Salam dari Rumata'!
Salam untuk semua sahabat Rumata.
Pertama, atas nama pengelola Rumata' ArtSpace kami ingin mengucapkan bagi teman-teman yang akan menjalankan ibadah puasa sebentar lagi, selamat berpuasa!
Ramadan tahun ini sangatlah berbeda karena kita menjalankannya dengan physical distancing, bahkan kota Makassar juga menjadi salah satu kota di Indonesia yang akan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kami dari Rumata mengharapkan bulan puasa ini kita jalankan dengan sebaik-baiknya dan sekhidmat-khidmatnya, karena salah satu hikmah dari pandemi global ini adalah bagaimana kita menguji kemampuan sebagai manusia untuk beradaptasi di tengah situasi yang sama sekali baru. Banyak hal yang dulunya kita anggap sebagai suatu hal yang biasa saja, ternyata sekarang menjadi hal yang tidak bisa kita lakukan. Ada hal yang dulu kita impi-impikan, kita misalnya selalu bilang sebagai manusia modern ingin sekali punya waktu melakukan ini dan itu, sekarang kita diberi banyak waktu dan diberi kesempatan untuk berpikir kembali dan memaknai hubungan kita dengan alam, dengan Sang Pencipta, dan dengan manusia lainnya.
Kami di Rumata tetap mengikuti anjuran pemerintah, bahkan kami sudah lebih awal menutup sementara fasilitas Rumata dan semua program dikerjakan dari rumah masing-masing staf dan juga mitra kreatif Rumata ArtSpace. Semua bekerja dari jauh. Memang sejak hari pertama, Rumata’ dikerjakan dari jarak jauh sehingga bagaimanapun kami di Rumata' sudah cukup terlatih membangun harmoni dan ritme kerja selama bekerja dari rumah. Tentu yang perlu diingat ini semua sementara, meski terasa lama. Di kesementaraan ini mari kita maksimalkan upaya membersihkan jiwa dan mengambil jeda. Terima kasih.
Greetings from Rumata'!
Greetings to all Rumata friends.
First, on behalf of the staff of Rumata 'ArtSpace we would like to say to you all who will be fasting soon, happy fasting!
Ramadan 2020 is going to be very different as well as Eid al-Fitr later to celebrate the completion of our fasting, because in Indonesia and throughout the world we carry out fasting and also get ready to celebrate the end of the fast by continuing to do physical distancing, self-quarantine, even the city of Makassar has started to become one of the cities in Indonesia that will implement the Large-Scale Social Restrictions (PSBB).
We, from Rumata expect this fasting month to run as well as possible and as solemn as possible, because one of the good things of this global pandemic is that we reexamine our abilities as human beings by adapting amid an entirely new situation. Many things that we used to think of as ordinary things, are now things that we cannot do. There are things we once dreamed of, we used to say that as modern humans, we really want to have time for this and that but nothing, now we are given a lot of time and allowed to think again, about our relationship as humans with nature, humans with its creator, and humans with other humans. Happy fasting!
We, at Rumata continue to follow the government's advice, in fact we have already closed Rumata's facilities temporarily and all programs are done from the homes of each staff and also creative partners of Rumata ArtSpace, all working remotely. So far, since the first day Rumata has implemented working remotely, however, 1, 2 or 3 people in Rumata have been trained enough to build harmony and work rhythm from working at home, of course, keep in mind that this is all temporary, although it feels long. During this time, we are maximized by cleansing our souls, improving our relationship with nature and God and with life itself. Thank you.
SELEKSI PENULIS EMERGING WRITERS DAN PENYUSUNAN BUKU TETAP JALAN
SELECTION OF EMERGING WRITERS AND BOOK COMPILATION WILL GO AHEAD
Lily Yulianti Farid mestinya ada di sana. Di panggung perhelatan bergengsi London Book Fair (LBF), Inggris. Untuk menerima penghargaan atas nama festival yang dikomandoinya.
Tapi, pandemi Covid-19 membuyarkan semuanya. LBF yang semestinya dihelat pada 12 Maret lalu itu batal digelar. Pengumuman Excellence Award 2020 kategori The Literary Festival yang dimenangi Makassar International Writer’s Festival (MIWF) pun akhirnya harus dilakukan secara daring (online).
”Api” Covid-19 yang kian membesar pun merembet ke mana-mana. Dari batal ke London, Lily dan timnya di Rumata ArtSpace, penyelenggara MIWF, akhirnya juga harus membatalkan perhelatan sastra tahunan itu.
But the Covid-19 pandemic dashed those hopes. LBF, which was supposed to be held on March 12, was cancelled. The announcement of the Excellence Award 2020 in the category of The Literary Festival, which was won by Makassar International Writer’s Festival (MIWF), had to be done online.
The raging fire of "Covid-19" has spread everywhere. Following the cancellation of from the LBF, Lily and her team at Rumata’ ArtSpace, the organizers of MIWF, finally had to cancel this year’s annual literary event.
PODCAST RUMATALKS RILIS
RUMATALKS PODCAST RELEASED!
Untuk episode pertama, Rumatalks menghadirkan Riri Riza dan Lily Yulianti Farid, selaku founder dari Rumata’ ArtSpace yang akan membocorkan tentang proses lahirnya rumata’ dari hanya sebuah ide hingga dapat bertahan hingga hampir 1 dekade ini, bagaimana cara mereka berdua menjaga ritme tumbuh kembang rumata’ yang mereka rawat seperti anak mereka sendiri, dan apa sebenarnya harapan mereka terhadap rumah budaya yang berlokasi di rumah masa kecil Riri Riza di Makassar.
For the first episode, Rumatalks will be having Riri Riza and Lily Yulianti Farid, the founders of Rumata' ArtSpace who will reveal the birth of Rumata' from a small idea to being able to stand strong for almost a decade now. How do the two of them maintain the rhythm of growth and development of Rumata', which they care for like their own children, and what were their expectations for the cultural institution located in Riri Riza's childhood home in Makassar.
Survai; Koalisi Seni, Ekonomi Kreatif, Ditjenbud
Surveys; Art Coalition, Creative Economy, Directorate General of Culture
Wabah COVID-19 telah menciptakan kesukaran pada sektor kesenian. Guna mendukung penjarakan fisik, banyak perhelatan seni ditangguhkan sampai waktu yang belum ditentukan. Akibatnya, para pekerja seni yang mengandalkan penghidupan dari perhelatan itu pun menjadi kehilangan mata pencaharian. Mereka bukan hanya para seniman, tetapi juga kru pendukung perhelatan / pertunjukan kesenian.
Melalui borang (formulir) ini, Direktorat Jenderal Kebudayaan hendak menginventarisasi para pekerja seni yang terdampak secara ekonomi oleh COVID-19. Apakah Anda adalah pekerja seni yang terdampak secara ekonomi oleh COVID-19? Jika ya, isilah borang ini selengkapnya di http://bit.ly/borangpsps. Silakan sebarkan formulir ini ke jaringan atau rekan-rekan Anda.
***
Koalisi seni juga sedang mendata acara yang dibatalkan akibat Corona. Jika Anda, kelompok, perusahaan terkena dampak, Anda bisa mengisi formuler ini di bit.ly/acarabatal. Data yang dikumpulkan akan digunakan sebagai basis advokasi Koalisi Seni mendorong kebijakan penanggulangan dampak berpihak pada pelaku seni. Koalisi Seni juga membruta laman mengenai advokasi kebijakan seni semasa krisis sebagai platform untuk upaya bersama ini: www.koalisiseni.or.id/advokasi/seni-semasa-krisis/.
The COVID-19 outbreak has created difficulties in the arts sector. In order to support physical distancing, many art events have been suspended until further notice. As a result, workers in the arts industry, who make a living from these events have also lost their livelihoods. These workers are not only artists, but also crew members who support arts events and performances.
Through this form, the Directorate General of Culture wants to make an inventory of arts workers who are economically affected by COVID-19. Are you an art worker affected economically by COVID-19? If yes, fill in this form completely at http://bit.ly/borangpsps. Please distribute this form to your job network or colleagues.
The Arts Against Corona
The art coalition is also currently recording data about the events which were cancelled due to COVID-19. If you, your group, or company is affected, you can fill out this form on bit.ly/acarabatal. The data collected will be used as an advocacy base for the Arts Coalition to encourage policies that support art professionals. The Arts Coalition has also published a page on art policy advocacy during the crisis as a platform for this joint effort: www.koalisiseni.or.id/advocation/seni-semasa-krisis/.
Pemerintah Data 226.586 Seniman dan Pekerja kreatif yang Terdampak Covid-19
Government Records 226,586 Artists and Creative Workers Affected by Covid-19
Berdasarkan hasil pendataan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sudah ada 226.586 seniman dan pekerja kreatif yang terdampak pandemi Covid-19. Mereka tersebar di 34 provinsi.
Dari jumlah tersebut, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendata sebanyak 189.586 orang dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan Kemdikbud) mendata 37.000 orang.
Menteri Parekraf Wishnutama Kusubandio, dalam siaran pers Minggu (12/4/2020) di Jakarta, mengatakan, data yang masuk ke Kemenparekraf mencapai 189.586 pekerja kreatif. Data tersebut diperoleh dari asosiasi industri, profesi, dan dinas pariwisata.
Para pekerja kreatif itu berlatar belakang formal dan informal, seperti pekerja seni, musisi, kru film, kru pertelevisian, dan ekonomi kreatif lainnya. Mereka mengalami pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan.
Of this number, the Ministry of Tourism and Creative Economy (Kemenparekraf) recorded as many as 189,586 people and the Directorate General of The Ministry of Education and Culture (Ditjen Keb Kembudbud) recorded 37,000 people.
Minister of Tourism and Creative Economy Wishnutama Kusubandio said that the Ministry’s data included 189,586 creative workers, in a press release on Sunday (12/04/2020) in Jakarta. The data was obtained from industry associations and tourism agencies.
These creative workers have formal and informal backgrounds, such as art workers, musicians, film crews, television crews, and other creative economies. Either their employment has been terminated or they have been laid off.
SELAMAT MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN 1441 H
Rumata’ dan SEAscreen Academy dalam forum online ini mengambil tema: TRANSISI sebagai upaya perumusan atas peristiwa hari ini dan mungkin nanti dalam konteks film sebagai suatu kenyataan baru (new reality) yang harus dihadapi. Mengenai transisi, kita juga ingin melacak, jangan-jangan kenyataan yang perlu dipertanyakan ialah apakah benar ada transisi yang jelas dari dampak atas situasi hari ini. Barangkali ada atau tidaknya pandemi, kawan-kawan pegiat film utamanya dari kawasan Timur Indonesia pun juga sedari awal sudah kesulitan mendapat jaringan sponsorship, grant, akses ke bioskop reguler, atau platform-platform digital yang ada.
Sebagai medan pertemuan dan berbagi, situasi semacam ini memang tidaklah mudah, maka forum ini bertujuan untuk berembuk, saling bertukar ide dan informasi terkait film, wacana, imbas industri akibat wabah sebab tentu ada keresahan yang sama dan kiranya dapat dibincangkan, paling tidak, diharapkan muncul kemungkinan dan peluang yang dapat dikerjakan bersama.Pendaftaran peserta:
bit.ly/transisiforum-seascreen
DI RUMAH
Rumata’ ikut berperan dalam upaya memutus penularan dan penyebaran COVID-19 yang sangat mengkhawatirkan dengan mengadakan Instagram Live. Program ini bernama DI RUMAH, yakni interaksi berbasis Instagram Live dengan mengundang narasumber-narasumber untuk berbincang, berdiskusi mengenai ragam wacana, misalnya soal karya dan proses kreatif, aktivitas selama di rumah, pengelolaan kebun sampai hasil olahan pangan.
Sejak rilisnya program ini di tanggal 28 Maret 2020 lalu, Rumata’ menyiapkan konten bermanfaat selama #dirumahaja di tengah pandemi COVID-19 yang dipandu oleh host dari rumah masing-masing.
DI RUMAH EPISODE 1
TEMA: MENUJU 10 TAHUN MIWF
Host: Lily Yulianti Farid
Talents: Rara Sekar, Ben Laksana & Sapardi Djoko Damono
Channel: @makassarwriters
Sabtu 28 Maret 2020, 11.00 – 12.00 WITA
Bersama Rara Sekar beserta Ben Laksana suaminya, MIWF rencananya akan mengadakan serangkaian lokakarya pendidikan kritis. Sementara bersama Sapardi Djoko Damono, MIWF berencana membahas sejumlah buku-buku baru Pak Sapardi yang terbit di tahun 2020 serta ulangtahunnya yang ke-80.
Beberapa poin penting dalam obrolan dengan RaraBen:
1. Selama menjalani aktivitas berkebun rupanya juga melatih kepekaan mereka terhadap lingkungan dan alam, di samping manjadi medan untuk berbagi dan bersosial, misalnya memberikan akses kepada tetangganya untuk mengunjungi kebunnya. Kadang juga sampai bertukar asupan panen, serei, singkong atau gingseng.
2. RaraBen memiliki dua kebun mini. Pertama ada di depan pagar berfungsi untuk berbagi hasil panennya. Kedua, berada di dalam pagar, untuk eksperimentasi
3. RaraBen tidak memakai pupuk kimiawi, sehingga bibitnya didapat dari mana saja, misalnya beli pertokoan online, dapat dari benih lokal dan organic-non organic, beli di sekitar.
4. Hal menarik lainnya ialah kalau mereka keluar kota, mereka janjian dengan sejumlah kawan untuk sekadar bertukar benih tanaman.
5. Meski begitu, curah hujan yang sangat sering di Bogor, jadi problematis untuk merawat tanaman-tanaman tertentu.
Obrolan dengan Sapardi hanya sebentar karena koneksi internet yang tidak stabil, tapi Sapardi menyampaikan pesan kepada para penyimak,
"Terus saja. Laksanakan saja. Tidak usah tunggu ini-itu. Salam untuk semua, salam untuk pembaca."
DI RUMAH EPISODE 2
TEMA: Waktu Indonesia Timur
Host: Riri Riza
Talents: Maria Pankratia dan Dicky Senda
Channel: @rizariri
4 April 2020, 10.00 - 11.00 WITA
Hampir sejam ketika Riri hendak menghubungkan instagram Live-nya dengan Dicky dan Maria, tetapi pada saat itu, terjadi persoalan teknis disebabkan Instagram sedang down, meskipun permintaan untuk Live bersama telah berkali-kali diminta kepada Dicky dan Maria. Selang waktu, internet Dicky tidak beraap stabil karena pemadaman listirk. Di situasi yang seperti ini, kita bisa menyaksikan betapa listrik-pun adalah persoalan ketimpangan yang belum selesai di Indonesia.
Maria berinisiatif untuk melakukan Live di Instagram kemudian menelfon Riri dan Dicky via WhatsApp video call, mereka akhirnya bisa berbincang sambil berkali-kali Maria menunjukkan wajah Riri dan Dicky melalui ponselnya yang lain. Berikut beberapa rangkumannya:
1. Dicky berinisiatif membuat komunitas kreatif Dicky bersama masyarakat mengubah buah-buahan fermentasi dijadikan selai, wine. Liquor, hasil wine dari buah lokal dan beberapa produk dari Lakoat Kujawas, termasuk pewarnaan benang, totebag dari bahan pewarna alam; patik buah kujawas dan lakoat/loquat/biwa.
2. Masyarakat Mollo mengadaptasi makanan dan pakaian dari pendatang dari luar, misalnya Cina.
3. Klub Baca Petra didirikan pada 13 Juni 2013 – salah satu inisiatifnya ialah menjual buku dengan dua jenis harga saja: 50 ribu dan 100 ribu.
3. www.bacapetra.co merangkum tulisan-tulisan para kontributor sebagai upaya untuk menghindari berita hoax, meningkatkan minat baca dan mempermudah akses buku, serta mengolah cara berpikir, seperti taglinenya, “menjadi baik dengan membaca”.
4. Dicky dan Maria berkarya di komunitas juga melalui tulisan yang tercermin dari karya-karya mereka soal identitas dan perempuan, tanpa perlu menjadikan pusat (Jakarta) sebagai satu-satunya perspektif untuk melihat keragaman Indonesia.
