film profesional. Kali ini Cinema Crash Course menghadirkan dua pengajar yang telah berpengalaman melintasi beragam cerita dan bentuk, yakni Riri Riza dan Sheila Timothy. Keduanya sukses melahirkan film yang disambut baik antara pasar dan apresiasi baik secara domestik dan internasional. Mereka akan mengisi dalam dua payung profesi yang berbeda yaitu Sutradara dan Produser.
 
Selamat belajar!

Rumata 'ArtSpace - SEAscreen Academy provides scholarships that will be awarded to two people from two communities as representative filmmakers from Eastern Indonesian Indonesia for a DIRECTING CLASS with RIRI RIZA at Cinema Crash Course (CCC). This class is taking place on 14, 15, 21 & 22 July 2020 | 18:30 - 21:30 WIB and is based online. Rumata'- SEAscreen Academy chose these two communities by looking at the progress, activities and programs that the communities carried out in accordance with SEAscreen Academy's vision and mission in the fields of film production and directing.
 
1. SINEKOCI (Palu, Sulawesi) - Muhammad Ifdhal
2. Kupang Film Community (NTT) - Adriana Ajeng Ngailu
 
"Cinema Crash Course (CCC)" is a program initiated by Kinosaurus, which discusses the ins and outs of the world of production in a series of four specific meetings with professional film teachers and practitioners. This time Cinema Crash Course features two teachers with experience in a variety of stories and forms, namely Riri Riza and Sheila Timothy. Both have succeeded in producing films that were welcomed by the market and received appreciation both domestically and internationally. They will provide instruction about two different professional roles, namely Director and Producer.
 
We hope the scholarship recipients enjoy their study!

Kampanye Anti-Bully Melalui Gambar bersama Rizka

Anti-Bully Campaign Through Drawings with Rizka

RumaTalks adalah podcast yang diinisiasi oleh Rumata’ ArtSpace. RumaTalks berisi tentang obrolan-obrolan menarik tentang seni, budaya, literasi dan film. Selain itu, podcast ini juga membahas isu-isu sosial yang dikemas dengan ringan, sederhana dan informatif. Podcast Rumatalks dirilis sekali dalam sebulan. 
 
Tepat pada tanggal 23 Juli nanti, Indonesia akan merayakan Hari Anak Nasional. Perayaan Hari Anak Nasional tahun ini mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dengan hastag #AnakIndonesiaGembiradiRumah. Berdasarkan Panduan Hari Anak Nasional 2020, program penanganan dan pencegahan Covid-19 oleh kementerian/lembaga/pemda masih belum sepenuhnya dapat dilakukan secara optimal dengan berpihak pada kepentingan terbaik anak. Beberapa dampak negatif bagi anak antara lain: kehilangan pengasuhan, mengalami kekerasan verbal dan non-verbal, berkurangnya kesempatan anak untuk bermain, belajar serta berkreasi sebab diterapkannya kebijakan jaga jarak & belajar dari rumah.
 
Berdasarkan berita dari detiknews.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan kasus pelanggaran anak di bidang pendidikan selama Januari hingga April 2019 mayoritas terjadi pada kasus perundungan (bully) pada anak. Mayoritas kasus terjadi di jenjang pendidikan SD sederajat, yaitu sebanyak 25 kasus (67%). Jenjang SMP: 5 kasus, SMA: 6 kasus, dan perguruan tinggi: 1 kasus.
 
Episode keempat kali ini, tim RumaTalks telah berbincang bersama Rizka Raisa Fatimah Ramli, seorang ilustrator muda yang berhasil memenangkan kontes komik dunia yang digelar oleh The United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) and United Nations (UN). Di podcast ini, ia menceritkan proses kemenangannya berkompetisi dengan peserta dari 130 negara, mengenai pengalaman hidupnya yang familiar dengan perundungan, dan upaya yang telah ia lakukan untuk mengurangi kasus perundungan itu sendiri.
 
Mari rayakan Hari Anak Nasional 2020 dengan mendengarkan podcast ini:

RumaTalks is a podcast initiated by Rumata' ArtSpace. RumaTalks contains interesting chats about art, culture, literacy and film. In addition, this podcast also addresses social issues that are packaged in a lightweight, simple and informative way. The RumaTalks podcast is released once a month.

Right on July 23rd, Indonesia will celebrate National Children's Day. This year's National Children's Day Celebration carries the theme "Protected Children, Advanced Indonesia" with the hashtag #AnakIndonesiaGembiradiRumah. According to the National Children's Day Guide 2020, Covid-19's handling and prevention program by ministries / institutions / regional governments cannot be fully carried out optimally in favor of the best interests of children. Some negative effects for children include: loss of care, experiencing verbal and non-verbal violence, reduced opportunities for children to play, learn and be creative because of the adoption of a policy of maintaining distance & learning from home.

