Flores Writers Festival digagas sebagai perayaan untuk merangsang gairah, pertumbuhan, dan perkembangan aktivitas-aktivitas kesusastraan (literasi), kesenian serta kebudayaan di Flores. Flores Writers Festival mempertemukan para penulis, pembaca, penerbit, kritikus, peneliti, aktivis literasi, komunitas, seniman dan media dari pelbagai latar belakang sosial, politik, dan budaya. Pertemuan ini diupayakan sebagai ruang berdialog, berbagi, dan berefleksi untuk meningkatkan kecintaan serta kreativitas dalam kerja-kerja kesusastraan dan kebudayaan; terutama membaca, menulis, berdiskusi, menerbitkan karya-karya dan penciptaan kesenian serta membuka kemungkinan kerja-kerja lintas ilmu dan praktik kesenian dari para partisipan yang terlibat.
Kerangka tematik dan program festival ini berpijak pada upaya menggali, belajar, dan melestarikan nilai-nilai, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang berasal dari kekayaan tradisi, praktik, produk-produk kebudayaan serta sejarah daerah-daerah di Flores yang diharapkan akan menawarkan nilai dan pengetahuan lokal pada perbincangan yang lebih global, dalam tataran estetis-kultural maupun sosial-politis dan ekonomi. Festival ini juga diproyeksikan untuk menginisiasi terbangunnya ekosistem literasi di daerah-daerah di Flores, memicu keterlibatan pemerintah, NGO, masyarakat, serta institusi sosial politik dan ekonomi lainnya dalam upaya pemajuan literasi dan kebudayaan.
Di tahun yang ketiga ini, Flores Writers Festival yang diprakarsai Klub Buku Petra Ruteng akan diselenggarakan di Maumere pada tanggal 8 – 10 November 2023, bekerja sama dengan Komunitas KAHE dengan mengangkat tema besar; Sadang Bui.
Sadang Bui (bahasa Krowe) secara harafiah berarti ‘bersandar’ dan ‘menanti’. Nama ini merujuk pada sebuah pelabuhan di pesisir utara kota Maumere, tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari pelbagai daerah yang datang ke regang Alok Wolokoli (sebutan untuk pasar yang mencakup wilayah kota Maumere saat ini). Sadang Bui menjadi pintu masuk dan gerbang interaksi orang Maumere pada masa lalu dengan ragam manusia, budaya, gagasan, sistem nilai dan rasa-merasa. Sadang Bui mengawali banyak sekali perjumpaan.
Dalam perjalanan waktu, Sadang Bui juga menjadi tempat orang-orang Maumere memulai mimpinya. Meninggalkan kampung halaman, mengawali pengembaraan untuk mencari hidup (melarat) dengan aneka motif: sekolah, bekerja, atau sekadar bertualang. Dengan demikian, Sadang Bui juga adalah tempat berpisah. Tempat menanti dengan renjana anggota keluarga yang lain pulang, membawa sejuta harap dan angan.
Sadang Bui, nama yang romantis, yang ditemukan dan dirawat warga lewat pelbagai syair dan lagu ini kemudian diubah menjadi Pelabuhan Lorens Say, yang diresmikan pada 9 Agustus 2010 oleh menteri perhubungan saat itu, Freddy Numberi. Penggantian nama ini, sempat diprotes keras oleh warga karena ia menghapus memori kolektif dan identitas yang sudah telanjur melekat pada ruang sosial-budaya itu. Meski protes tak usai, pembangunan tetap tak bisa dihentikan. Sadang Bui yang sudah diganti penandanya menjadi Lorens Say kini adalah sebuah pelabuhan komersil yang ditata dan diproyeksikan terutama untuk kepentingan pasar. Ia adalah situs modern baru dengan logika yang sama sekali berbeda dengan bagaimana ia dinamai sebelumnya.
Flores Writers Festival 2023 memaknai Sadang Bui sebagai memori sekaligus metafora untuk memasuki beberapa hal yang hari-hari ini rasanya penting untuk dibahas.
1) Sejarah kosmopolitanisme yang sudah lama berlangsung di Flores, yang di dalamnya memandang pertemuan pelbagai konteks (manusia, budaya, gagasan, sistem nilai dan rasa merasa) sebagai sesuatu yang niscaya. Kesadaran atas sejarah yang demikian sudah seharusnya ditempatkan sebagai etos untuk menghidupi dan merayakan keberagaman, melampaui sekat-sekat identitas yang akhir-akhir ini menguat serta menjadi sangat sensitif karena dipakai sebagai alat politik golongan tertentu.
2) Kenyataan keterhubungan antar lokalitas yang bisa menjadi basis refleksi bagi perkembangan dan pertumbuhan satu sama lain. Kenyataan keterhubungan ini bisa diupayakan sebagai jalan bagi konteks lokal di Flores untuk menawarkan pandangan dan gagasannya sehingga bisa dibicarakan secara translokalitas, di pelbagai konteks yang lebih global dan beragam. Modal ini juga membuka peluang untuk membangun gerakan solidaritas yang lebih besar dan kuat dalam pelbagai aspek dan bidang kehidupan lainnya.
3) Isu-isu relevan seperti perdagangan manusia, investasi kapitalisme yang tidak berpijak pada komunitas lokal, developmentalisme yang abai terhadap kerusakan lingkungan adalah bentuk-bentuk kolonialisme baru yang menghancurkan relasi kosmopolitanisme organik pra-penjajahan Eropa, yang belakangan dialami sebagai kenyataan Flores hari ini. Isu-isu di atas bisa jadi dapat direspons dan dibicarakan dengan pendekatan seni dan budaya yang idealnya dapat lebih cair dan berpotensi memasuki ruang-ruang percakapan yang plural dan inklusif. (Tim kerja FWF)
Rumata’ ArtSpace adalah rumah budaya yang resmi berdiri 18 Februari 2011, dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Selain menawarkan fasilitas yang bisa diakses secara luas khususnya bagi seniman dan komunitas di Makassar, Rumata’ dikenal dengan program-program unggulan yang telah menjadi bagian penting pengembangan kebudayaan dan kesenian, antara lain Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Ratusan seniman dan relawan telah terlibat dalam berbagai kegiatan di Rumata’ dan ribuan pengunjung telah mengikuti berbagai kegiatan Rumata’. Perluasan kerjasama, peningkatan kualitas kegiatan dan upaya melebarkan jangkauan audiens adalah tiga hal mendasar yang akan terus dikerjakan Rumata’ Artspace.
Rumata’ ArtSpace is a cultural institution officially established on the 18thof February 2011. It operates independently and receives most of its funding from public donations. Apart from offering facilities that can be widely accessed, especially by artists and the Makassar community, Rumata’ is famous for its featured programs which have become an important part of cultural and artistic development, for example the Makassar International Writers Festival (MIWF) and SEAScreen Academy. Hundreds of artists and volunteers have participated in various activities at Rumata’ and thousands of visitors have also got involved. The three objectives that Rumata’ ArtSpace will continue to strive for are extending its collaborations, increasing the quality of its activities and growing its audience.
Jika ada saran, masukan dan informasi yang perlu kami ketahui, Anda dapat mengunjungi Rumata' ArtSpace dan menghubungi email serta nomor telefon yang tertera:
Jl. Bontonompo No.12A, Gn. Sari, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Indonesia