5. Mereka sampat menyinggung MIWF sebagai ruang untuk membangun jaringan dengan para penulis, penerbit, publik yang lebih luas, juga sebagai bukti bahwa sastra Indonesia bertumbuh – ada potensi, lokalitas menulis tentang diri mereka sendiri. Namun lebih dari itu, kesadaran terhadap masyarakat, kesadaran menjadi manusia.
6. Dicky dan Maria juga menceritakan pengalaman mereka setiap ingin menonton film baru di bioskop. Mereka mesti menggunakan travel yang dibayar 50 ribu rupiah dan menempuh 130 km untuk suatu pengalaman sinematik. Salut!
DI RUMAH EPISODE 3
TEMA: PENULIS MALAYSIA DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Host: Rachmat Hidayat Mustamin
Talents: Wani Ardy & Amir Muhammad
Channel: @rachmathidayat___
Sabtu, 11 Maret 2020
Sesi pagi : 09.00 – 10.00 WITA
Sesi sore : 16.00 – 17.00 WITA
Meski gangguan teknis hampir tidak pernah absen menjadi penghalang berlangsungnya Live #DIRUMAH, namun tidak menyurutkan semangat Rachmat untuk tetap melanjutkan perbincangannya. Rachmat bahkan menyiasatinya dengan mematikan sejenak Live Instagram-nya dan kembali selang beberapa detik, hal tersebut terjadi beberapa kali di pagi hari bersama Wani Ardy dan sore hari bersama Amir Muhammad. Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi kualitas obrolan antara Rachmat dan kedua talents yang bermukim di Malaysia tersebut. Berikut beberapa rangkumannya:
1. Wani Ardy mengakui situasi pandemi ini cukup membuatnya stress di awal, pada minggu pertama ia mengaku tidak produktif sebab masih mencoba beradaptasi dengan situasi, namun di minggu ketiga ia sudah mulai menyibukkan diri mesikupun tidak dipungkiri di tengah situasi seperti ini Wani Ardy mengalami penurunan pendapatan sebesar hampir 50%. Wabah ini mengharuskan ia membatalkan beberapa pekerjaannya seperti:
2. Launching buku antologi Wani Ardy yang melibatkan 20 penulis wanita yang semestinya di bulan Maret.
3. Penundaan rilisnya mini album Wani Ardy di akhir bulan April. Wani Ardy telah berencana untuk tetap melaksanakan perilisan album mininya melalui online. Serta tour mini albumnya ke Singapur dan Indonesia (Jakarta) yang ikut tertunda hingga bulan Desember.
4. Pertunjukkan teater yang akan dilaksanakan di penghujung tahun.
5. Pada hari Kamis, 7 April 2020. Wani Ardy Bersama rekan-rekan penyair di Malaysia menyelenggarakan festival puisi online dengan judul If Walls Could Talk (Jika Dinding Boleh Bercakap) melalui aplikasi streamyard yang disambungkan ke facebook LIVE. Selain penyair Malaysia, penyair asal Amerika, Australia, dan Mexico pun turut meramaikan festival ini. Tujuan dari festival ini sendiri diakui Wani untuk mengumpulkan dana untuk refugees (pengungsi) yang tentunya sangat merasakan dampak dari lockdown nya Malaysia. Dalam semalam saja, festival ini dapat mengumpulkan hampir RM8000 atau sekitar 30 juta Rupiah.
6. Selaku Co-Founder RUMAHRIPTA, Wani Ardy yang pada saat itu memutuskan untuk menerbitkan bukunya sendiri melalui RUMAHRIPTA menceritakan dengan singkat bahwa RUMAHRIPTA justru lahir di masa-masa jatuhnya penerbitan buku. Tidak ada business plan dan sangat sulit untuk sebuah independent publisher untuk bersaing dengan toko buku besar ditambah dengan kondisi di mana peminat buku puisi tidak sebanyak novel bergenre romansa.
7. Di kesempatan kali ini, Wani Ardy juga menjelaskan secara gamblang aktifnya ia dalam kampanye yang ia inisiasi sendiri yaitu MRKH (Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser) campaign sejak tahun 2015. Wani ialah satu dari pengidap sindorm MRKH. MRKH adalah kelainan langka yang terjadi pada sistem reproduksi perempuan yakni dilahirkan tanpa rahim atau sistem reproduksi mereka tidak berkembang. Kondisi ini dialami oleh satu dari setiap 5.000 wanita di seluruh dunia. Wani secara pribadi ingin memberitahu para pengidap sindorm MRKH bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalani perjalanan hidup yang sepi ini. Sejak 5 tahun silam, Wani Ardy mulai secara aktif mengedukasi tentang MRKH kepada para perempuan yang mengalami hal yang serupa dengannya, dan kemudian membentuk MRKH Malaysia. Tercatat ada sekitar 200 perempuan (Singapur dan Indonesia) yang telah menjadi anggota dari MRKH Malaysia.
Obrolan Bersama Amir Muhammad tak kalah seru dengan Wani Ardy, meskipun gangguan teknis di sesi sore bersama Amir Muhammad dapat dikatakan cukup intens, namun ada beberapa hal yang sempat dirangkum dari hasil obrolan Rachmat dan Amir pada edisi #DIRUMAH3 ini, diantaranya;
1. Amir Muhammad menceritakan tentang bukufixi yang ia inisiasi yang sudah menerbitkan 250 buku. Genre buku yang diproduksi bukufixi sebagian besar ialah horror dan thriller.
2. Selain membahas tentang bukufixi, Amir juga menceritakan tentang Kuman Pictures. Kuman Pictures adalah perusahaan film Malaysia gagasan Amir yang berdiri sejak Juni 2018. Perusahaan ini memproduksi film horror dan thriller dengan budget yang minim (tidak melebihi RM500.000). Diakui Amir bahwa ia telah memproduksi tiga film. Tantangan membuat film pertama bagi Amir ialah timing released yang kurang tepat (5 hari menjelang rilisnya The Avengers), di sisi lain penjualan tiket yang lemah juga turut membuat Amir menyadari bahwa film pertama yang diproduksi oleh Kuman Pictures belum cukup sukses. Lain cerita dengan film pertama, film kedua dari Kuman Pictures yang memang belum dirilis di bioskop Malaysia, justru sudah beberapa kali diputar di festival film di Singapura dan Joga. Film kedua yang dijadwalkan tayang bulan Maret lalu sayangnya harus ditangguhkan karena situasi pandemi ini.
DI RUMAH
Rumata’ is doing its bit to stop the worrying transmission and spread of COVID-19 by holding Instagram Live events. This program is called DI RUMAH, an Instagram Live-based interaction that invites speakers to discuss a range of topics. For example, creative works and processes, activities at home, garden management and food processing.
Since this program's release on March 28, 2020, Rumata’ leaders have prepared useful content during #dirumahaja during the COVID-19 pandemic hosted from their respective homes.
DI RUMAH EPISODE 1
THEME: TOWARDS 10 YEARS of the MIWF
Host: Lily Yulianti Farid
Talents: Rara Sekar, Ben Laksana & Sapardi Djoko Damono
Channel: @makassarwriters
Saturday March 28 2020, 11.00 - 12.00 WITA
Together with Rara Sekar and her husband, Ben Laksana, MIWF plans to hold a series of critical education workshops. While working with Sapardi Djoko Damono, MIWF plans to discuss a number of Pak Sapardi's new books that were published in 2020, and his 80th birthday.
Some important points in chat with RaraBen:
1. During their gardening activities, they’ve also improved their understanding of the environment and nature, and used it as a field for sharing and socializing, for example, giving neighbours access to their gardens. Sometimes they also to exchange crops, cereals, cassava or ginseng.
2. RaraBen has two mini gardens. First there is one in front of the fence that serves to share the harvest. Second, inside the fence, for experimentation.
3. RaraBen does not use chemical fertilizers, so the seeds he uses are obtained from anywhere, for example, shopping online. These can be local seeds, organic-non-organic, or bought locally.
4. Another interesting thing is that if they go out of town, they make a pact with a number of friends to simply exchange seeds.
5. However, rainfall is very frequent in Bogor, so it is problematic to look after certain plants.
The chat with Sapardi was only brief due to an unstable internet connection, but Sapardi conveyed a message to the listeners:
"Keep going. Just do it. Don't wait for things. I send greetings to all, greetings to readers."
DI RUMAH EPISODE 2
THEMES: Eastern Indonesia Time
Host: Riri Riza
Talents: Maria Pankratia and Dicky Senda
Channel: @rizariri
April 4 2020, 10:00 - 11:00 WITA
Riri had prepared for almost an hour to connect his Instagram Live with Dicky and Maria, but at that time, a technical problem occurred because Instagram was down, even though Dicky and Maria had repeatedly requested a Live Together session. Meanwhile, Dicky's internet wasn’t stable because of electricity blackouts. In a situation like this, we can see how electricity is a problem of inequality that has not yet been resolved in Indonesia.
Maria took the initiative to do an Instagram Live and then called Riri and Dicky via WhatsApp video call. They were finally able to talk while Maria repeatedly showed Riri and Dicky's faces through her other cellphones. Here’s a summary:
1. Dicky took the initiative to make a creative community together which transforms fermented fruits into jams and wine. The liquor, a wine made from local fruit and some products from Lakoat Kujawas, includes numerous colours: yarn, totebag from natural dyes; kujawas patak and lakoat / loquat / biwa.
2. The Mollo people have adapted the food and clothing brought by migrants, for example China.
3. Petra Reading Club was founded on June 13, 2013 - one of the initiatives was to sell books with only two types of prices: IDR 50 thousand and 100 thousand.
3. www.bacapetra.co includes the writing of contributors as an effort to avoid fake news, increase interest in reading, facilitate book access, and process new ways of thinking. As the tagline suggests, "reading makes us better people".
4. Dicky and Maria work in the community also through writing, which is reflected in their work on identity and women, without making Indonesia’s centre (Jakarta) the only perspective from which to see the diversity of Indonesia.
5. They acknowledged MIWF is a space to build networks with writers, publishers, and the wider public, as well as the evidence that Indonesian literature is growing - there is potential for writing about local areas and personal experiences. But more than that, awareness of society, awareness of being human.
6. Dicky and Maria also shared their experiences whenever they want to watch a new film at the cinema. They have to pay IDR 50 thousand and travel 130 km for a cinematic experience. Kudos!
DI RUMAH EPISODE 3
THEME: A MALAYSIAN WRITER IN THE MIDDLE OF THE PANDEMIC COVID-19
Host: Rachmat Hidayat Mustamin
Talents: Wani Ardy & Amir Muhammad
Channel: @rachmathidayat___
Saturday, March 11, 2020
Morning session: 09.00 - 10.00 WITA
Afternoon session: 16.00 - 17.00 WITA
Although technical problems are almost never absent as a barrier to the ongoing #DIRUMAH Live, this does not dampen Rachmat's enthusiasm to continue the conversation. Rachmat even worked around this by turning off his Live Instagram for a moment and returning a few seconds later, it happened several times in the morning with Wani Ardy and in the afternoon with Amir Muhammad. However, this did not reduce the quality of the conversation between Rachmat and the two literary talents residing in Malaysia. Here’s a summary:
1. Wani Ardy acknowledged that this pandemic situation was quite stressful at the beginning. In the first week, she claimed to be unproductive because he was still trying to adapt to the situation, but in the third week he had started to occupy himself even though he had to deal with a decrease in income of almost 50%. This outbreak required her to cancel some of her work such as:
2. Launching the anthology book Wani Ardy which involved 20 women writers that should have been in March.
3. The release of the mini album, Wani Ardy, at the end of April was postponed. Wani Ardy planned to continue implementing the release of her mini album online. As well as a mini album tour to Singapore and Indonesia (Jakarta), which was delayed until December.
4. Theatre performances that will be held at the end of the year.
5. On Thursday, April 7, 2020. Wani Ardy Together with her fellow poets in Malaysia held an online poetry festival titled ‘If Walls Could Talk’ through the Streamyard application that is connected to Facebook LIVE. In addition to Malaysian poets, poets from America, Australia and Mexico also helped animate this festival. The purpose of the festival itself was to raise funds for refugees who are certainly feeling the effects of Malaysia's lockdown. Overnight, this festival collected almost RM8000 or around 30 million Indonesian Rupiah.
6. As RUMAHRIPTA's Co-Founder, Wani Ardy, who at that time decided to publish her own book through RUMAHRIPTA, said briefly that RUMAHRIPTA was born during a slump in book publishing. There was no business plan and it was very difficult for an independent publisher to compete with a large bookstore coupled with the fact that the amount poetry book fans are fewer than for romance genre novels.
7. On this occasion, Wani Ardy also explained clearly how active she has been in campaigning the MRKH (Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser) campaign since 2015. Wani is one of the people with MRKH syndrome. MRKH is a rare disorder that occurs in the female reproductive system. Sufferers are born without a uterus or their reproductive system is not developed. This condition is experienced by one in every 5,000 women throughout the world. Wani personally wanted to tell people with MRKH syndrome that they were not alone in living this lonely journey of life. Since 5 years ago, Wani Ardy began actively educating about MRKH to women with similar experiences and later formed Malaysia's MRKH campaign. There are around 200 women (in Singapore and Indonesia) who have become members of Malaysia's MRKH campaign.
The chat with Amir Muhammad was equally exciting as the one witth Wani Ardy, although the technical disturbance in the afternoon session with Amir Muhammad was fairly intense, here’s a summary of Rachmat and Amir's chat in this # DIRUMAH3 edition;
1. Amir Muhammad talked about the publisher, bukufixi, which he established, that has published 250 books. The genres of books produced by bukufixi are mostly horror and thriller.
2. Besides discussing bukufixi, Amir also spoke about Kuman Pictures. Kuman Pictures is a Malaysian film company, which was founded by Amir in June 2018. This company produces horror and thriller films with a minimal budget (not to exceed RM500,000). Amir has produced three films. The challenge of making the first film was the timing of the release which was not quite right (5 days before the release of The Avengers), on the other hand the weak ticket sales also helped make Amir realise that the first film produced by Kuman Pictures was not yet quite good enough. His second film from Kuman Pictures, which has not yet been released in Malaysian cinemas, has actually been played several times at film festivals in Singapore and Joga. The second film release scheduled to appear in March unfortunately had to be suspended because of the pandemic situation.
"PUNCAK DARI KESENIAN ADALAH KEMANUSIAAN": Wawancara dengan Sofyan Samsul (Pepeng), Relawan Fotografer untuk Rumata' Sejak 2012
**
Mungkin Pepeng bisa memulai dengan menceritakan dirinya, di mana lahir, tumbuh di kota dan lingkungan seperti apa dan bagaimana akhirnya bisa bertemu dan tertarik dengan fotografi…
Hi, saya Sofyan, tapi, kalian mungkin lebih mengenal saya dengan nama Pepeng. Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan sebuah pasar tradisional di Makassar. Di tahun 2000, sewaktu masih kelas 1 SMP, paman saya yang seorang fotografer membiarkan saya memakai kameranya untuk mendokumentasikan acara kumpul-kumpul keluarga pada saat lebaran. Seingatku itu kamera point and shot bermerk Minolta, lupa seri yang mana. Ternyata setelah hari itu, saya menyukainya. Saya ternyata senang melihat orang-orang dari belakang kamera.
Kapan mengoperasikan kamera pertama kali?
Benar-benar mengoperasikan kamera sendiri mungkin di tahun 2003. Soalnya sudah bukan pakai kamera point and shot tapi SLR.
Saya percaya bahwa tidak hanya foto, setiap kamera punya ceritanya masing-masing. Apa kamera pertamamu? Bagaimana kamu mendapatkannya?
Kamera pertama saya adalah Nikon F9. Awalnya cuma dipinjamkan oleh paman saya. Lama kelamaan dia membiarkan saya menyimpannya.
Kita juga melihat jejak Pepeng dalam merangkum foto, cerita dan arsip di blog www.unsharestory.wordpress.com. Bisa ceritakan ini proyek apa? Bagaimana mulanya Pepeng mengelola blog ini?