Based on news from detiknews.com, the Indonesian Child Protection Commission (KPAI) said the majority of cases of child violations in the field of education in January to April 2019 occurred in cases of child abuse (bullying). The majority of cases occurred at the same level of elementary school education, which was 25 cases (67%). Junior high school: 5 cases, high school: 6 cases, and tertiary institutions: 1 case.

The fourth episode this time, the RumaTalks team has spoken with Rizka Raisa Fatimah Ramli, a young illustrator who won the world comic contest held by The United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) and United Nations (UN) in 2019. In this podcast, she described the process of her victory in competing with participants from 130 countries, about her life experience that was familiar with harassment, and the efforts she had made to reduce the case of harassment itself.

Let's celebrate National Children's Day 2020 by listening to this podcast:

MIWF Memory Project: Membaca Tren Sastra Indonesia Timur Melalui Seleksi Penulis MIWF 2020

MIWF Memory Project: Reading Eastern Indonesian Literature Trends for the MIWF 2020 Author Selection

Halo teman-teman MIWF, penulis terpilih MIWF 2020 akan diumumkan bulan ini dan Tim Kurator MIWF akan mendiskusikan hasil pembacaan mereka atas 143 naskah/buku yang diterima oleh panitia seleksi. Kami mengajak teman-teman semua bertemu di kanal Youtube Rumata’ Artspace pada:

Minggu, 19 Juli 2020
Pukul 14.00 Waktu Makassar

Bersama Intan Paramaditha, Lily Yulianti Farid, M. Aan Mansyur dan Shinta Febriany.

Sampai jumpa di MIWF Memory Project!

Hello friends of MIWF, the authors chosen for MIWF 2020 will be announced this month and the MIWF Curator Team will discuss the results of their reading of 143 texts / books received by the selection committee. We invite you all to meet us on the Rumata’ Artspace Youtube channel on at:
 
Sunday, July 19, 2020
14.00 Makassar Time
 
With Intan Paramaditha, Lily Yulianti Farid, M. Aan Mansyur and Shinta Febriany.

See you at MIWF Memory Project!

Memperpanjang Ingatan Melalui Festival Literasi - Wawancara dengan Ama Achmad

Extending Memories Through a Book Festival - Interview with Ama Achmad

Di tahun 2020 ini, begitu banyak program dan kegiatan terkena dampak dari wabah Covid-19, termasuk festival literasi yang ada di Indonesia. Hal ini menjadi langkah besar bagi setiap penyelenggara program festival mengenai visi & misi mereka dalam merealisasikan program. Kami selalu percaya bahwa pada setiap kerja untuk seni & budaya, ada imajinasi tentang perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih baik, setidaknya pada tingkat kota dan nasional. Festival/program merupakan salah satu upaya untuk menggerakkan seni dan budaya, tapi lebih dari itu, festival tidak hanya persoalan pertemuan secara fisik dan virtual semata, festival/program itu soal gagasan. Di edisi Newsletter Juli ini, tim kami yang diwakili oleh Pamula Mita Andary, berbincang dengan Ama Achmad, seorang penyair perempuan yang berasal dari Banggai juga merupakan salah satu inisiator Festival Sastra Banggai, mengenai proses kepenulisannya serta ide lahirnya festival sastra di Luwuk.

**

Boleh ceritakan secara biografis diri Kak Ama, lahir, tinggal dan fokus kekaryaannya..



Saya lahir di Luwuk, Banggai. Tinggal dan besar di kota ini juga, sempat kuliah di Makassar dan tinggal untuk 7 tahun di sana. Kembali lagi ke Luwuk untuk bekerja dan mengurus yayasan keluarga. Fokus kekaryaan atau medium saya berkarya adalah tulisan. Saya senang menulis puisi, cerita pendek, pernah menulis novel, dan esai-esai untuk media setempat.
 
Sejak kapan dan bagaimana mulanya Kak Ama bisa tertarik dengan dunia sastra? Dan apa yang membuat Kak Ama memutuskan untuk jadi seorang penulis? 

Secara tidak langsung, saya tertarik dengan sastra ketika SD, saat mendengar puisi Chairil Anwar yang dideklamasikan seorang kawan di depan kelas. Dari situ, ketika saya ditanya tentang cita-cita, jawaban saya singkat; ingin seperti Chairil. Tetapi proses itu cukup lama, saya memasuki masa-masa sekolah dan melupakan cita-cita masa kecil itu. Pulang ke Luwuk rupanya membangkitkan lagi cita-cita masa kecil itu. Saya mulai menulis, membaginya di blog, dan menulis novel pertama tahun 2011 (yang akhirnya saya tarik lagi dari self-publishing karena tidak percaya diri). Setelahnya saya menemukan kesenangan baru, memposting cuitan puisi, menulis di blog, dan menemukan lingkaran baru yang di dalamnya berisi penulis dan orang yang senang menulis. Dengan menulis, saya leluasa “bersuara”.
 