Wah, saya lupa kalau saya pernah buat blog itu. Terima kasih sudah menemukannya kembali. Awalnya saya membuat blog itu sebagai bahan belajar dan berinteraksi kepada orang-orang yang mungkin bisa memberi masukan dari segi teknis dan konten. Media bertukar pengetahuanlah ya.
Bagaimana Pepeng bisa mengenal dan aktif di Rumata’?
Sebenarnya, saya tidak sengaja berada di Rumata’. Suatu hari teman mengajak saya untuk membantunya membuat iklan promosi yang saya tidak tahu itu buat siapa. Eh ternyata buat MIWF tahun 2012 atau 2013 ya, (lupa). Dari sejak itu saya mulai mondar-mandir di sana.
Sudah berapa lama Pepeng berkegiatan di Rumata’?
Tahun 2012. SEAScreen Academy dan Grand Opening Rumata’. Saya terlibat langsung sebagai salah satu tim dokumentasi.
Tema MIWF yang paling Pepeng suka?
Suka semua sih. Tapi, mungkin yang paling berkesan secara personal adalah MIWF 2014 dengan tema Finding Sincerity. Itu menjadi MIWF kedua saya sebagai relawan dokumentasi. Menjadi berkesan karena tidak ada relawan dokumentasi foto yang lain waktu itu. Memotret semua panel diskusi dan membuat portrait penulis tamu saya kerjakan semua hampir sendirian. Benar-benar capek dan merasa ingin melarikan diri saja, trus ditambah baru saja patah hati, oh, tuhan. Terlintas di kepala kenapa saya mau mengerjakan ini ya, sudah tidak dibayar, capeknya setengah mampus lari-larian ke sana kemari menggendong tas yang beratnya lima kilogram selama lima hari, ini saya ngapain ya. Hahahaha.. Tapi karena sudah sepakat mau terlibat ini sejak awal, ya, saya lanjutkan. Saya tidak boleh berkhianat. Toh, ini acara yang baik. Dari sini, tahun-tahun berikutnya, saya akhirnya bisa lebih menghargai relawan-relawan dokumentasi dan relawan lain yang mendaftar tiap tahunnya. Terima kasih buat ketulusan kalian semua para relawan MIWF.
SEAScreen tahun keberapa yang Pepeng senangi? Siapa pembicaranya pada waktu itu?
Saya menyenangi dan menikmati semuanya. Sebelum menjadi peserta pada SEAScreen tahun 2018, saya sebenarnya sudah belajar lebih banyak dari peserta-peserta lain yang juga ikut bersama dengan saya di workshop tahun 2018 itu. Sebab tiap tahun, sebagai orang yang mendokumentasikannya, saya menyerap pengetahuan dari mentor-mentor yang pernah dihadirkan sejak SEAScreen dimulai pada tahun 2012 lalu.
Hampir semua kegiatan-kegiatan besar Rumata’ ArtSpace didokumentasikan oleh mata kameranya Pepeng, kenapa sih Pepeng tertarik untuk ikut terus menerus dalam kegiatan Rumata’?
Saya selalu mencari di mana saya bisa mendapatkan pengetahuan. Secara sadar, saya mengetahui bahwa ruang-ruang diskusi tidak terlalu banyak di Makassar, pada tahun itu ya. Kalaupun ada, biasanya segmented. Seingat saya bahkan saya belum pernah menemukan komunitas foto di Makassar yang benar-benar berdiskusi tentang teks, selalu hanya akan membahas peralatan memotret terbaru. Rumata’ menyediakan hal-hal yang saya cari. Program SEAScreen dan MIWF menjawab pencarian itu.
Hingga Pepeng menyelenggarakan pameran di Rumata’, berjudul Faces, pada Oktober 2016 lalu. Bagaimana ceritanya? Dan, gagasan awalnya apa?
Wah, FACES ya. Oke, awalnya ditelpon sama Kak Riri untuk memamerkan foto-foto saya dengan koleksinya Japan Foundation. Kalau ditanya soal gagasan awal pameran ini, sebenarnya tidak punya, hahaha. Nanti setelah foto-foto saya dan koleksi JF diketemukan, baru keliatan kalau ternyata manusia itu punya keselarasan pada kemanusiaan. Pameran ini pun percaya bahwa puncak dari kesenian adalah kemanusiaan.
Bagi Pepeng sendiri, apa fungsinya Rumata’ tetap ada di Makassar?
Rumata’ bagi saya adalah incubator. Rumata’ dan semua orang yang terlibat dengannya adalah pengetahuan itu sendiri. Jadi, kalau Rumata’ menghilang dari Makassar, ya kita kehilangan salah satu sumber ilmu pengetahuan di kota itu.
Pepeng juga dikenal sebagai still fotografer untuk film-film seperti Ada Apa Dengan Cinta? 2, Athirah, Kulari Ke Pantai dan The Seen and Unseen. Kenapa Pepeng bisa terlibat? tertarik dengan film juga?
Terlibat dalam pembuatan film sebenarnya sudah dari tahun 2012. Kalau ada yang masih ingat film “Memburu Harimau” karya Arman Dewarti, nah itu mulanya. Saya menyukai film-film Abbas Kiarostami. Scene per scene pada film-filmnya sangat fotografis, nah kebetulan dalam praktek fotografi yang saya tekuni sebenarnya cenderung memakai pendekatan staging dalam menyampaikan pesan ketimbang snapshot.
Belajar dari film merupakan keharusan yang harus saya jalani jadinya. Ya, jadi, ketertarikan saya dengan film sudah sejak lama dan bisa ikut terlibat pada produksi film besar merupakan bonus walau sebenarnya alasan lebih kuatnya adalah hanya ingin lihat Dian Sastro dari jarak dekat. Hahaha…
Dalam beberapa pekan ini, kita diimbau untuk di rumah saja, sebetulnya apa dampaknya bagi Pepeng sebagai freelance fotografer? Ceritakan dong…
Mungkin dampaknya hampir sama ya bagi kita semua, dampak ekonomi dan kesehatan mentalnya terasa sekali. Saya mungkin sedikit lebih beruntung karena masih punya tabungan untuk bertahan walaupun tidak akan bertahan lama. Mau mengeluh tapi sadar kalau semua orang harus menghadapi ini. Bukan cuma saya sendiri. Sekarang lagi putar otak biar bisa ada pemasukan lagi karena beberapa pekerjaan harus cancel dan tertunda.
Berita-berita yang kita saksikan juga kadang bikin sakit hati ya… selama stay at home, apa yang Pepeng lakukan untuk menjaga kewarasan?
Saya menaikkan level skil memasak saya. Dari yang cuma bisa rebus air, sekarang sudah bisa bikin gulai ayam yang enak. Juga cari kursus-kursus online gratis dan tur museum secara virtual. Oh ya, jangan lupa olahraga. Kalau saya memilih yoga karena serumah dengan “instruktur” yoga.
Sebagai seorang storyteller, apa pesan Pepeng kepada kawan-kawan yang juga ingin menekuni bidang fotografi…
Teman-teman yang ingin menekuni fotografi, saya tidak akan pernah capek mengulang-ulangi ini kepada siapa saja yang mau memperdalam ilmu fotografinya, “banyak-banyak baca buku”. Fotografi itu kegiatan “menulis”. Kan kalau mau jadi penulis yang baik harus banyak baca buku. Jadi, kalau mau jadi fotografer yang baik, ya harus juga rajin baca buku. Bisa diselingi dengan menonton film dan dengar musik.
Apa proyek Pepeng selanjutnya? Kasi bocoran dong…
Sekarang lagi bikin buku fotografi sih di Bali. Kerja kolaborasi dengan aktivis lingkungan. Juga, kalau pandemic ini bisa mereda segera (amin), rencana akan berpameran dan beresidensi di Paris bulan juni nanti.
Beberapa pertanyaan akhir nih: Buku favorit?
On Photography – Susan Sontag
Film Indonesia favorit?
Lovely Man – Teddy Soeriadmatja
Fotografer favorit?
Josef Koudelka
Terima kasih atas obrolan dan ceritanya, Pepeng...
Iya. Sama-sama.
"THE PEAK OF ART IS HUMANITY": Interview with Sofyan Samsul (Pepeng), Photographer and Volunteer for Rumata' Since 2012
Maybe you can start by telling us about yourself, where you were born, what city you grew up in, what that environment was like and how you finally became interested in photography...
Hi, I'm Sofyan, but, you guys might know me better by the name Pepeng. I was born and grew up in a traditional market environment in Makassar. In 2000, when I was in grade 1 of junior high school, my uncle who was a photographer let me use his camera to document the family gathering during Eid. As I recall, it was a Minolta camera. After that day, I liked it. I was happy to see people from behind the camera.
When did you operate the camera for the first time?
Actually operating the camera by myself was possible in 2003. The problem was that this was not using point and shoot cameras but SLRs.
I believe that it’s not only the photos but each camera that has its own story. What was your first camera like? How did you get it?
My first camera was the Nikon F9. Initially only lent to me by my uncle. Eventually, he let me keep it.
We also see your history of assembling photos, stories and archives on the blog www.unsharestory.wordpress.com. Can you tell us what this project is about? How did you initially manage this blog?
Wow, I forgot that I ever made that blog. Thank you for finding it again. Initially I created the blog as a learning resource and interacted with people who might be able to provide content and technical input. An exchange of media knowledge, you know.
How did you get involved with Rumata'?
Actually, I accidentally ended up at Rumata'. One day a friend invited me to help him make a promotional ad, but I didn't know who for. Uh, it turned out that it was for MIWF in 2012 or 2013, yes. From then on, it became a second home for me.
How long have you been at Rumata’?
Since 2012. The SEAScreen Academy and Rumata’ Grand Opening. I was directly involved as part of the documentation team.
Which MIWF theme have you liked the most?
I like every one of them. But, perhaps the most memorable personally was MIWF 2014 with the theme Finding Sincerity. That was my second MIWF as a documentation volunteer. It was memorable because there were no other photo documentation volunteers at that time. From documenting all the panel discussions to making portraits of guest writers, I did almost everything alone. I was really tired and felt like running away, then I had just gone through a break-up, oh, god. I thought about why I wanted to do this, I'm not paid anymore, I'm tired of having to run around to and fro carrying a bag that weighs five kilograms for five days, what should I do? Hahahaha .. But because I had agreed to be involved from the beginning, yes, I continued. I cannot betray Rumata’. After all, this is a great event. From there on, in the following years, I was finally able to better appreciate the documentation volunteers and other volunteers who register each year. Thank you for your sincerity, all MIWF volunteers.
Which year were you really happy with? Who was the speaker at that time?
I enjoy everything. Before becoming a participant at the SEAScreen in 2018, I actually learned more from other participants who were also with me at the 2018 workshop. Because every year, as the person who documents it, I absorb the knowledge of the mentors who have been presented since the SEAScreen began in 2012.
Almost all major activities of Rumata' ArtSpace are documented by the lens of your camera, why are you interested in continually participating in Rumata’ activities?
I always look for where I can get knowledge. I knew that there were not too many discussion rooms in Makassar, in the past. Even if there were, they were usually exclusive. As I recall, I had never even found a photo community in Makassar that really discussed literary texts, I had always only gone to meetings discussing the latest photographic equipment. Rumata' provides the things I'm looking for. The SEAscreen and MIWF programs answered my curiosity.
You’ve even held an exhibition at Rumata’, entitled Faces, in October 2016. What was the story? And what was the original idea?
Wow, FACES yes. Okay, originally KakRiri called me to ask about exhibiting my photos with the Japan Foundation collection. As for the initial idea of this exhibition, it actually didn’t come from me, hahaha. Later, after my photos and the JF collection were discovered, it became apparent to me that humans find harmony when they act humanely. This exhibition also proposes that the peak of art is this humanity.
For you, does the function of Rumata' remain in Makassar?
Rumata’ for me is an incubator. Rumata' and everyone involved with it is a source of knowledge in itself. So, if Rumata’ disappears from Makassar, we lose one source of knowledge in the city.
You are also known as a still photographer for films such as What's up with Love 2?, Athirah, I Run To the Beach and The Seen and Unseen. Why did you get involved? You’re interested in movies too?
Being involved in filmmaking has been part of my life since 2012. If anyone still remembers the film "Chasing the Tiger" by Arman Dewarti, well, it started then. I love the films of Abbas Kiarostami. Scene by scene, these films are very photographic, so by chance, with my interest in photography, I wanted to study to use more of a staging approach in conveying messages rather than snapshots.
Learning from film photography was a necessity for me. So yeah, I’ve been interested in films for a long time and being able to get involved in the production of big films is a bonus. Even though the real reason is I wanted to see Dian Sastro up close. Hahaha…
In recent weeks, we have been advised to stay at home, what are the actual impacts on you as a freelance photographer?
Maybe the impact is almost the same for us all, the economic and mental health impacts are massive. I might be a bit more fortunate because I still have savings to survive, even though they won't last long. I want to complain but realise that everyone must face this. Not just me alone. Now, it’s time to get creative again so that there can be income again, because some jobs have had to cancel and be delayed.
The news that we watch also sometimes makes it painful ... during this stay at home period, what do you do to maintain sanity?
I’m working on my cooking skills. Before I could only boil water, now I can make a delicious chicken curry. Also, I look for free online courses and virtual tours of museums. Oh yeah, don't forget to exercise. I choose yoga because I live at home with yoga "instructors".
As a storyteller, what is your message to friends who also want to pursue photography?
Friends who want to pursue photography, I will never get tired of repeating this to anyone who wants to deepen their knowledge of photography, "read lots of books". Photography is an activity of "writing". If you want to be a good writer, you have to read a lot of books. So, if you want to be a good photographer, you must also be diligent in reading books. This can be accompanied by watching movies and listening to music.
What is the next project? Please give a hint ...
Now I'm making a photography book in Bali. Collaborative work with environmental activists. Also, if this pandemic can subside soon (God willing), I plan to exhibit and live in Paris next June.
Here are some final questions: Favourite book?
On Photography - Susan Sontag
Favourite Indonesian film?
Lovely Man - Teddy Soeriadmatja
Favourite photographer?
Josef Koudelka
Thank you for the chat and the story, Pepeng ...
You're welcome.
DESAIN GRATIS UNTUK RUMATA': Wawancara dengan Nurabdiansyah (Abi)
Desain grafis berperan sangat penting di era digital saat ini. Seni yang satu ini berjalan seiring perkembangan digital. Seorang yang berprofesi sebagai desainer grafis butuh waktu yang lapang, kreativitas yang tidak terbatas, energi yang besar, serta emosi yang cukup stabil untuk menghasilkan satu desain yang sesuai dengan keinginan klien. Hal itu yang kemudian membuat profesi desainer grafis terbilang cukup menjanjikan dari sektor materi.
Dalam rangka menuju satu dekade Rumata’ ArtSpace tahun depan, kami mewawancarai Nurabdiansyah, seorang desainer grafis, seniman dan aktivis kebudayaan yang juga berprofesi sebagai dosen Desain Komunikasi Visual di Universitäs Negeri Makassar yang memandang pekerjaan desainer grafis lebih dari sekedar untuk menghimpun materi. Lelaki yang akrab dipanggil Abi ini telah bergabung menjadi Tim Visual Desain Rumata’ dan MIWF sejak Makassar International Writers Festival diadakan pertama kali di tahun 2011. Terhitung telah 10 tahun Abi mengerahkan kemampuannya untuk kebutuhan MIWF dan tentunya Rumata’ secara cuma-cuma.