Sewaktu diundang ke MIWF, kapan dan bagaimana ceritanya Kak? 



Diundang ke MIWF itu sebuah anugerah luar biasa. Saya lupa bagaimana tepatnya, tetapi saya menemukan info emerging writers (MIWF mencari penulis muda dari Indonesia Timur) di twitter. Saya ikut dan tidak berharap banyak, karena merasa tidak cukup baik dan (mungkin) banyak yang ikut. Tetapi satu malam, ada yang menghubungi via telepon. Suara perempuan yang tidak saya kenali, dan bilang bahwa saya lolos sebagai emerging writers tahun 2014. Saya gemetar, begitu tahu yang menelepon adalah ibu Lily Yulianti Farid, direktur dan founder MIWF. Akhirnya tahun itu, sampailah saya ke MIWF dan bertemu banyak orang, terkhusus teman-teman emerging writers.
 
Apa sih dampak dan kesan secara mendalam bagi Kak Ama pribadi ketika menghadiri MIWF? 

MIWF memberi begitu banyak pencerahan pada saya. Saya senang menyebutnya pencerahan alih-alih hanya sebuah kesan. Di MIWF, saya belajar dan menduplikasi hal-hal baik yang dikerjakan Ibu Lily dan tim. Saya pulang ke kampung, mulai membangun jejaring dan bergerak. Sedikit lambat tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
 
Apa sih yang menjadi keresahan Kak Ama pada Banggai dan kota-kota lainnya di Indonesia Timur dalam konteks sastra dan literasi… 

Keresahan terbesar saya untuk literasi adalah ketidakmerataan dan rumitnya akses buku. Tidak hanya itu, kebiasaan baca tidak terbentuk di kampung saya. Jadilah saya dan beberapa kawan membuat komunitas yang gerakannya berbasis literasi, sastra dan pendidikan. Untuk sastra, saya punya keresahan lain. Bagi kehadiran penulis-penulis dari timur, juga dalam hal ini adalah sebuah kebutuhan terhadap “bunyi” yang selama ini terlalu samar atau bahkan tidak sampai di khalayak ramai atau jika bisa bilang didominasi oleh Indonesia bagian lain. 

Itu juga yang menjadi alasan kenapa Kak Ama dan kawan-kawan di Banggai menggelar Festival Sastra Banggai? Boleh ceritakan secara lengkap bagaimana gagasan itu bermula sampai akhirnya Festival Sastra Banggai konsisten diadakan dalam beberapa tahun terakhir… 



Benar sekali, dari fokus komunitas kami, saya pikir keduanya (literasi dan sastra) beririsan. Literasi tidak hanya persoalan baca tulis tetapi juga kemampuan menulis dan menghasilkan karya. Dari situlah kemudian tulisan, sastra atau nonsastra lahir. Gagasan pelaksanaan Festival Sastra Banggai lahir dari obrolan panjang di sebuah kedai kopi. Setelah melewati diskusi panjang dan beberapa kali perubahan nama, dilaksanakanlah perayaan pertama festival ini. Untuk pelaksanaan kami melakukan audiensi ke banyak pihak, dan melakukan advokasi ke pemerintah setempat. Dukungan itu datang dalam berbagai bentuk sehingga akhirnya kami bisa terus melaksanakannya setiap tahun. Mendatangkan penulis-penulis hebat ke Luwuk Banggai, mungkin dipandang sebagai sebuah kegilaan. Bagi kami, itu upaya untuk memantik banyak orang tentang pentingnya menjaga, memperpanjang ingatan, dan mendokumentasikan banyak hal dengan tulisan. Juga semacam pekan gembira, pertemuan pembaca dan penulis kesukaannya. FSB juga acara tahunan setelah setahun penuh komunitas kami melakukan kerja-kerja kolektif untuk literasi, pendidikan dan sastra.

Harusnya tahun ini merupakan tahun ke-10 MIWF diadakan dan permasalahan tiap festival tentu saja berbeda tiap kota dan tiap waktu. Apa saja tantangan menggelar Festival Sastra Banggai? 

Festival sastra bukan festival musik yang dengan mudah diterima banyak orang. Orang-orang datang, mendengarkan musik dan ikut bernyanyi, sudah itu pulang. Melaksanakan FSB berarti menabrak kelaziman di Luwuk. Ada banyak yang mesti kami “biasakan” ke orang-orang. Kultur masyarakat juga menjadi tantangan, bagaimana kami harus mengajak, memanggil, bahkan mengundang agar masyarakat hadir selama pelaksanaan. Tantangan paling sulit, selain pola pikir masyarakat, adalah mengupayakan hadirnya festival yang bisa mengedukasi dan menghibur. PR terbesar kami, adalah FSB seterusnya hadir dan dicintai serta diterima banyak orang.
 
Menurut Kak Ama, apa yang berubah pada kota dan masyarakat di dalamnya setelah terselenggaranya Festival Sastra Banggai? Apa saja dampaknya hari ini? 

Saya pikir butuh waktu lama untuk perubahan, tetapi setidaknya FSB hadir dengan identitas baru bagi kota ini. Bagi sebuah kota yang namanya sulit dicari di peta, FSB kemudian menjadi penanda. Saya, kawan-kawan di komunitas, juga teman-teman lain yang berinteraksi dengan komunitas kami, sering membagi pengalaman terkait penanda ini.

Selain itu, terbangunnya ruang-ruang diskusi, juga lahirnya program kerja sama dengan pemerintah setempat dan institusi lain terkait literasi dan sastra. Ah... dan yang sangat terasa jejaring dan ruang lain yang terbentuk sampai ke Banggai Laut dan Banggai Kepulauan. Dampak paling kecil dan sangat terasa adalah minat baca kawan-kawan di lintas komunitas yang semakin terasa, juga terbentuknya keberanian beberapa kawan untuk menulis.
 
Tahun depan MIWF akan merayakan 1 dekade, apa harapan Kak Ama untuk MIWF? 

Sebagai “tempat lahir” saya, juga “kakak” dari Festival Sastra Banggai, saya sungguh berharap MIWF panjang umur. Juga rencana-rencana yang tertunda cepat terlaksana. Paling penting bahwa MIWF menjadi ruang belajar besar yang bebas akses bagi siapa pun.
 
Adakah karya yang sedang Kak Ama persiapkan dalam waktu dekat? Kasi bocoran dong, Kak…

Ini agak sulit dijawab. Saya sedang menulis cerita pendek dan menulis (untuk mencukupkan) puisi-puisi. Sampai hari ini, belum tahu kapan akan siap atau selesai. Tapi di antara kesibukan mengedit (saya editor lepas di satu penerbitan), mengelola dua yayasan, mengurus keluarga dan memandang laut, saya mengupayakan agar puisi dan kumpulan cerita pendek itu segera lahir.

Terima kasih, Kak…

Sama-sama.

 

In 2020, many programs and activities have been affected by the Covid-19 outbreak, including the literacy festival in Indonesia. This has became a big step for every festival program organizer regarding their vision and mission on objectifying the program. We always believe that in every works for art and culture, there is imagination related to change and development for the better, at least at the city and national level. The festival/program is an effort to move the arts and culture, but more than that, the festival is not just a matter of physical and virtual meetings, the festival/program is a matter of ideas. In this edition of the July Newsletter, our team, represented by Pamula Mita Andary, talked with Ama Achmad, a female poet from Banggai who was also one of the initiators of the Banggai Literature Festival, about the process of writing and the idea  of the birth of the literary festival in Luwuk.

**

Could you give us a biography, Ms. Ama? Where you were born, where you lived and the focus of your work..
 
I was born in Luwuk, Banggai. I grew up in this city too, studied in Makassar and lived there for 7 years. I went back again to Luwuk to work and take care of the family’s charitable foundation. The focus of my artistic work is writing. I enjoy writing poetry, short stories, novels, and essays for local media.
 
Since when and how did you become interested in literature? And what made you decide to become a writer?
 
Indirectly, I was interested in literature when I was in elementary school, when I heard Chairil Anwar's poem that was recited by a friend in front of the class. From there, when I was asked about my dreams, my answer was brief; I wanted to be like Chairil. But the process was pretty long, I entered high school and forgot the ideals of that childhood. Returning to Luwuk apparently reawakened those childhood ideals. I started writing, sharing on blogs, and writing my first novel in 2011 (I finally pulled back from self-publishing because I wasn't confident). After that I found new pleasures, posted poetry online, wrote blogs, and found new friendship circles that contained writers and people who loved to write. By writing, I was free to "speak".
 
When you were invited to MIWF, when and how was it?
 