Barangkali Abi perlu menceritakan terlebih dahulu dirinya secara biografis yah; lahir dimana, tumbuh dan besar di kota apa dan bagaimana awalnya punya ketertarikan dengan dunia visual…
Saya lahir di Takalar, (maaf, hanya numpang lahir sebenarnya karena kebetulan Bapak saya pas bertugas di Takalar waktu itu). Bapak saya sempat bekerja sebagai agen asuransi dan ditugaskan di Takalar awal tahun 80-an. Tidak berselang lama setelah saya lahir, Bapak saya memutuskan pulang ke kampung halaman di Tinambung, Polmas (Polewali Mamasa; sekarang menjadi Polman, Polewali Mandar) untuk mengawali pekerjaan baru sebagai abdi pemerintah. Saya kemudian tumbuh dan besar di Tinambung, sejak awal 80-an hingga menamatkan sekolah menengah pertama di tahun 1995. Saya sekolah dasar di SD Inpress 055 Kandeapi, dan menempuh sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Tinambung. Selepas SMP, saya memutuskan untuk melanjutkan studi di Makassar. Saya tamatan STM sebenarnya, jurusan Otomotif, dulu saya sekolah di STM Negeri 2 Ujungpandang (sekarang menjadi SMK Negeri 3 Makassar). Tamat STM, saya melanjutkan studi di jurusan Pendidikan Teknik Otomotif (PTO) IKIP Ujungpandang, melalui jalur bebas tes, dan pada saat kuliah disinilah momentumnya saya mulai menekuni dunia desain grafis.
Sejak SMP, saya sudah senang menggambar dan “malletter”, istilah yang sering digunakan saat itu untuk hal-hal yang berbau menulis indah. Karena sering malletter, setiap terlibat dalam kepanitiaan suatu kegiatan, saya selalu kebagian publikasi atau mengurusi perlengkapan seperti spanduk, dekorasi dll. Waktu itu spanduk masih dibuat manual, pake kertas marmer, digunting kemudian di tempel diatas kain. Meski begitu, saya tidak pernah terlalu terpikir untuk suatu saat serius di bidang ini. Waktu kuliah di PTO IKIP Ujungpandang (sekarang Universitas Negeri Makassar, UNM) sejak maba saya sudah terlibat dalam kepanitiaan, dan selalu kebagian seksi publikasi, membuat spanduk acara dan perlengkapan dekorasi lainnya. Hal ini terus saya jalani sejak tahun pertama kuliah, hingga suatu waktu, masih berstatus mahasiswa di jurusan PTO saya mendaftar menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Seni (UKM Seni) di UNM. Aktif di UKM Seni dengan segudang kegiatan, intensitas saya dengan dunia publikasi dan dekorasi semakin bertambah, saya memilih aktif sebagai panitia dibelakang layar. Saat itu pembuatan spanduk mulai beralih dari kertas yang digunting-gunting menjadi ditulis langsung di atas kain. Saya semakin menemukan ketertarikan di bidang ini karena menjadi semakin bebas menuangkan ekspresi diatas selembar kain spanduk.
Intensitas yang tinggi kemudian ditambah dengan mulai hadirnya komputer sebagai piranti teknologi grafis, akhir dekade 90-an. Saya mulai belajar menggunakan komputer, dan mulai mengenali beberapa program pengolah grafis. Saya kemudian menemukan ruang menyalurkan hobi membuat desain. Kesenangan itu sayangnya membuat saya melupakan kuliah saya di jurusan Otomotif, setelah 5 tahun kuliah di PTO, tahun 2003 saya akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memulai kuliah di jurusan Pendidikan Seni Rupa, saat itu masih dibawah naungan Fakultas Bahasa dan Seni UNM, mengambil studi khusus desain grafis. Sambil kuliah di jurusan seni rupa, saya bekerja paruh waktu sebagai graphic designer di beberapa perusahaan advertising dan reklame. Pengalaman paling intens yang saya dapatkan dalam masa ini adalah mengerjakan desain promosi event brand rokok untuk cabang Makassar dan beberapa kota di Indonesia Timur.
Sejak itu saya mulai serius menekuni desain grafis, setelah selesai kuliah di jurusan seni rupa, saya sempat bekerja sebagai in-house graphic designer di sebuah dealer mobil besar di Makassar. Momen ini menarik karena sekaligus merangkum dua perjalanan kuliah saya sebelumnya. Tidak berselang lama, saya mendapat kesempatan melanjutkan studi di bidang seni dan desain di Yogyakarta, kemudian kembali mengabdi sebagai tenaga pengajar di prodi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain UNM.
Bagi Abi, budaya visual punya pengaruh seperti apa sih untuk kita pribadi dan masyarakat?
Sadar atau tidak, budaya visual sudah lama berlangsung di tengah masyarakat kita. Yang paling sederhana saja, motif sarung sutra di Mandar atau di Sengkang, ukiran-ukiran di Toraja, atau tatto bagi masyarakat Dayak. Atau yang mudah kita temui di jalanan seperti penanda-penanda vernakular yang dibuat sendiri oleh masyarakat: tambal ban, spanduk warung warung sari laut atau lukisan di bak truk. Menurut saya, budaya visual berkembang sangat baik ditengah masyarakat kita yang sangat heterogen. Ditengah keragaman, kita tidak selalu bisa berkomunikasi dengan baik melalui bahasa karena pemahaman setiap orang bisa jadi berbeda-beda, tapi berkomunikasi secara visual selalu mudah dipahami. Ini yang kemudian menjadikan budaya visual sangat lekat dengan keseharian kita di Indonesia.
Itu yang akhirnya membuat Abi kuliah di jurusan desain?
Tidak juga, itu saya pelajari setelah memutuskan saya kuliah seni dan fokus mengambil desain grafis. Seperti saya uraikan di awal, yang membuat saya memilih jurusan desain akhirnya karena saya banyak terlibat dalam kegiatan dan selalu kebagian urusan desain dan publikasi. Lambat laun itu menjadi hobi dan saya kemudian memilih untuk fokus ke situ. Pengetahuan tentang budaya visual baru saya baca setelah mulai kuliah dibidang ini.
Kalau JKSS, itu kelompok? Dan visi serta kegiatannya apa saja?
JKSS itu akronim dari #jamaahkreatifsektorselatan. Ini awalnya hastag/tagar iseng di sosial media. Tapi belakangan saya merasa ini menjadi sebuah kampanye identitas kolektif yang menarik, terutama untuk mewakili teman-teman dan mahasiswa yang sering membuat karya dan kegiatan bidang seni dan desain di wilayah selatan Makassar. Maka sejak 2016, hastag ini kemudian saya ikutkan dalam setiap postingan di sosial media tentang kegiatan seni dan desain yang saya laksanakan. Saya juga mengajak teman-teman yang lain untuk mengikutkan hastag ini dalam setiap postingan mereka di media sosial. Tagar #jamaahkreatifsektorselatan kemudian kita buat menjadi semacam social movement, untuk memperkenalkan karya-karya atau kegiatan kreatif yang banyak dilaksanakan teman-teman di wilayah selatan Makassar. Kenapa tagar ini hanya menyasar teman-teman dan komunitas kreatif di selatan? Karena menurut saya wilayah ini punya potensi yang besar, ada dua perguruan tinggi besar yang mengelola program studi bidang seni, banyak kegiatan kreatif, dan banyak mahasiswa yang punya karya-karya monumental. Ini harus dikomunikasikan dengan baik. Saya membayangkan wilayah selatan Makassar ini menjadi kawasan yang menjadi simbol kreatif Makassar, ada pameran, ruang seni komunitas, kegiatan seni dan studio-studio seniman. Untuk sampai kesitu banyak hal perlu dilakukan, #jamaahkreatifsektorselatan ini inisiatif kecil saja dari saya dan teman-teman, butuh upaya lebih luas. Oya, silakan follow tagar #jamaahkreatifsektorselatan di Instagram.
Bisa ceritakan bagaimana Abi awalnya ikut terlibat menjadi Tim Visual MIWF?
Saya sudah mengenal Kak Lily sebelumnya, sejak tahun 2006. Saat itu saya diperkenalkan oleh Abdi Karya dan Nilam. Kebetulan ada program Makkunrai Project, saya diminta membantu bagian desain dan produksi visual program tersebut. Sejak itu saya sering dilibatkan oleh Kak Lily dalam beberapa project setelahnya seperti Panyingkul dan tentunya Rumata Artspace.
Jika selama ini, Abi rela mendedikasikan diri untuk memenuhi kebutuhan desain MIWF secara sukarela. Lantas, bentuk apresiasi seperti apa yang Abi terima dengan bergabungnya Abi sebagai Tim Desain?
Apresiasi tidak selalu dalam bentuk materi, ada banyak hal yang saya dapatkan dari MIWF (dan Rumata Artspace) menurut saya tidak ternilai. Selain bertambahnya pengetahuan dan luasnya wawasan yang saya kemukakan sebelumnya, networking salah satunya. Melalui MIWF dan Rumata Artspace, saya bertemu dengan banyak orang yang di kemudian hari banyak membantu saya dalam banyak hal urusan produksi misalnya. Juga bertemu dengan orang-orang media yang mampu mengkomunikasikan banyak hal, dsb. Semua networking ini kemudian bisa saya hubungi untuk keperluan lain di luar MIWF, jika saya punya kegiatan di kampus misalnya. Selain menjadi tim desain MIWF, saya beberapa kali juga melaksanakan kegiatan yang bekerja sama secara langsung dengan MIWF, termasuk tagar #jamaahkreatifsektorselatan, workshop komik MakkoMikki dan beberapa kelas creative sharing. Dalam banyak hal saya merasa justru butuh MIWF. Keterlibatan saya dalam tim desain MIWF menjadi pintu untuk mengkolaborasikan banyak hal antara desain grafis dan dunia literasi. Secara personal, keterlibatan saya di MIWF membuka pintu-pintu kolaborasi yang mungkin tidak akan saya temui ditempat lain.
Abi juga berprofesi sebagai dosen dan punya keluarga. Tentu ada tawar-menawar?
Bekerja sebagai dosen sebenarnya tidak punya jam kerja. Setiap saat kita selalu bekerja. Saya menganggap bahwa keterlibatan saya di Rumata dan MIWF adalah suplemen yang bagus untuk pekerjaan saya sebagai dosen. Menjadi dosen apalagi mengajar desain komunikasi visual, berkolaborasi dengan dunia diluar kampus adalah mutlak. Saya mengajarkan kepada mahasiswa bahwa pengetahuan dan keterampilan tidak selamanya bisa kita dapatkan di kampus. Secara administratif, keterlibatan saya di Rumata Artspace dan MIWF memberi poin yang bagus dalam pengembangan karir saya sebagai dosen, terutama untuk poin-poin pengabdian kepada masyarakat. Seperti kita ketahui bahwa dosen mengemban tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Untuk keluarga, tentu saja saja ada waktu-waktu tertentu dimana keluarga menjadi prioritas. Tidak sulit membagi waktu antara keluarga dan aktifitas saya di Rumata Artspace maupun MIWF. Saya justru merasa ini dunia yang bisa saling mendukung. Beberapa program di Rumata dan MIWF justru melibatkan keluarga. Dalam jangka panjang, saya merasa penting untuk melibatkan keluarga dalam banyak kegiatan di Rumata Artspace dan MIWF, terutama untuk kedua anak saya. Melalui MIWF saya bisa memperkenalkan banyak hal seperti di zona kids program. Saya merasa perlu menanamkan banyak memori baik kepada mereka, mengasah imajinasi dan membangun mimpi. Dan menurut saya MIWF mampu mengisi peran itu. Saya selalu senang atmosfir yang terbangun setiap sore hari-hari MIWF berlangsung, anak-anak berlarian senang gembira, orang dewasa berkumpul, berdiskusi, mendengarkan puisi dll, itu momen yang mahal, istimewa dan tidak selalu bisa kita berikan pada keluarga masing-masing di Makassar kalau bukan di benteng Rotterdam setiap MIWF berlangsung. Itu tidak ternilai.
Tentu treatment antara Rumata dan MIWF, berbeda yah. Rumata sebagai suatu organisasi, sementara MIWF sebagai perhelatan sastra, meskipun memang di bawah yayasan Rumata, ada tidak treatment khusus membedakan dua entitas ini melalui desain?
Tidak ada treatment khusus, cara paling baik untuk kedua entitas ini tetap bekerja sepenuh hati.. hahaha. Tetap akan ada perbedaan secara teknis tergantung kebutuhan desain seperti apa yang akan dibuat, untuk siapa sasarannya, memakai ilustrasi seperti apa, kapan akan dilaunching dsb. Tapi sejauh ini saya tidak berusaha melakukan treatment yang berbeda untuk keduanya, masing-masing tetap dikerjakan sepenuh hati.
Kalau boleh tau, desain di MIWF tahun berapakah yang paling berkesan untuk Abi dan mengapa desain itu?
Semua proses desain dan produksi di MIWF punya kesan masing-masing. MIWF yang pertama saya baru belajar bagaimana membuat desain untuk kegiatan literasi, saat itu desain titel utamanya sudah ada sisa dilanjutkan ke berbagai bentuk materi promosi. MIWF yang kedua tahun 2012, disini pertama kali logo susunan buku berbentuk M mulai digunakan. Saat mendesain ini saya senang karena risetnya mengekplorasi peta lama Makassar dan foto-foto lama benteng Rotterdam. MIWF yang ketiga tahun 2013, saya juga sangat menikmati prosesnya karena mengeksplorasi kawasan kota tua dan Pecinan Makassar sebagai bahan membuat desain. MIWF yang keempat tahun 2014 desainnya sangat berkesan karena surealis, ilustrasinya dermaga penyeberangan Kayu Bangkoa. Desain-desain MIWF setelahnya mulai menggunakan ilustrasi dari beberapa seniman yang dipilih, saya fokus pada produksi. Pada masa-masa ini semua proses desain tetap berkesan karena ilustrasi yang dibuat oleh seniman sebisa mungkin tetap sama feel-nya ketika di breakdown ke dalam berbagai materi promosi. Jadi bukan sekedar berkesan karena hasil desain, lebih ke menikmati prosesnya. Semakin kesini menurut saya MIWF semakin menemukan positioning yang bagus untuk membangun kolaborasi dengan seniman visual atau ilustrator. Setiap ilustrasi untuk desain yang dibuat dalam rangka MIWF setiap tahunnya bisa menjadi penanda zaman/milestone yang akan melengkapi perjalanan MIWF selanjutnya. Jadi bukan lagi hanya saya atau tim desain yang punya kesan sendiri terhadap desainnya, tapi seluruh pengunjung MIWF juga punya kesan mendalam pada setiap desain visual MIWF.
Bagaimana proses brainstorming yang dilakukan Abi sejak mendesain untuk MIWF/Rumata’?
Kalau proses brainstorming yang saya lakukan tdak ada yang secara khusus. Prosesnya kurang lebih seperti langkah-langkah mendesain pada umumnya, memahami brief dengan baik, melakukan riset mendalam, memilih visualisasi yang pas, melakukan komparasi dan memperbanyak referensi visual. Menurut saya riset disini menjadi penting, seorang desainer tidak hanya harus punya craftmanship yang baik dalam membuat visual tapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang materi desain yang akan dibuat. Waktu saya diminta untuk membuat desain MIWF yang bertema My City My Literature, saya juga harus ikut membaca tentang kota Makassar dan segala hal yang terjadi di dalamnya. Ketika diminta membuat desain MIWF yang mengangkat Karaeng Pattingalloang sebagai tokoh utama, saya juga harus ikut membaca segala hal tentang Karaeng Pattingalloang. Brainstorming seperti itu menurut saya hal yang paling mendasar harus dilakukan oleh desainer, tentang taste desain yang dihasilkan, itu bisa berbeda tanggapannya dari setiap orang yang melihat, tapi desain itu bisa dipertanggungjawabkan melalui proses yang dilalukan desainernya.
Bagaimana proses mendesain untuk MIWF/Rumata’ selama ini? Bagaimana soal selera desain? Tentu seluruh tim memiliki selera masing-masing. Bagaimana berembuknya?
Biasanya Kak Lily atau Kak Riri akan menyampaikan beberapa brief awal desain yang mau dibuat seperti apa, pesan apa yang mau disampaikan dan ditujukan kemana. Ini bisa melalui beberapa kali diskusi, baik lewat email atau chating. Brainstormingnya dimulai dari situ kemudian saya kembangkan dalam bentuk visual, memilih huruf, layout dan warna yang tepat, kemudian di sharing. BIasanya akan melalui beberapa kali revisi. Desain-desain reguler untuk Rumata’ biasanya tidak terlalu panjang prosesnya, berbeda dengan MIWF, karena setiap edisi MIWF membawa pesan yang berbeda setiap tahunnya, biasanya diskusinya akan dimulai jauh sebelum pelaksanaannya.
Lantas, apakah mendesain untuk MIWF/Rumata’ mempengaruhi selera Abi dalam mendesain untuk kebutuhan lain? Jika iya, bagaimana hal ini mempengaruhi nilai estetik dan cara berkarya Anda, apakah ada perbedaan “bahasa visual“ yang anda rasakan?
Tidak juga sebenarnya, berbeda dengan kerja-kerja seni murni yang cenderung dituntut konsisten dengan gaya atau karakter yang khas jika terus menerus dilakukan dalam waktu yang lama, pekerjaan desain menuntut kita untuk bisa menyesuaikan dengan situasi apapun, dengan siapa saja. Menurut saya, desainer itu seperti bunglon, selera desain setiap orang tidak selalu sama, saya selalu harus menyesuaikan dengan itu. Bisa jadi selera desain saya memiliki bahasa visual yang berbeda, tapi itu tidak bisa menjadi patokan utama, yang utama tetap adalah kemauan dan selera klien, karena mereka yang membutuhkannya. Jika kita terbiasa mengikuti selera klien, otomatis selera seorang graphic desainer seperti saya juga akan semakin kaya dan beragam. Kita jadi punya banyak alternatif dalam eksekusi desain di tempat lain.
Membuat desain untuk MIWF dan Rumata selalu terasa spesial karena kita bekerja dalam lingkaran taste yang tinggi, berproses bersama orang-orang yang terbiasa melihat banyak karya desain grafis, memiliki selera desain yang bagus dan banyak referensi. Saya jadi terbiasa bekerja dengan itu, dan bagi saya itu menjadi suplemen yang bagus untuk memperkaya selera desain dan bahasa visual yang saya miliki.
Setelah 10 tahun ini, bagaimana kini Abi memandang Rumata? Apa pentingya Rumata dan MIWF bagi Abi secara personal?
Saya memandang Rumata saat ini seperti rumah sendiri.., ya ini memang Rumata’ dalam arti sesungguhnya, ini rumah kita. Saya sungguh belajar banyak dari Rumata dan MIWF dalam 10 tahun ini. Ini adalah satu fase penting di hidup saya, dan Rumata beserta MIWF ada didalamnya.
Penting tidak sih, Rumata tetap ada di Makassar? Kenapa?
Elemen budaya seperti artspace, galeri atau pusat kesenian apapun bentuknya, sangat penting hadir di Makassar, termasuk Rumata Artspace dan MIWF. Inilah elemen yang dilupakan dalam pembangunan di kota ini. Kita lupa bahwa sasaran utama dalam setiap pembangunan adalah manusia, dan tidak ada elemen lain yang bisa mengubah peradaban dalam hidup manusia selain membangun manusia melalui kegiatan-kegiatan seni dan kebudayaan. Untuk inilah Rumata Artspace penting untuk tetap ada, dan ini perlu dijaga. Sepuluh tahun ini, tidak banyak galeri, rumah seni atau pusat kebudayaan yang hadir di Makassar, ada beberapa inisiatif yang sesekali hadir tapi tidak banyak yang bisa bertahan. Untuk hal ini memang butuh upaya yang tidak sederhana, untuk itulah saya berharap Rumata dan MIWF akan terus ada, dan terus berusaha membangun inisiatif-inisiatif lain untuk saling berkolaborasi.
Oya, kita melihat di linimasa beberapa bulan lalu Abi berangkat ke Australia. Ada program apa di sana?
Tepatnya November 2019. Saya diundang menghadiri launching film “Trading Cultures” karya Daniel King, acaranya di Willin Centre, Faculty of Fine Arts and Music University of Melbourne. Trading Cultures adalah film dokumenter tentang program pertukaran seniman Makassar dan Yirrkala setahun sebelumnya. Tahun 2018, Willin Centre University of Melbourne bekerja sama dengan Rumata Arstpace Makassar dan Yirrkala Art Centre mengadakan program pertukaran seniman untuk menelusuri jejak relasi orang Makassar dengan masyarakat Yolŋu di Arnhem Land, Northern Territory, Australia melalui aktifitas perdagangan Teripang di masa lalu. Saat itu dari Makassar, selain saya ada Adi Gunawan dan Muhammad Rais.
Perjalanan ke Australia akhir tahun lalu semacam program Art Trip dari Rumata Artspace, juga mendapat dukungan dari kampus saya UNM. Selain menghadiri launching film, saya juga mengunjungi beberapa pameran di NGV (National Gallery of Victoria) Melbourne dan pameran besar seni Aborigin “Tarnanthi”di AGSA (Art Gallery of South Australia) di Adelaide.
Dalam waktu dekat, ada proyek apa lagi selanjutnya?
Sekarang sedang persiapan pameran di galeri nasional Singapura, rencana pamerannya Agustus hingga Januari tahun depan. Karya saya dokumenter tentang proses membuat instalasi perahu di program pertukaran seniman Makassar – Yirrkala sebelumnya. Saat ini persiapannya sudah hampir rampung, hanya saja kami masih menunggu perkembangan situasi karena pandemi Covid19. Semoga keadaan cepat membaik dan pamerannya bisa terlaksana sesuai dengan rencana semula. Selain itu masih ada finishing project Weaving Stories dengan British Council dan tentu saja MisterDaeng Project yang masih jalan di tempat. Sisanya kerjaan-kerjaan dan aktifitas kampus seperti biasa.
FREE DESIGN FOR RUMATA': Interview with Nurabdiansyah (Abi)
Graphic design plays a very important role in today's digital era. This one art goes along with digital development. A person who works as a graphic designer takes roomy time, unlimited creativity, great energy, and emotions that are stable enough to produce a design in accordance with the wishes of the client. That matter which then makes the profession of graphic designers quite promising from the material sector.
In order to move towards a decade of Rumata ’ArtSpace next year, we interviewed Nurabdiansyah, a graphic designer, artist and cultural activist who also works as a lecturer in Visual Communication Design at Makassar State University who views the work of graphic designers more than just gathering material. The man, who is familiarly called Abi, has joined the Rumata Visual Design Team 'and MIWF since the Makassar International Writers Festival was held for the first time in 2011. It has been 10 years Abi has mobilized his abilities for MIWF needs and of course Rumata' for free
Maybe Abi needs to tel us about yourself biographichally first: Where were you born, In what city you grew up and how did you start having an interest in the world of visual...
I was born in Takalar, (sorry, I only took birth actually because it happened to be my father who was on duty at Takalar at that time). My father worked as an insurance agent and was assigned to Takalar in the early 80s. Not long after I was born, my father decided to return to my hometown in Tinambung, Polmas (Polewali Mamasa; now a Polman, Polewali Mandar) to start a new job as a government servant. I then grew up in Tinambung, since the early 80's until I finished junior high school in 1995. I went to elementary school in SD Inpress 055 Kandeapi, and went to junior high school in SMP Negeri 1 Tinambung. After middle school, I decided to continue my studies in Makassar. I actually graduated from STM, majoring in Automotive, I used to study at STM Negeri 2 Ujungpandang (now a SMK 3 Makassar). Graduating from STM, I continued my study in the Department of Automotive Engineering Education (PTO) IKIP Ujungpandang, through the test-free path, and it was during college that my momentum began to pursue the world of graphic design.
Since middle school, I have loved drawing and "malletter", a term often used at the time for things that related to upright writing. Because often "malletter", every time involving myself in the committee of an activity, I always get publications or handle of equipment such as banners, decorations etc. At that time the banners were still made manually, using marble paper, cut out and then pasted on fabric. Even so, I had never thought of a serious moment in this field. When I was studying at PTO IKIP Ujungpandang (now Makassar State University, UNM) since my freshman, I was involved in the committee, and always get to the publication section, making event banners and other decoration supplies. I continued to do this since the first year of college, until one time, when I was still a student in the PTO department, I then registered as a member of the Art Student Activity Unit (UKM) at UNM. Being active in UKM Arts with a tons of activities makes me more intense with the world of publication and decoration, I choose to be active as a committee behind the scenes. At that time the making of banners began to shift from paper-scissors to be written directly on the fabric. I have increasingly found interest in this field because it has become increasingly free to express an expression on a piece of cloth banner.
High intensity along with to the rising of computers as graphic technology devices, the end of the decade of the 90s. I began to learn to use a computer, and began to recognize several graphics processing programs. I later found space to channel my hobby to design. That pleasure sadly made me forget my college majoring in Automotive, after 5 years of studying at PTO, in 2003 I finally decided to quit and start studying in the Department of Fine Arts Education, when it was still under the Faculty of Language and Arts UNM, majoring a special study of design graphic. While studying art, I worked part time as a graphic designer in several advertising and billboard companies. The most intense experience that I got during this time was working on the design of cigarette brand event promotions for the Makassar branch and several cities in Eastern Indonesia.
Since then I began to seriously pursue graphic design, after finishing college in the art department, I had worked as an in-house graphic designer at a major car dealer in Makassar. This moment is interesting because it also summarizes two of my previous college trips. Not long after, I had the opportunity to continue my studies in the field of art and design in Yogyakarta, then returned to serve as a lecturer in the Visual Communication Design study program at the Faculty of Arts and Design of UNM.
For Abi, what kind of visual culture has influence for us personally and the community?
Realize or not, the visual culture has been going on for a long time in our society. The simplest, silk sarong motif in Mandar or in Sengkang, carvings in Toraja, or tattoos for the Dayak community. Or the one that we can easily find on the streets such as vernacular markers made by the community: patched tires, banners, stalls, seafood stalls or paintings in the back of a truck. In my opinion, the visual culture is developing very well amidst our very heterogeneous society. In the midst of diversity, we cannot always communicate well through language because everyone's understanding can be different, but communicating visually is always easy to understand. This then makes visual culture very closely with our daily lives in Indonesia.
Is that what makes you finally decided to major in design?
Not really, I learned that after I decided to go to college and focus on graphic design. As I explained at the beginning, which made me choose the final design major because I was involved in many activities and always got design and publication affairs. Gradually it became a hobby and I then chose to focus there. I just learned about visual culture after I started studying in this field.
What about JKSS, is that a group? What are the visions and activities?
JKSS is an acronym of #jamaahkreatifsektorselatan. This was originally a hashtag for fun on social media. But lately I feel this has become an interesting collective identity campaign, especially to represent friends and students who often create works and activities in the arts and design in the southern region of Makassar. So since 2016, then I use often this hastag in every post on social media, especially if it is related to art and design activities. I also invite other friends to include this hashtag in each of their posts on social media. The hashtag #jamaahkreatofsektorselatan then we made into a kind of social movement, to introduce creative works or activities that are mostly carried out by friends in the southern region of Makassar. Why is this hashtag only targeting friends and creative communities in the south? Because in my opinion this region has great potential, there are two large tertiary institutions that manage courses in art, many creative activities, and many students have monumental works. This must be well communicated. I imagine the southern area of Makassar being an area that is a symbol of Makassar's creative, there are exhibitions, community art spaces, art activities and artist studios. To get there, a lot of things need to be done, #jamaahkreatifsektorselatan is my minor initiative from me and my friends, this hastag needs more extensive efforts. Oh yes, please follow the hashtag #jamaahkreatifsektorselatan on Instagram.
Can you tell us how Abi was initially involved in becoming the MIWF Visual Team?
I have known Kak Lily before, since 2006. At that time I was introduced by Abdi Karya and Nilam. Coincidentally there was the Makkunrai Project program, I was asked to help with the design and visual production of the program. Since then I have often been involved by Kak Lily in several projects afterwards such as Panyingkul and of course Rumata Artspace.
If all this time, Abi has been willing to dedicate herself to fulfilling the design needs of MIWF voluntarily. So, what kind of appreciation did Abi receive by joining Abi as the Design Team?
Appreciation is not always in material form, there are many things that I get from MIWF (and Rumata Artspace) in my opinion are invaluable. In addition to increasing knowledge and breadth of insights that I presented earlier, networking is one of them. Through MIWF and Rumata Artspace, I met many people who later helped me a lot in many matters of production for example. Also meet with media people who are able to communicate a lot of things, etc. All of this networking can then be contacted for other purposes outside of MIWF, if I have activities on campus for example. In addition to being a MIWF design team, I have also carried out activities that work directly with MIWF several times, including the hashtag #jamaahkreatifsektorselatan, MakkoMikki comic workshop and several creative sharing classes. In many ways I feel I need MIWF. My involvement in the MIWF design team is a door to collaborate many things between graphic design and the world of literacy. Personally, my involvement in MIWF opens doors for collaboration that I might not encounter elsewhere.
Abi is also working as a lecturer and has family. How do you compromise that?
Working as a lecturer actually does not have working hours. Every time we always work. I consider that my involvement in Rumata and MIWF is a good supplement for my work as a lecturer. Being a lecturer especially teaching visual communication design, collaborating with the world outside of campus is an absolute. I teach students that knowledge and skills cannot always be obtained on campus. Administratively, my involvement in Rumata Artspace and MIWF gave a good point in developing my career as a lecturer, especially for community service points. As we know that lecturers carry out the task of Tri Dharma of Higher Education namely Teaching, Research and Community Service.
For families itself, It is obvious that there are certain times where the family takes priority. It is not difficult to divide my time between my family and activities in Rumata Artspace and MIWF. I actually feel everything can support each other. Some programs in Rumata and MIWF actually involve families. In the long run, I feel it is important to involve the family in many activities at Rumata Artspace and MIWF, especially for my two children. Through MIWF I can introduce many things like in the kids program zone. I felt I needed to instill lots of good memories in them, sharpen my imagination and build dreams. And in my opinion MIWF is able to fill that role. I am always happy that the atmosphere that is woken up every afternoon of MIWF takes place, children running around happily, adults gathering, discussing, listening to poetry etc., it is an expensive, special moment and we cannot always give it to each family in Makassar if not in the fortress of Rotterdam every MIWF takes place. It is priceless.
There will be certainly different the treatment between Rumata and MIWF. Rumata as an organization, while MIWF as a literary event, although indeed under the Rumata foundation, is there any special treatment to distinguish these two entities through design?
There is no special treatment, the best way for these two entities to keep working wholeheartedly .. hahaha. There will still be technical differences depending on the needs of the design such as what will be made, for whom the target, what kind of illustration, when will be launched etc. But so far I have not tried to do a different treatment for both, each one is still done wholeheartedly.
If you had to choose among all the MIWF design you have design, which design has the most memorable story? and why?
All the design and production processes at MIWF have their respective impressions. My first MIWF was just learning how to make designs for literacy activities, at that time the main design provided already and proceeded to various forms of promotional material. The second MIWF in 2012, here the first time the M-shaped book arrangement logo used. When designing this, I was happy because its research explored the old map of Makassar and old photographs of the Rotterdam fort. I also really enjoyed the process in The third MIWF in 2013 as well because I explored the old city area and Makassar's Chinatown as a design material. The fourth MIWF in 2014 has a very impressive design because of its surrealism, the illustration is the Bangkoa crossing pier. The later edition of MIWF's designs began using illustrations from selected artists, I focused on production. At this time all the design processes remain memorable because the illustrations made by artists as much as possible remain the same feel when it was broken down into various promotional materials. So it's not just memorable because of the design results, rather to enjoy the process. These days I think MIWF is increasingly finding a good positioning to build collaboration with visual artists or illustrators. Each illustration for the design created in the framework of MIWF every year can be a sign of the age / milestone that will complete the next MIWF journey. So it's no longer just me or the design team who has their own impression of the design, but all MIWF visitors also have a deep impression on every visual design of MIWF.
How is the brainstorming process that Abi has done since designing for MIWF / Rumata '?
There is no particular brainstorming process that I have done. The process is more or less like the steps of designing in general, understanding briefs well, doing in-depth research, choosing the right visualization, making comparisons and reproducing visual references. In my opinion the research here is important, a designer must not only have good craftmanship in making visuals but also have a deep understanding of the design material created. When I was asked to make an MIWF design with the theme My City My Literature, I also had to read about Makassar and everything that happened in it. When asked to create a MIWF design that raised Karaeng Pattingalloang as the main character, I also had to participate in reading everything about Karaeng Pattingalloang. Brainstorming like that in my opinion the most basic thing to be done by designers, about the taste of the resulting design, it can be different responses from everyone who sees, but the design can be accounted for through the process carried out by the designer.