Being invited to MIWF was an extraordinary gift. I forget exactly how, but I found info about emerging writers (MIWF looking for young writers from Eastern Indonesia) on Twitter. I joined and did not expect much, because I felt that I was not good enough and (maybe) many participated. But one night, someone called via telephone. The voice of a woman I did not recognize and said that I had been selected as an emerging writer in 2014. I was trembling as soon as I knew it was Lily Yulianti Farid, MIWF's director and founder. Finally that year, I arrived at MIWF and met many people, especially friends of emerging writers.
 
What was the impact and your impression when attending MIWF?
 
MIWF gave me so much enlightenment. I like to call it an enlightenment instead of just an impression. At MIWF, I learned and implemented the good things that Lily and the team did. I returned to the village, began to build networks and work. The process was a little slow but much better than nothing.
 
What are your concerns in Banggai and other cities in Eastern Indonesia regarding literature and literacy?


 
My greatest concern for literacy is the inequality and complexity of book access. Not to mention that good reading habits haven’t been formed in my village. So, a few friends and I formed a community based on literacy, literature and education. For literature, I have another concern, regarding the prominence of writers from the east. In this case, there’s a need for more "noise" from the east, which has been too quiet or even has not reached the public or because it’s been drowned out by noise from other parts of Indonesia.
 
Is that also the reason why you and your friends at Banggai organised the Banggai Literature Festival? Can you tell us everything about how the idea for the Banggai Literary Festival began until its consistent organisation in the last few years?


 
That's right, from the focus of our community, I think both (literacy and literature) intersect. Literacy is not only a matter of reading and writing but also involves the ability to write and produce works. From literacy, writing and producing literary or non-literary texts emerges. The idea of ​​holding the Banggai Literature Festival came from a long chat at a coffee shop. After long discussions and several name changes, we finally celebrated the festival. To implement it, we deliberated with many parties and advocated the idea with the local government. Support came in various forms so that we could finally make it an annual event. Bringing great writers to Luwuk Banggai might have seemed like insanity. For us, it was an effort to inspire many people about the importance of preserving, extending memories, and documenting many things in writing. It’s also just a kind of happy weekend, a meeting of readers and their favourite writers. The FSB (Banggai Literature Festival) is now an annual event thanks to a full year of our community working together on literacy, education and literature initiatives.
 
This year should have been the 10th year MIWF was held and all festivals will certainly face problems depending on their city’s situation and timing. What are the challenges of organising the Banggai Literature Festival?
 
Literary festival is not a music festival that is easily accepted by many people. People come, listen to music and join in singing, it's already gone home. Carrying out the FSB means crashing into the norm in Luwuk. There is a lot that we have to "get used to" to people. Community culture is also a challenge, how we should invite, call, and even invite the community to be present during the implementation. The most difficult challenge besides the mindset of the people, is to strive for the presence of festivals that can educate and entertain. Our biggest task is that FSB remains here to stay and be loved and accepted by many people.
 
In your view, Ama, what has changed in the city and the people in it after the introduction of the Banggai Literature Festival? What are the effects today?


 
I think it will take a long time for a change, but at least the FSB brings a new identity for this city. For a city whose name is difficult to find on a map, the FSB has become a marker. Friends both within and outside the community and I often share important experiences at this marker for the city.

In addition, we’ve contributed to the establishment of discussion rooms and the emergence of joint programs with the local government and other institutions related to literacy and literature. Ah and what is very noticeable are the networks and other spaces that have formed up to the Banggai Laut and Banggai Islands. The smallest and most noticeable impact is my friends’ increasing interest in reading works from diverse communities, as well as the greater courage of some friends to write.
 
Next year MIWF will celebrate a decade of existence, what are your hopes for MIWF?
 
As my literary "place of birth", as well as a "sister" of the Banggai Literature Festival, I truly hope MIWF will live long and that any delayed plans are quickly implemented. Most importantly that MIWF becomes a large learning space that is free to access for anyone.
 
Are there any works that you are preparing in the near future? Please give a sneak preview, Ama ...
 
This is rather difficult to answer. I am writing short stories and writing poems (to make ends meet). To this day, I do not yet know when they will be ready or finished. But amongst the busy editing (I am a freelance editor at one publication), I’m managing two foundations, taking care of the family and looking at the sea, I’m working hard so the poetry and a collection of short stories can be published soon.

Thank you!

You're welcome. 