How is the process of designing for MIWF / Rumata 'so far? How about the taste of design? Because, of course the whole team has their own tastes. How do you all discuss it?
Usually Kak Lily orkak Riri will deliver a few initial design briefs that they want to make, what message they want to convey and where to go. This can be through several discussions, either by email or chat. The brainstorming started there and then I developed it in a visual form, choosing the right letters, layouts and colors, then sharing. Usually there will be through several revisions. The regular designs for Rumata 'are usually not very long, it is different from MIWF, because each edition of MIWF carries a different message every year, usually the discussion will begin long before implementation.
So, does designing for MIWF / Rumata 'affect Abi's deep taste at designing for other needs? If so, how does this affect value aesthetic and how you work, is there any difference in the "visual language" that you feel?
Not really, in contrast to works of pure art which tend to be demanded to be consistent with a distinctive style or character if continuously carried out for a long time, design work requires us to be able to adapt to any situation, with anyone. In my opinion, designers are like chameleons, everyone's design tastes are not always the same, I always have to adjust to that. It could be that my design tastes have a different visual language, but that can't be the main benchmark, the main thing remains is the will and taste of the client, because they are the ones who need it. If we are accustomed to following the client's tastes, automatically the tastes of a graphic designer like me will also get richer and more diverse. We have many alternatives in executing designs elsewhere.
Creating designs for MIWF and Rumata always feels special because we work in high taste circles, work with people who are accustomed to seeing a lot of graphic design work, have good design tastes and lots of references. I got used to working with it, and for me it was a good supplement to enrich my design taste and visual language.
After these 10 years, how can Abi see Rumata now? What is the importance of Rumata and MIWF for Abi personally?
I look at Rumata right now as my own home, yes, this is indeed Rumata 'in the true sense, this is our home. I really learned a lot from Rumata and MIWF in the past 10 years. This is an important phase in my life, and Rumata and MIWF are in it.
Do you think the existence of Rumata' in Makassar is still relevant? Why?
Cultural elements such as artspaces, galleries or art centers of any kind, are very important in Makassar, including Rumata Artspace and MIWF. This is the forgotten element in development in this city. We forget that the main target in every development is human, and there is no other element that can change civilization in human life other than building humans through arts and cultural activities. For this reason Artspace Rumata is important to remain, and this needs to be maintained. In the past ten years, not many galleries, art houses or cultural centers are present in Makassar, there are a number of initiatives that are present occasionally but not many can survive. For this matter, it is indeed necessary effort that is not simple, for this reason I hope Rumata and MIWF will continue to exist, and continue to try to build other initiatives to collaborate with each other.
Anyway, we saw on the media social a few months ago Abi left for Australia. What kind of program is that?
Precisely November 2019. I was invited to attend the launching of the film "Trading Cultures" by Daniel King, the show at Willin Center, Faculty of Fine Arts and Music University of Melbourne. Trading Cultures is a documentary about the Makassar and Yirrkala artists' exchange program a year earlier. In 2018, the Willin Center University of Melbourne in collaboration with Makassar Arstpace Rumata and Yirrkala Art Center held an artist exchange program to trace the Makassar people 's relations with the Yolŋu community in Arnhem Land, Northern Territory, Australia through past sea cucumber trading activities. At that time from Makassar, besides me there were Adi Gunawan and Muhammad Rais.
A trip to Australia at the end of last year, a kind of Art Trip program from Rumata Artspace, also received support from my campus at UNM. In addition to attending film launching, I also visited several exhibitions at NGV (National Gallery of Victoria) Melbourne and a large exhibition of Aboriginal art "Tarnanthi" at AGSA (Art Gallery of South Australia) in Adelaide.
What are the upcoming projects?
Now preparing for an exhibition at Singapore's national gallery, the exhibition plans are from August to January next year. My documentary works on the process of making boat installations in the previous Makassar-Yirrkala artist exchange program. At the moment, the preparations are almost done, it's just that we are still waiting for the development of the situation because of the Covid pandemic19. Hopefully things will improve quickly and the exhibition can be carried out according to the plan. In addition there is still a finishing of the Weaving Stories project with the British Council and of course the MisterDaeng Project which is still running in place. Also, the campus work and activities as usual.
Wawancara dengan Chris dan Sam
**
Ceritakan tentang Dogmilk Films - Kapan dibentuk, siapa pendirinya, apa visinya, fokusnya seperti apa dan film apa yang sedang Anda kerjakan?
Chris-
Dogmilk Films dibentuk pada tahun 2017 oleh John Hewison, Fraser Pemberton dan saya sendiri. Kami masih di universitas waktu itu dan ingin memulai pembuatan film dan pemutaran film kolektif yang membina dan mempromosikan komunitas yang belum tentu membuat film yang sesuai dengan standar festival film Australia. Ada kerja yang menyenangkan telah dibuat dan itu tidak benar-benar terlihat. John dan saya memulai pemutaran film Dogmilk di berbagai lokasi di Melbourne untuk menyatukan orang-orang karena saling menghargai sinema lapangan-kiri. Hal ini, pada tahun lalu, berubah dari menunjukkan sebagian besar film fitur internasional ke menjalankan malam bulanan yang disebut Dogmilk Degustations. Setiap bulan, kami bertanya kepada programmer tamu untuk membuat pilihan film pendek oleh pembuat film lokal. Setiap keuntungan yang didapat langsung masuk kembali ke kantong pembuat film. Sam bergabung dengan Dogmilk ketika pekerjaan pada Aluk dimulai, dan sejak itu telah memulai pemutaran film dua minggu yang disebut Docmilk, yang kami semua program secara bergiliran. Format ini difokuskan pada penyajian film-film berfikir maju dan eksperimental, baik kontemporer maupun retrospektif, yang berada di ranah dokumenter yang samar-samar didefinisikan.
Paddy Hay bergabung selama mengerjakan film pendeknya Cuckoo Roller, yang kemudian diputar di MIFF 2019 dan dipilih untuk diputar di Kompetisi Internasional di Oberhausen International Short Film Festival pada tahun 2020 yang sangat menarik. Di bulan ini, kami juga ingin mengumumkan dua anggota baru dalam kelompok kami, Wahyu Al-Mardhani dan Alexandra Walton. Kita semua sibuk mengerjakan serangkaian proyek Dogmilk yang menggiurkan yang akan diumumkan dalam beberapa bulan mendatang!
Bagaimana Dogmilk mengumpulkan dana untuk proyek yang dikerjakan?
Sam-
Dogmilk Films adalah kerja kolektif nirlaba dan sejauh ini, sepenuhnya mengandalkan selffunding dan crowdfunding untuk menghasilkan proyek-proyeknya. Gagasan tentang asal-usul Dogmilk adalah penyatuan upaya dan sumber daya, untuk meminimalkan biaya pembuatan film. Karena sangat sulit bagi pembuat film muda untuk mendapatkan dana di Australia, menciptakan jaringan pendukung sangat penting untuk menyelesaikan proyek film, jadi pertama-tama kami mengandalkan banyak teman dan kolaborator yang berbakat dan pekerja keras di komunitas kami. Untuk proyek yang lebih besar, kami telah menjalankan kampanye crowdfunding yang mengajak masyarakat luas untuk menyumbangkan sejumlah kecil uang mereka. Tahun lalu kami meluncurkan kampanye crowdfunding yang mengumpulkan $ 20.000 untuk tahap kedua produksi Aluk.
Kami juga menyelenggarakan acara penggalangan dana yang mengandalkan seruan ke jaringan teman-teman kami di dunia seni. Sekelompok orang yang sangat dermawan menyumbangkan karya seni untuk dilelang dan waktu mereka bermain musik atau tampil. Kampanye dan penggalangan dana ini melayani tujuan ganda tidak hanya memungkinkan proyek seperti Aluk membuahkan hasil, tetapi juga untuk membawa orang bersama-sama di sekitar penciptaan karya seni yang berkelanjutan dalam semua bentuk itu. Kami juga baru-baru ini menyelenggarakan penggalangan dana untuk mendukung Dana Bantuan Kebakaran untuk First Nations Communities setelah kebakaran hutan yang mengerikan pada awal tahun di Australia.
Proyek apa yang digarap Dogmilk Films di Sulawesi Selatan?
Chris-
Selama dua setengah tahun terakhir kami telah mengembangkan film dokumenter di Toraja. Kami sudah ke Sulawesi Selatan dua kali dalam waktu itu dan kami berencana untuk kembali segera setelah kami siap!
Tentang apa film Aluk?
Sam-
Aluk mengeksplorasi perubahan budaya yang sedang dialami Toraja dan cara hidup kuno yang dipertaruhkan. Ini adalah potret Tumbang Datu, salah satu desa terakhir di mana Aluk-To-Dolo (Tata Cara Para Leluhur) masih dipraktikkan oleh beberapa penduduk. Penjajah Belanda membawa agama Kristen ke Toraja pada awal 1900-an dan sejak saat itu 98% populasi telah berpindah agama. Film ini mengikuti Ne Minda, salah satu dari sedikit orang yang berpengetahuan di Tana Toraja. Keluarga Ne Minda, kepercayaan kuno dan kebiasaan ritual yang dihadapkan pada budaya dan ekonomi global yang semakin kebarat-baratan. Dinamika keluarga antargenerasi antara Ne Minda yang berjiwa pemberontak, putrinya, ketu suku, Ma Adel, dan anak-anaknya Gerisa dan Marsel, memberi kita wawasan luar biasa ke dalam evolusi identitas Toraja pada titik penting ini. Seorang pemuda dari desa itu dibawa kembali ke Toraja dari Kalimantan setelah kecelakaan industri. Pendekatan Toraja yang unik dalam menghadapi kematian dieksplorasi melalui peristiwa-peristiwa selanjutnya, proses berduka cita mencerminkan kedatangan Ne Minda sendiri untuk menerima perubahan identitas budaya Toraja.
Peristiwa ini terlihat melalui lensa kru Australia dan kru TV lokal, Delta Sangalla TV. Dipandu oleh Victor Konda, keluarga ini yang mengelola kru TV merekam praktik budaya Toraja, termasuk upacara pemakaman, di distrik mereka dan menyiarkannya kepada penduduk setempat. Mereka memiliki arsip rekaman yang luar biasa dan telah menjadi kolaborator yang erat dalam proyek ini!
Bagaimana ide dan langkah awal hingga tim Dogmilk ingin pergi ke Toraja?
Chris-
Setelah dihadapkan dengan mayat untuk pertama kalinya, saya menjadi sangat tertarik pada bagaimana budaya lain mengatur kematian dan proses berduka. Seorang teman baik dan mantan jurnalis memperkenalkan saya tentang Toraja, menggambarkan masa kontak yang lama dengan almarhum, yang berlangsung selama berbulan-bulan, dalam beberapa kasus, lebih dari satu dekade. Di Australia, kehadiran fisik kematian sering disembunyikan. Saya ingin belajar lebih banyak tentang efek yang dimiliki oleh kebiasaan-kebiasaan ini pada proses berduka dan pendekatan orang Toraja terhadap kefanaan. Setelah meminta bantuan John dan Sam, kami mulai melakukan penelitian yang lebih mendalam, dan merencanakan perjalanan pertama kami ke Toraja. Kami menghubungi para antropolog, fotografer, dan jurnalis dari seluruh dunia, yang mungkin dapat memberi kami beberapa saran atau kontak di Sulawesi Selatan. Setelah kami mengumpulkan peralatan dan memperoleh visa, kami melanjutkan perjalanan pertama kami ke Toraja pada akhir 2017.
Dari mana kru tim Aluk berasal?
Sam-
Kru Aluk yang berbasis di Australia terdiri dari anggota Dogmilk. Chris Cochrane-Friedrich memimpin proyek dan kolaborator jangka panjangnya, John Hewison, adalah direktur fotografi. Saya direkrut sebagai produser proyek, bergabung dengan mereka pada perjalanan pertama ke Toraja. Untuk perjalanan kedua, kami mengundang Josh Peters, seorang pengisi suara yang berbakat untuk merekam suara, dan Paddy Hay, seorang pembuat film yang brilian untuk membantu kerja kamera dan mengelola data.
Setelah di Indonesia, dua pembuat film muda dari Sulawesi diundang untuk bergabung dengan tim Dogmilk, Wahyu Al Mardhani dan Yoga Pratama. Ini adalah pengalaman yang sangat inspiratif dan menyebabkan residensi pertama Dogmilk berlangsung tahun ini! Di Toraja, tim mendapat banyak bantuan dari kru TV lokal DSTV, sekarang beberapa teman dekat kami. Kemurahan hati dan keramahtamahan yang mereka tunjukkan pada kami sungguh luar biasa. Victor Konda dari DSTV menempatkan kami di rumahnya selama hampir 2 bulan kami tinggal. Kami sangat berterima kasih kepada semua teman dan kolaborator baru yang telah membantu menjaga film ini tetap hidup. Tidak ada yang bisa terjadi tanpa mereka!
Berapa lama proses perjalan di Toraja? Berapa lama di Makassar?
Chris-
Perjalanan pertama kami ke Toraja berlangsung sebulan dan yang kedua berlangsung dua bulan. Kami ingin tinggal lebih lama tapi sayangnya visa jurnalis berakhir untuk maksimal dua bulan! Kami hanya dapat menghabiskan waktu terbatas di Makassar sejauh ini, tetapi saya berniat tinggal lebih lama lagi untuk membantu memulai cabang Dogmilk Film yang berbasis di Makassar.
Mengapa Anda awalnya menghubungi Rumata 'ArtSpace?
Sam-
Kami diperkenalkan ke Rumata ‘Artspace oleh seorang teman, Abdi Karya, yang kami temui pada perjalanan pertama kami ke Sulawesi Selatan. Kami menyukai tempat itu ketika ia membawa kami untuk mengunjungi dan menemukan bahwa ada pemandangan seni yang menarik di Makassar. Kami juga mengetahui bahwa salah satu pendirinya tinggal di Melbourne, jadi kami dapat tetap berhubungan ketika kami kembali ke Australia.
Seperti apa kolaborasi antara Dogmilk Films dan Rumata 'ArtSpace?
Sam-
Ketika kami berencana untuk kembali ke Sulawesi Selatan untuk terus mengerjakan Aluk, kami memutuskan ingin bekerja lebih dekat dengan para sineas muda dari Makassar, seperti halnya kami berfungsi di Melbourne untuk proyek film Dogmilk lainnya. Jadi, kami bertanya kepada orang-orang yang kami kenal dari Rumata Artspace apakah mereka dapat merekomendasikan siapa pun untuk bekerja bersama kami dan kami diperkenalkan dengan Wahyu dan Yoga! Wahyu bergabung dengan kami selama dua minggu dan sayangnya waktu Yoga dengan kami terputus tetapi kami tidak sabar untuk bekerja dengannya dan lebih banyak pembuat film dari Sulawesi pada perjalanan berikutnya ke Indonesia. Di akhir masa tinggal kami di bulan Oktober 2019, Rumata dengan ramah mengundang kami untuk menjalankan sebuah lokakarya dan pemutaran di Artspace, di mana kami memiliki kesempatan untuk berbicara tentang proses dan metode kreatif kami, dan untuk memutar film-film kami sebelumnya untuk para peserta di Makassar. Terima kasih Rumata atas semua bantuan dan dukungan yang Anda berikan kepada kami!
Wahyu, sineas dari Makassar dibawa ke Melbourne untuk kolaborasi. Mengapa kolaborasi antara Indonesia dan Australia penting dalam proses mengerjakan proyek ini?