Berminggu Tenang Di Rumata’

A Peaceful Sunday at Rumata’

Muhammad Hasymi Ibrahim, sastrawan kota Makassar di Minggu Tenang membawakan pidato “Mengalami Indonesia”. Pidato ini dibawakannya sekira 20 menit. Di bagian awal, Ami sapaan akrabnya memaparkan konsep-konsep mengenai ke-Indonesia-an. Menurutnya, Indonesia saat ini bukanlah proyek final. Kita masih harus terus bekerja dan bergerak untuk Indonesia. Di tengah pidato, barulah dia menyinggung mengenai sistem demokrasi di Indonesia yang menurutnya hanyalah sebuah platform laiknya Android dan iOS. Kita tidak dapat menolak prosedur mutlak demokrasi, tapi kita masih dapat menempuh jalur lain melalui jalur kemanusiaan yang paling asasi yakni, keindahan. Sastrawan yang memulai karirnya di kampus Universitas Hasanuddin ini menjelaskan jalur keindahan dengan cara memandangi baliho-baliho caleg, membaca slogan-slogan mereka, melihat iklan-iklan mereka di televisi, hingga kemudian kita akan tiba pada titik tertinggi tragedi, yakni komedi. Sebuah perbandingan tragis antara tragedi dan komedi. Di akhir, Ami menutup pidato dengan puisi yang dituliskannya di tahun 1994 berjudul Postscriptum Ibu Pertiwi.
 
Minggu Tenang di Rumata’ tampaknya menyedot perhatian beberapa sastrawan dan penulis untuk hadir di tempat ini. Adalah Muhary Wahyu Nurba yang kemudian diminta untuk berada di depan penonton. Sebelumnya membacakan sajaknya yang berjudul Aceh, Kujenguk Hatimu, Muhary memberikan pujian terhadap halaman belakang Rumata’. Menurutnya, banyak hal yang bisa dilakukan selain menata kota ini dengan beton. Salah satunya, dengan menghidupkan halaman rumah. Dan Rumata’ telah memiliki tempat mewah di kota ini, yakni halaman belakang. Ingatan saya kemudian terbawa pada tulisan Anwar Jimpe Rachman berjudul Perihal yang Tumbuh di Halaman.
 
Dalam tulisan itu, dikutipnya hasil penelitian psikolog Ulrich: “Pasien dengan pemandangan jendela alam menginap di rumah sakit lebih singkat pasca operasi, mempunyai lebih sedikit komentar negatif dalam catatan perawat. Selanjutnya, pasien yang ditempatkan di ruangan yang menghadap dinding bata memerlukan lebih banyak suntikan penghilang rasa sakit.”
 

Makassar writer, Muhammad Hasymi Ibrahim, delivered a speech entitled "Mengalami Indonesia (Experiencing Indonesia)" on Peaceful Sunday. This speech was approximately 20 minutes. In the beginning, Ami, his nickname, explained his concept of Indonesia. According to him, Indonesia is currently not a finished project. We still have to continue working and striving for “Indonesia”. In the middle of the speech, he mentioned the democratic system in Indonesia which he said was just a platform like Android and iOS. We cannot reject the absolute procedure of democracy, but we can still take another route through the most basic humanitarian route, namely, beauty. The writer, who started his career on the Hasanuddin University campus, explained the path of beauty by looking at legislative candidates' billboards, reading their slogans, seeing their advertisements on television, until we arrived at the highest point of tragedy, namely comedy. A tragic comparison between tragedy and comedy. At the end, Ami closed the speech with a poem he wrote in 1994 entitled Postscriptum Ibu Pertiwi (Postscriptum Mother Earth).
 
Minggu Tenang di Rumata’ (The Peaceful Sunday at Rumata’) drew the attention of several writers. Muhary Wahyu Nurba was asked to come forward. Prior to reading his poem entitled Aceh, Kujenguk Hatimu (Visitting Your Heart), Muhary gave praise to Rumata's courtyard. According to him, many things can be done with space besides building a city with concrete. One of them, by livening up a home courtyard. And Rumata’ has a comforting place in this city, its courtyard. My memory then carried me to Anwar Jimpe Rachman's article entitled: “Perihal yang Tumbuh di Halaman (What Grows on the Yard)”.
 
In the article, he cited the results of the study of psychologist Ulrich: "Patients with a natural window view have shorter stays in hospital after surgery, fewer negative comments in the nurse's notes. Furthermore, patients placed in rooms facing a brick wall require more pain relief injections."