Sam-
Kolaborasi sangat penting dalam pembuatan film ini, hampir sama pentingnya dengan cerita itu sendiri. Bagi kami, membuat film ini adalah perjalanan menemukan budaya yang berbeda. Penemuan ini melibatkan banyak proses mendengarkan, untuk Toraja, untuk orang Indonesia, dan tentu saja untuk pembuat film lainnya. Jelas selama perjalanan pertama kami bahwa perspektif Victor dan kru TV-nya harus menjadi pusat film. Setelah bertemu dan menghabiskan waktu bersama Wahyu, kami memutuskan bahwa bekerja dengan editor Indonesia juga penting. Bagikami, jelas untuk berkolaborasi dengan orang-orang yang ada di sekitar Anda, terutama ketika Anda berada di tempat yang tidak dikenal, merekam budaya yang tidak dikenal dalam bahasa yang tidak dikenal. Sejak perjalanan pertama kami ke Toraja, kami telah menjalin banyak teman yang telah memengaruhi dan menginspirasi kami, yang pasti membentuk film dengan berbagai cara.
11. Beri tahu kami kendala apa yang dialami Dogmilk ketika Anda ingin membawa Wahyu ke Australia dan bagaimana solusinya?
Sam-
Rintangannya semuanya masalah birokratis. Australia memiliki kebijakan visa yang sangat ketat, jadi kami harus menunjukkan dengan jelas dukungan bahwa Wahyu harus mengunjungi Melbourne dan berpartisipasi dalam menciptakan instalasi kami di Asia-Topa dan dalam mengedit Aluk. Sayangnya, permohonan visa pertama ditolak, menunda tanggal kedatangannya, tetapi berkat bantuan seorang teman yang bekerja dalam migrasi, kami berhasil mengajukan aplikasi kedua.
Sejak kami mulai mengembangkan Aluk, kami berteman dengan banyak komunitas seni Indonesia-Australia, dan mereka dengan murah hati menulis surat dukungan untuk aplikasi visa Wahyu. Setelah mendapat izin dari universitasnya untuk mengambil cuti, Wahyu siap untuk pergi ke Melbourne. Sekarang kami telah menemukan cara terbaik untuk membawa satu sineas muda Indonesia ke Australia, kami mengerti proses yang jauh lebih baik dan berencana untuk melakukannya lagi di masa depan!
Situasi Pandemi Covid-19 tentu saja mengubah pola kerja Dogmilk, apa efeknya?
Chris-
Fraser dan John sedang dalam pra-produksi untuk film pendek berikutnya yang sayangnya harus ditunda. Social distancing dan isolasi diri membuat kita hanya dapat berkomunikasi online, jadi kami melakukan pertemuan rutin melalui obrolan video. Periode ini memungkinkan kami untuk mencari tahu langkah selanjutnya yang ingin kami lakukan dengan Dogmilk, memperluas keanggotaan dan jaringan kami. Kami sedang mengerjakan platform streaming kolaboratif dengan sekelompok besar orang di Melbourne! Anggota terbaru kami, Alexandra, saat ini sedang mengerjakan film dokumenter yang berbicara dan berinteraksi dengan situasi kita saat ini.
Dipaksa oleh pandemi untuk menghapus kembali metode produksi yang khas adalah jalan yang sangat menarik untuk berpikir secara kreatif tentang batas pembuatan film dokumenter dan bagaimana kita dapat mendorong bentuk seni ke dalam langkah evolusi berikutnya.
Seberapa besar pengaruh pandemi Covid-19 terhadap Dogmilk dan kolaborasinya dengan Wahyu?
Chris-
Sayangnya, krisis Covid-19 dan keharusan untuk mengisolasi dan karantina membuat Wahyu harus meninggalkan Melbourne lebih awal dari yang direncanakan, sehingga ia bisa bersama keluarga dan teman-temannya di Indonesia. Ketika pandemi menyebar, pembatasan perbatasan semakin ketat dan menjadi jelas bahwa Wahyu harus keluar dari Australia sebelum dia berpotensi mengalami situasi yang buruk. Keputusan harus diambil dalam sekejap dan itu adalah saat yang sangat menyedihkan untuk mengucapkan selamat tinggal padanya! Kami bersenang-senang membuat karya instalasi lima saluran yang ditampilkan di Huru-Hara sebagai bagian dari festival seni tiga tahunan Asia-Topa. Wahyu telah memangkas semua materi yang diputar di layar rekaman yang direkam kedua teman kami di DSTV, dan yang kami rekam pada perjalanan kedua kami. Kami mulai menyesuaikan diri dengan proses penyuntingan sambil memilah footage-footage yang telah direkam. Pekerjaan pengeditan sayangnya telah ditunda hingga Wahyu dapat melanjutkan karena ia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tim. Tapi itu akan berlanjut segera!
Selama menghabiskan banyak waktu di rumah untuk physical distancing, apa saja Kegiatan Dogmilk untuk melewati situasi ini?
Sam-
Beberapa dari kami masih kuliah dan kerja masih dapat kita lakukan di rumah, tetapi tentu saja kita harus beradaptasi untuk menghabiskan lebih banyak waktu sendirian. Kami tentu saja semua penggemar film, jadi kami menonton banyak film, dan merekomendasikan satu sama lain. Banyak festival film, kolektif dan platform dari seluruh dunia berbagi program dan katalog yang berbeda secara gratis selama pandemi, jadi ini adalah kesempatan bagus untuk menemukan banyak hal baru.
Kapan Aluk bisa ditonton oleh teman-teman di Makassar?
Chris-
Semoga pada akhir tahun depan! Membuat film seperti ini butuh proses yang panjang dan kami tidak terburu-buru untuk menyelesaikannya. Untuk saat ini kami fokus untuk terlibat dengan banyak teman dan segera menjadi teman di Makassar untuk membangun kemungkinan dalam memfasilitasi lebih banyak residensi antara Melbourne dan Makassar dan untuk menetapkan kesepakatan dalam kemitraan antara Dogmilk Films dan 180 Dalam Kota!
Interview With Chris and Sam
**
Tell us about Dogmilk Films - When was it formed, who was the founder, what vision, what focus and what films were you working on?
Chris:
Dogmilk Films was created in 2017 by John Hewison, Fraser Pemberton and myself. We were at university at the time and wanted to start a filmmaking and screening collective that fostered and promoted a community that wasn't necessarily making films that fit into an Australian film festival mould. There was exciting work being made and it wasn't really being seen. John and I started Dogmilk screenings at various locations around Melbourne to bring people together over a mutual appreciation of left-field cinema. This has, in the last year, morphed from showing largely international feature films to running a monthly night called Dogmilk Degustations. Each month, we ask guest programmers to curate a selection of short films by local filmmakers. Any profit made goes directly back into the pockets of the filmmakers. Sam joined Dogmilk when work on Aluk began, and has since started a fortnightly screening called Docmilk, which we all take turns programming. This format is focused on presenting forward-thinking and experimental films, both contemporary and retrospective, that sit in the vaguely defined realm of documentary.
Paddy Hay joined during work on his short film Cuckoo Roller, which has since gone on to be screened at MIFF 2019 and selected to screen in the International Competition at the Oberhausen International Short Film Festival in 2020 which is incredibly exciting. We're also over the moon to announce two more members in the collective, Wahyu Al-Mardhani and Alexandra Walton. We're all busy working on a slew of tantalising Dogmilk projects which will be announced in the coming months!
How does Dogmilk collect funds from projects it works on?
Sam:
Dogmilk Films is a not-for-profit collective and has so far, relied entirely on self- funding and crowdfunding to produce it's projects. The idea at the origin of Dogmilk was the pooling of efforts and resources, to minimise the costs of filmmaking. Because it is so difficult for young filmmakers to get funding in Australia, creating a support network is crucial to getting film projects off the ground, so we rely first on the many talented and hardworking friends and collaborators in our community. For bigger projects, we've run crowdfunding campaigns that ask the wider community to donate small amounts of money. Last year we launched a crowdfunding campaign that raised $20,000 for Aluk's second phase of production.
We also organised a fundraising event that relied on call outs to our network of friends in the art world. An incredibly generous group of people donated artwork to be auctioned and their time playing music or performing. These campaigns and fundraisers serve a dual purpose in not only allowing a project like Aluk to come to fruition, but also to bring people together around the sustainable creation of artwork in all it's forms. We also recently organised a fundraiser in support of the Fire Relief Fund for First Nations Communities after the horri fic bush fires at the start of the year in Australia.
What projects undertaken Dogmilk Film in South Sulawesi?
Chris:
For the last two and a half years we have been developing a documentary in Toraja. We've been to South Sulawesi twice in that time and we plan to return as soon as we can!
What is the Aluk film about?
Sam:
Aluk explores the cultural shift that Toraja is currently undergoing and the ancient way of life that’s at stake. It's a portrait of Tumbang Datu, one of the last villages in which Aluk-To-Dolo (The Way of The Ancestors) is still practiced by some of the population. Dutch colonists brought Christianity to Toraja in the early 1900's and since then 98% of the population has converted. The film follows Ne Minda, one of the few knowledge-people left in Tana Toraja. Ne Minda's family, ancient beliefs and ritual customs are being confronted with an increasingly westernised global culture and economy. This intergenerational family dynamic between rebellious-spirited Ne Minda, his daughter, hardworking matriarch Ma Adel, and her children Gerisa and Marsel, gives us crucial insight into the evolution of Torajan identity at this pivotal juncture. A young man from the village is brought back to Toraja from Kalimantan after an industrial accident. The unique Torajan approach to death is explored through the ensuing events, the grieving process mirroring Ne Minda’s own coming to terms with the changing cultural identity of Toraja. These events are seen through the lens of both the Australian crew and the local TV crew, Delta Sangalla TV. Helmed by Victor Konda, this family run TV crew records Torajan cultural practices, including funeral ceremonies, in their district and broadcast it to the local population. They have an incredible archive of footage and have become close collaborators on the project!
What was the initial idea and process until the Dogmilk team wanted to go to Toraja?
Chris:
After being confronted with a dead body for the first time, I became very interested in how other cultures navigated death and the grieving process. A good friend and former journalist introduced me to Toraja, describing the long periods of contact with the deceased, lasting from months to, in some cases, over a decade. In Australia, the physical presence of death is often hidden. I wanted to learn more about the effects that these customs have on the grieving process and the Torajan approach to mortality. After enlisting the help of John and Sam, we started doing more in-depth research, and planned our first trip to Toraja. We contacted anthropologists, photographers and journalists from around the world, who might be able to give us some advice or contacts in South Sulawesi. After we gathered our equipment and obtained our visas, we went on our first trip to Toraja at the end of 2017.
Where did the Aluk team crew come from?
Sam:
The Australian-based Aluk crew is made up of members of Dogmilk. Chris Cochrane-Friedrich is directing the project and his longterm collaborator, John Hewison, is the director of photography. I was recruited as producer of the project, joining them on the first trip to Toraja. For the second trip, we invited Josh Peters, a talented sound artist to record sound, and Paddy Hay, a brilliant filmmaker to help with the camera work and manage the data.
Once in Indonesia, two young filmmakers from Sulawesi were invited to join the Dogmilk team, Wahyu Al Mardhani and Yoga Pratama. This was a very inspiring experience and led to Dogmilk's first residency taking place this year! In Toraja, the team had a lot of help from local TV crew DSTV, now some of our close friends. The generosity and hospitality they showed us was unbelievable. Victor Konda of DSTV put us up in his home for close to our entire 2 month stay. We're so grateful to all the new friends and collaborators who have helped keep this film alive. None of it could have happened without them!
How long is the process in Toraja? How long in Makassar?
Chris:
Our first trip to Toraja lasted a month and the second lasted two months. We would love to stay for longer but unfortunately journalist visa's last for a maximum of two months! We've only been able to spend a limited time in Makassar so far, but I intend on staying a lot longer next time to help start a Makassar-based branch of Dogmilk Films.
Why did you initially contact Rumata ’ArtSpace?
Sam:
We were introduced to Rumata ‘Artspace by a friend Abdi Karya, that we met on our first trip to South Sulawesi. We loved the space when he brought us to visit and discovered that there was an exciting art scene flourishing in Makassar. We also learnt that one of the founders lived in Melbourne, so we were able to stay in contact when we got back to Australia.
What kind of collaboration between Dogmilk Films and Rumata 'ArtSpace?
Sam:
When we were planning to come back to South Sulawesi to continue working onAluk, we decided we wanted to work more closely with young filmmakers from Makassar, the same way we function in Melbourne for other Dogmilk film projects. So, we asked the people we knew from Rumata Artspace if they could recommend anybody to work with us and we were introduced to Wahyu and Yoga! Wahyu joined us for two weeks and unfortunately Yoga's time with us was cut short but we can't wait to work with him and more filmmakers from Sulawesi on the next trip to Indonesia. At the end of our stay in October 2019, Rumata kindly invited us to run a workshop and screening at the Artspace, where we had the opportunity to talk about our creative process and method, and to screen our previous films for attendees in Makassar. Thank you Rumata for all the help and support you have given us!
Wahyu, a filmmaker from Makassar was brought to Melbourne for collaboration. Why is collaboration between Indonesia and Australia important in the process of working on this project?
Sam:
Collaboration is essential in the making of this film, almost as important as the story itself. For us, making this film has been a journey of discovering a different culture. This discovery involves a lot of listening, to Torajans, to Indonesians, and of course to other filmmakers. It became clear during our first trip that the perspective of Victor and his TV crew had to be central to the film. After meeting and spending time with Wahyu, we decided that working with an Indonesian editor was also imperative. For us, it is obvious to collaborate with the people that are around you, especially when you are in an unfamiliar place, filming an unfamiliar culture in an unfamiliar language. Since our first trip to Toraja, we have made so many friends who have influenced and inspired us, inevitably shaping the film in myriad ways.
Tell us what obstacles Dogmilk experienced when you wanted to bring Wahyu to Australia and how was the solution?
Sam:
The obstacles were all bureaucratic. Australia has very strict visa policies, so we had to clearly demonstrate the support that Wahyu had to visit Melbourne and participate in creating our installation at Asia-Topa and in editing Aluk. The first visa application was denied unfortunately, pushing back his arrival date, but thanks to the help of a friend who works in migration, we were able to successfully file a second application. Since we began developing Aluk, we made many friends in the Indonesian- Australian arts community, and they generously wrote letters of support for Wahyu's visa application. After getting clearance from his university to take a leave of absence, Wahyu was ready to head over to Melbourne. Now that we've figured out
how to best bring one young Indonesian filmmaker to Australia, we understand the process far better and plan on doing it again in the future!
The Covid-19 Pandemic situation certainly changed Dogmilk's work patterns, what were the effects?
Chris:
Fraser and John were in pre-production for their next short films which have sadly had to be postponed. Social distancing and self-isolation mean that we can now only communicate online, so we have regular meetings over video chat. This period is allowing us to figure out the next steps we’d like to take with Dogmilk, expanding our membership and network. We're working on a collaborative streaming platform with a great bunch of people in Melbourne! Our newest member, Alexandra, is currently working on a documentary film that speaks to and interacts with our current situation. Being forced by the pandemic to strip back typical production methods is a really interesting alleyway to thinking creatively about the limits of documentary filmmaking and how we can push the art-form in to it's next evolutionary step.
How much in fluence did the Covid-19 pandemic have on Dogmilk and his collaboration with Wahyu?
Chris:
Unfortunately, the Covid-19 crisis and the necessity to isolate and quarantine meant that Wahyu had to leave Melbourne earlier than planned, so that he could be with his family and friends in Indonesia. As the pandemic spread, the border restrictions tightened and it became obvious that Wahyu had to get out of Australia before he was potentially unable to for months. The decision had to be made in an instant and it was a really sad time saying goodbye to him! We'd had such a great time making a five-channel installation work that featured at Huru-Hara as part of triennial arts festival Asia-Topa. Wahyu had cut all the material that played on the screens from footage that both our friends at DSTV had captured, and that we had captured on our second trip. We were starting to settle into the editing process and to break through the mountain of footage in front of us. Editing work has unfortunately been postponed until Wahyu is able to continue as he has become an indispensable part of the team. But it will continue soon!
During spending a lot of time at home for physical distancing, what are Dogmilk's activities to get through this situation?
Sam:
A few of us still have university and work that we can do at home, but we are of course having to adapt to spending more time in isolation. We are of course all big movie fans, so we're watching lots of movies, and recommending them to each other. Lots of film festivals, collectives and platforms from around the world are sharing different programs and catalogues for free during the pandemic, so it’s a good opportunity to discover lots of new things.