Menikmati Seni Secara Virtual: Dari Van Gogh Hingga Arisan Karya

Enjoy Virtual Art: From Van Gogh to Arisan Karya

Oleh: Littletalks Ubud
__

Bagi penikmat seni pergi ke ruang pameran, museum, galeri dan bertemu dengan para seniman adalah kegembiraan yang saat ini sangat susah untuk diperoleh. Pandemi memberikan ruang baru bagi museum dan galeri seni untuk berkreasi. Berikut 5 museum atau pameran yang bisa kamu akses secara virtual:
 
Van Gogh Museum di Amsterdam



Sebuah museum seni di Belanda yang didedikasikan untuk karya Vincent van Gogh dan seniman-seniman pada eranya. Vincent van Gogh lahir pada tahun 1853, sebagai seorang seniman cerita hidupnya memang penuh misteri, mengalami depresi, memotong telinga hingga akhirnya menembak dirinya sendiri. Konon selama hidupnya Vincent van Gogh hanya menjual 1 lukisan semasa hidupnya. Jika kita melihat dengan seksama karya Self-Potraits miliknya, kita dapat merasakan sesuatu tentang kepribadiannya. Kita bisa melihat Vincent sering menampilkan dirinya sebagai orang yang kaku, keras dan serius dalam karya- karya self-potraits miliknya. Lalu siapa sebenarnya Vincent van Gogh? Kenali lebih dalam dengan tur virtual melalui Google Arts & Culture dan bisa menikmati beberapa pameran online. Lihat juga koleksi dari lukisan-lukisan Vincent van Gogh di sini.
 
 
The Broad di Los Angeles, California.  

Dibuka pada tahun 2015, The Broad adalah museum seni kontemporer di kota Los Angeles. Museum ini didirikan oleh filantropis Eli dan Edythe Broad yang menghabiskan dana sekitar 2 triliun rupiah. Bangunan ini terdiri dari galeri dan The Broad Art Foundation sebuah lending library atau perpustakaan global untuk meningkatkan akses publik ke seni kontemporer.
 
Selama masa pandemi ini The Broad ditutup, namun mereka tetap berkomitmen untuk menginspirasi dan menumbuhkan apresiasi seni kontemporer melalui sebuah program #TheBroadFromHome, saat ini kamu bisa menikmati sebuah cara baru menikmati karya seni paling terkenal dari The Broad. Infinite Drone Series yang melibatkan musisi dan seniman suaran dari Los Angeles dan sekitarnya menampilkan Sebuah Pengalaman Cahaya dan Suara terinspirasi dari Yayoi Kusama – Infinity Mirrored Room – The Souls of Millions of Light Years Away, Sesi intim bersama kurator The Broad, Interplay: Poetry and Art sebuah respons penyair dengan karya-karya yang ada di The Broad. Program Family Workshop at Home juga memberikan pengalaman menarik bersama keluarga di rumah selama pandemi melalui workshop seni kontemporer ini.
 
 
Museum of Modern Art (MoMA) di Manhattan, New York.  



Museum ini didirikan pada tahun 1929 dan dianggap sebagai salah satu museum seni paling berpengaruh di dunia yang fokus terhadap seni modern dan kontemporer.
 
Sekarang setiap Kamis kamu dapat menikmati program Virtual Views untuk tahu lebih banyak mengenai pameran-pameran serta koleksi yang ada di MoMA. Sejak bulan Maret melalui #MuseumFromHome, museum ini memberikan banyak pilihan yang untuk mencari ide dan inspirasi yang tidak biasa. Ingin tahu lebih banyak mengenai pembelajaran seni dan sejarahnya MoMA Learning dapat menjadi platform yang bisa kamu gunakan.
 

Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) di Jakarta

Museum MACAN menyediakan akses publik ke koleksi-koleksi modern dan kontemporer dari Indonesia dan seluruh dunia. MACAN menjadi salah satu platform penting di Indonesia bagi seniman lokal dan internasional untuk menjadi wadah dalam menyajikan karya.
 
Program #MuseumFromHome dari MACAN ini berisi kompilasi dari berbagai materi dan kegiatan yang menginspirasi untuk dilakukan di rumah yang bisa kamu coba. Mulai dari pameran, program dan panduan aktivitas untuk anak-anak, koleksi museum hingga video-video inovatif. Bagi kamu pencinta karya seni jangan lewatkan program arisan virtual Arisan Karya untuk bisa mengoleksi karya-karya seni dari para seniman muda Indonesia.
 
EPILOGUE dari Institut Teknologi Bandung

Sebuah pameran yang disajikan dalam bentuk online sebagai tugas akhir mahasiswa sarjana jurusan Arsitektur ITB. Bertajuk EPILOGUE: Fase/Siklus menggambarkan perjalanan proses kreatif dari benih (awal) hingga menjadi karya para wisudawan. Pameran ini menjadi salah satu jawaban yang bisa diterapkan pada masa pandemi seperti ini. Mereka mengemas arsitektur, sastra, musik dan teknologi menjadi satu kesatuan yang menarik. Pameran ini dapat dikunjungi di sini.

***

Tentang Littletalks Ubud

Littletalks Ubud terletak di lantai dasar Villas Ani dengan pemandangan ke  Pura Gunung Lebah, tepat di seberang Blanco Renaissance Museum. Sebuah permata di jantung desa Ubud dan orang-orang berhati hangat yang membuat Anda memiliki pengalaman yang tak terlupakan.

Makanan untuk dipikirkan, Littletalks Ubud menghadirkan suasana unik - temui penulis, orang-orang kreatif, atau pergilah dengan koleksi buku kami yang fantastik dan terbatas. Jangan lupa untuk bergabung dengan Klub Buku kami dan lokakarya bulanan dengan berbagai kelas seperti menulis, fotografi, musik, puisi, dan banyak lagi.

Berkolaborasilah dengan kami! Mari kita bekerja bersama atau sewa ruang kami untuk acara, lokakarya, pertemuan, pesta, dll!

Website: littletalksubud.com
Instagram: @littletalksubud

By: Littletalks Ubud
__

For connoisseurs of art, going to exhibitions, museums, galleries and meeting with artists is a joy that has now been made difficult by COVID-19. The pandemic has however provided new spaces for museums and art galleries to be creative. Here are 5 museums or exhibitions that you can access virtually:
 
Van Gogh Museum in Amsterdam
 
An art museum in the Netherlands dedicated to the works of Vincent van Gogh and the artists of the era. Vincent van Gogh was born in 1853, as an artist his life story is indeed full of mystery, depression, cut ears and his final suicide. It is said that Vincent van Gogh only sold one painting during his lifetime. If we look closely at his Self-Portraits, we can feel something about his personality. We can see Vincent often presents himself as a rigid, hard and serious person in his self-portraits. But who exactly was Vincent van Gogh? Find out more in the virtual tour via Google Arts & Culture and can enjoy several online exhibitions. See also the collection of Vincent van Gogh's paintings here.
 
 
The Broad in Los Angeles, California

 

Opened in 2015, The Broad is a museum of contemporary art in the city of Los Angeles. The museum was founded by philanthropists Eli and Edythe Broad who spent around 2 trillion rupiah. This building consists of a gallery and The Broad Art Foundation contains a lending library or global library to increase public access to contemporary art.
 
During the pandemic, The Broad is closed, but they remain committed to inspiring and fostering appreciation for contemporary art through a #TheBroadFromHome program, now you can find a new way to enjoy the most famous works of art from The Broad. The Infinite Drone Series involving musicians and sound artists from Los Angeles and surrounding areas features a Light and Sound Experience inspired by Yayoi Kusama - Infinity Mirrored Room - The Souls of Millions of Light Years Away, Intimate session with the curator of The Broad, Interplay: Poetry and Art, a poet's response to the works in The Broad. Family Workshop Program at Home also provides an interesting experience for families at home during the pandemic through this contemporary art workshop.
 

Museum of Modern Art (MoMA) in Manhattan, New York.

The museum was founded in 1929 and is considered one of the most influential art museums in the world that focuses on modern and contemporary art.
 
Now every Thursday you can enjoy the Virtual Views program to find out more about the exhibitions and collections available at MoMA. Since March through #MuseumFromHome this museum is offering many choices for unusual ideas and inspiration. Want to know more about learning art and its history MoMA Learning can be a platform that you can use.
 

Museum of Modern and Contemporary Art in the Archipelago (MACAN) in Jakarta



The MACAN Museum provides public access to modern and contemporary collections from Indonesia and around the world. MACAN is one of the important platforms in Indonesia for local and international artists as a place to present their work.
 
This #MuseumFromHome program from MACAN contains a compilation of various inspirational materials and activities to do at home that you can try. Ranging from exhibitions, programs and activity guides for children, museum collections to innovative videos. For you lovers of art, don't miss the Arisan Karya ‘virtual lottery’ program.
 

EPILOGUE from the Bandung Institute of Technology (ITB)



An exhibition presented online as a final project for undergraduate students majoring in Architecture at ITB. The title EPILOGUE: Phase / Cycle describes the creative process from the seed (beginning) to the work of the graduates. This exhibition is one answer for art lovers during a pandemic like this, packaging architecture, literature, music and technology into an attractive whole. This exhibition can be visited here.

***

About Littletalks Ubud

Littletalks Ubud is located on the ground floor of Ani’s Villas with prime view to Gunung Lebah Temple, right across Blanco Renaissance Museum. A gem in the heart of Ubud village and warm-hearted people that make you will have unforgettable experience.

Food for thought, Littletalks Ubud brings the unique vibes – meet the writers, creative people, or go under with fantastic and our limited books collection. Don’t forget to join our Book Club and monthly workshop with various classes such as writing, photography, music, poetry, and many more.

Collaborate with us! Let’s work together or rent our space for events, workshops, meetings, parties, etc!

Website: littletalksubud.com
Instagram: @littletalksubud