When can Aluk be watched by friends in Makassar?
Chris:
Hopefully by the end of next year! Making a film like this a long process and we're in no rush to finish it. For now we're focused on engaging with as many friends and soon-to-be friends in Makassar to establish possibilities in facilitating more residencies between Melbourne and Makassar and to seal the proverbial deal in a partnership between Dogmilk Films and 180 Dalam Kota!
Pameran "Auto Cartoon Makassar" di Rumata' ArtSpace oleh Gertjan Zuilhof, Programer Film dan Perupa asal Belanda
"Auto Cartoon Makassar" exhibition at Rumata' ArtSpace by Gertjan Zuilhof, a Dutch film programmer and artist
Gertjan Zuilhof mencoba pendekatan berbeda dalam menciptakan karyanya selama 3 minggu di Makassar: Mural. Ini adalah kunjungan pertama Gertian Zuilhof ke Makassar dan dia mengungkapkan perasaannya tentang kota ini melalui gambar-gambarnya yang memiliki makna khusus baginya. Gertian Zuilhof juga seorang programmer film profesional untuk salah satu festival film paling terkemuka di Eropa juga akan berbagi pengalamannya dengan komunitas seni dan budaya di Makassar. Pamerannya ini sebagai penanda pembukaan Galeri Rumata pada 31 Agustus 2012.
Gertjan Zuilhof tried a different approach in creating his work for 3 weeks in Makassar: the mural. This was Gertjan Zuilhof's first visit to Makassar and he expressed his feelings about the city through his drawings which have a special meaning for him. Gertjan Zuilhof is also a professional film programmer for one of the most prominent film festivals in Europe and he shared his experiences with the arts and culture community in Makassar. This exhibition marked the opening of the Rumata’ Gallery on August 31, 2012.
Rumata' ArtSpace: Menggugah Sastra di Indonesia Timur
Rumata' ArtSpace: Awakening Literature in Eastern Indonesia
Bersama sineas Riri Riza, Lily memutuskan untuk mendirikan Rumata’ Artspace. “Kami berdua sama-sama anak Makassar yang punya kegelisahan, ingin Makassar terlibat dalam percakapan intelektual yang lebih luas,” ucap Lily. Berbekal rumah masa kecil Riri dan pendanaan bersama yang digalang Lily, Rumata’ Artspace didirikan pada 2010. Dalam bahasa Makassar, rumata’ berarti ‘rumah kita’. Organisasi ini ditujukan untuk menjadi rumah bagi beragam inisiatif seni di Makassar.
Dua bidang yang menjadi fokus Rumata’ adalah film dan sastra. Memanfaatkan jaringan yang mereka miliki, Lily dan Riri berupaya mewujudkan visi dengan membuat forum berskala internasional dalam kedua bidang itu. Didukung para mitranya, Rumata’ menyelenggarakan MIWF sejak 2011 dan Makassar South East Asian Screen (SEAscreen) Academy sejak 2012.
Beragam isu sosial dan lintas sektor diangkat MIWF tiap tahunnya, menyediakan ruang percakapan bagi para peserta dan penulis. Topiknya antara lain, keberagaman, mencari ketulusan di tahun politik, dan pentingnya bersuara. Festival ini juga pernah menyoroti persilangan antara sastra, kota, dan arsitektur.
The two areas that Rumata’ focuses on are film and literature. Utilizing the network they have, Lily and Riri strive to realize their vision by creating international scale forums in both fields. Supported by its partners, Rumata’ has organized MIWF since 2011 and the Makassar South East Asian Screen (SEAscreen) Academy since 2012.
A variety of social and cross-sectoral issues are discussed by MIWF each year, providing conversation space for participants and writers. Topics include diversity, seeking sincerity in election years, and the importance of speaking out. The festival has also highlighted a cross between literature, cities and architecture.
Bacaan Menarik Selama #StayAtHome
Oleh: Shinta Febriany
Buku yang Bagus tentu saja dapat menjadi pilihan yang sangat tepat atau juga sebuah pelarian yang manis di tengah pandemi superti ini. Coba cek rak buku kalian, adakah buku yang belum terjamah? Jika iya, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat Untuk akhirnya tenggelam di buku-buku yang sudah kalian simpan sejak lama di rak buku kalian.
Seperti Shinta Febriany yang menghabiskan hari-hari self-quarantine nya dengan mengecek kembali buku-buku yang bertengger manis di rak buku nya yang belum sempat ia tamatkan , berikut adalah rekomendasi buku selama di rumah saja yang diberikan Oleh Shinta Febriany Untuk kalian:
Interpreter of Maladies adalah buku yang menghantarkan penulis India-Amerika, Jhumpa Lahiri mendapatkan penghargaan Pulitzer. Buku ini berisi 9 kumpulan cerita pendek sederhana yang disampaikan dengan menarik. Diantaranya ialah: A Temporary Matter, yang bercerita tentang permasalahan pasangan muda bernama Shoba dan Shukumar yang kehilangan anak bayi mereka, tragedi tersebut kemudian membuat kedua nya tidak saling berkomunikasi meski masih tinggal satu atap, lalu Sexy, ini adalah cerita pendek yang memperlihatkan hubungan antara wanita kulit putih bernama Miranda dengan pria India yang telah menikah bernama Dev, Miranda digambarkan sebagai seorang yang penuh keragu-raguan, sensitif dan pemikir, di akhir cerita Miranda akhirnya menyadari bahwa mencintai suami orang lain adalah sebuah kesalahan, yang terakhir ialah The Third and Final Continent, cerita pendek ini juga membahas tentang kesepian, asimilasi dan pernikahan seperti di cerpen berjudul A Temporary Matter atau This Blessed House, penggambaran karakter di cerita yang satu ini cukup dinamis, dibuktikan dengan kemampuan si karakter untuk dapat beradaptasi dengan tradisi dan gaya hidup dari setiap benua yang ia singgahi. Diakhir cerita seluruh karakter di cerpen ini akan menemukan masing-masing cara untuk keluar dari kesepian mereka. Diakui Lahiri bahwa cerita pendek ini merupakan cerita yang pernah disampaikan oleh ayahnya sendiri kepadanya tentang kedatangan ayahnya dari Calcutta ke Amerika Serikat.
2. The God of Small Things - Arundhati Roy
Ini adalah debut novel Arundhati Roy yang menjadikannya sebagai wanita India pertama yang memenangkan Man Booker Prize. Lewat novel ini Arundhati memberikan kritik sosial, novel ini disebut-sebut pernah dilarang terbit di negara asalnya sendiri karena penggambaran aktivitas seksual diantara anggota kasta yang berbeda. The God of Small Things menceritakan kepelikan hidup satu keluarga di India. Novel ini tidak hanya membahas tentang kehidupan partriarki, isu gender, seksualitas dan SARA di India, namun juga membahas tentang kemiskinan, jelas betul di lembar-lembar awal, novel ini menyatakan: “Mereka juga yakin andaikan tewas di zebra cross pemakaman akan dibayar oleh Pemerintah, mereka mendapatkan kesan bahwa demikianlah fungsi zebra cross”. Di samping cerita yang menyayat hati dan penuh keputus-asaan. Novel ini juga memuat banyak fakta menarik seperti orang-orang yang tergolong dalam kasta Brahmana memiliki status sosial yang setara dengan mereka yang menganut agama kristen Suriah. Hal ini dibuktikan melalui ungkapan: “Dua puluh persen populasi penduduk Kerala adalah Kristen Suriah, yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seratus Brahmana yang membuat St. Thomas Rasul menjadi Kristen ketika dia melakukan perjalanan ke Timur setelah Kebangkitan”. Novel ini cukup kompleks dengan segala isu-isu penting yang dibahas di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat India.
3. The Road - Cormac McCarthy
Karya Cormac McCarthy ini diklasifikasi ke dalam novel post-apocalyptic atau tema-tema tentang akhir dunia. Terbit pada 2006, novel ini meraih penghargaan Pulitzer Prize pada 2007.
Novel ini berbicara tentang perjalanan yang sangat emosional antara ayah dan anak dalam melewati dunia pasca bencana demi mencari kehidupan yang lebih baik. Semesta yang digambarkan dalam novel The Road adalah lanskap dunia yang hancur, abu-abu dan gelap, penuh debu, tanah yang terbakar, pepohonan mati, ketiadaan tanda-tanda kehidupan, mobil-rumah-supermarket yang semua terbengkalai dan ditinggalkan. The Road muncul sebagai sebuah tawaran tema post-apocalyptic yang berbeda, yang tidak melulu berbicara tentang bencana dan perkelahian, tetapi tentang hubungan emosional keluarga dan upaya menjaga serta mempertahankan humanisme. Dan bagi siapa saja yang tertarik dengan tema-tema akhir dunia, novel ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
4. Forest Dark - Nicole Krauss
Ada saat mengerikan dalam novel baru Nicole Krauss, "Forest Dark," ketika seorang lelaki berjas berdiri di tepi atap yang basah dan mengenakan sepasang sarung tangan karet. Seorang novelis menonton dari jendela kantornya di rumah sebelah. Selama beberapa detik yang memukau, sang novelis menunggu dia melompat - atau jatuh. Sebaliknya, ia hanya berlutut dan mulai membersihkan dedaunan dari selokan. Ternyata ia adalah tetangga yang memutuskan untuk melakukan sedikit pekerjaan rumah tanpa mengganti pakaian kantornya. Tapi ini adalah momen yang membingungkan dan memang kebingunganlah yang menjadi ciri novel ini. Tindakan-tindakan biasa dianggap rapuh dan menakutkan. Salah satu keindahan dari buku yang jernih dan menggembirakan ini adalah, kadang-kadang, Krauss tidak takut untuk membiarkan ceritanya pergi ke mana pun ia mau.
5. Simfoni Dua - Subagio Sastrowardoyo
Subagio Sastrowardoyo yang muncul pada tahun 1950-an, puisi-puisinya sempat menarik perhatian banyak pengamat sastra sebab dinilai berani menggugat hakikat hidup dan sikap keagamaan, yang kemudian banyak dihubungkan orang dengan filsafat eksistensialisme. Melalui buku ini, Subagio membuat kita kembali mengingat masa-masa awal menulis puisi. Tidak ada tujuan lain selain untuk menyampaikan perasaan: ketulusan. Kadangkala berusaha menihilkan posisi "aku" di hadapan objek. Barangkali inilah sepertinya fungsi puisi, melumerkan ego manusia. Juga perasaan ingin bertanya, rasa ingin tahu yang lekat pada diri kita serta menumbuhkan rasa peduli terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita.
Books To Read While #StayAtHome
By: Shinta Febriany
A Good Book can certainly be a very appropriate choice or also a sweet escape during this pandemic. Try to check your bookshelves, are there books that haven't been touched? If so, maybe now is the right time to finally delve into the books that you have kept for a long time on your bookshelves.
Shinta Febriany has spent her self-quarantine days by re-checking books that are perched sweetly on her bookshelves that she has not had time to complete, here are Shinta’s recommendations for you:
1. Interpreter of Maladies - Jhumpa Lahiri
Interpreter of Maladies is a book that earned Indian-American writer Jhumpa Lahiri the Pulitzer Prize. This book contains 9 collections of simple short stories that are interestingly woven together. Among them are: A Temporary Matter, which tells about the problem of a young couple named Shoba and Shukumar who lost their baby children, the tragedy then makes the two not communicate with each other even though they still live together. Sexy, a short story that shows the relationship between a white woman named Miranda with a married Indian man named Dev. Miranda is portrayed as being full of doubts, sensitive and thoughtful. At the end of the story Miranda finally realizes that loving someone else's husband is a mistake. Finally, The Third and Final Continent , this short story also discusses loneliness, assimilation and marriage as in the short story titled A Temporary Matter or This Blessed House, the depiction of the characters in this one story is quite dynamic, evidenced by the character's ability to adapt to the traditions and lifestyles of each continent which he visits. At the end of the story all the characters in this short story will find a way to get out of their loneliness. Lahiri admitted that this short story was a story that his own father had told him about his arrival to the United States from Calcutta.
2. The God of Small Things - Arundhati Roy
This is Arundhati Roy's debut novel which made her the first Indian woman to win the Man Booker Prize. Through this novel Arundhati provides social criticism. This novel is said to have been banned from publishing in her home country because of the depiction of sexual activity among members of different castes. The God of Small Things tells of the severity of the life of a family in India. This novel not only discusses patriarchal life, gender issues, sexuality and racism in India, but also discusses poverty. Clearly in the initial pages, the novel states: "They also believe that if someone is killed at a zebra crossing, the burial will be paid for by the Government, they get the impression that this is the function of a zebra crossing ". In addition to the heartbreaking and despairing story. This novel also contains many interesting facts, such as people belonging to the Brahmin caste have social status equal to those who adhere to the Syrian Christian religion. This is proven by the phrase: "Twenty percent of the population of Kerala are Syrian Christians, who believe that they are descended from a hundred Brahmins who made St. Thomas the Apostle became a Christian when he travelled East after the Resurrection ". This novel is quite complex with all important issues discussed in it, especially those relating to the social life of Indian society.
3. The Road - Cormac McCarthy
Cormac McCarthy's work is a post-apocalyptic novel about the end of the world. Published in 2006, the novel won the Pulitzer Prize award in 2007. This novel talks about a very emotional journey between father and son in passing the post-disaster world in search of a better life. The universe depicted in the novel, The Road, is a shattered, grey and dark world landscape, full of dust, burning ground, dead trees, absence of signs of life – cars, houses and supermarkets are all abandoned. The Road appears as an offer of a different post-apocalyptic theme, which is not merely talking about disasters and fights, but about the emotional connection of families and efforts to preserve humanism. And for anyone who is interested in the themes of the end of the world, this novel is not to be missed.
4. Dark Forest - Nicole Krauss
There’s a terrible moment in Nicole Krauss's new novel, "Forest Dark," when a man in a suit stands on the edge of a wet roof, wearing a pair of rubber gloves. A novelist watches from the window of his office in the next house. For several mesmerizing seconds, the novelist waits for him to jump - or fall. Instead, he just kneels down and cleans the leaves from the gutter. Turns out he was a neighbour who decided to do a little housework without changing his office clothes. But this is a confusing moment and indeed confusion is what characterizes this novel. Ordinary actions are considered fragile and frightening. One of the beauties of this clear and uplifting book is that, sometimes, Krauss is not afraid to let his story go wherever she wants.
5. Symphony Two - Subagio Sastrowardoyo
Subagio Sastrowardoyo, who came to prominence in the 1950s, had his poems attracted the attention of many literary observers because they were judged to be daring enough to challenge the nature of life and religious attitudes, which back then many people associated with existentialism philosophy. Through this book, Subagio makes us recall the first days of writing poetry. There is no other purpose than to convey a feeling: sincerity. Sometimes trying to nullify the position of "me" in front of the object. Perhaps this seems to be the function of poetry, melting the human ego. Also, the feeling of wanting to ask questions, the curiosity that is attached to us and fosters a sense of caring about the things that happen around us.
KUMOHON, TETAPLAH WARAS SEMBARI MENONTON FILM. BUKAN MENONTON FILM
AGAR KALIAN TETAP WARAS.
Oleh: Kemal Putra
Konsep mengisi-waktu-dengan-menonton-film di masa swakarantina semakin
lama semakin janggal bagi saya. Menghabiskan hari-hari di dalam rumah--karena terpaksa, bukan karena dorongan karakter introvert--semakin lama terasa semakin menyesakkan. Sehingga, setiap kali menonton film; menyaksikan tokoh-tokoh ini keluar rumah, berbelanja, menghabiskan waktu di jalanan, makan pizza di restoran, minum-minum di bar, berpesta, dan semua kegiatan luar lainnya membuat saya berpikir, "Ya ampun! Ini adalah masa ketika pandemi Corona belum menginvasi kehidupan kita, dan sekarang kondisinya jauh berbeda". Aktivitas luar orang-orang dalam film semakin hari semakin terasa eskapis buat saya, seperti sesuatu yang "pernah" juga kita alami tetapi tidak lagi. Anehnya, entah sebagai jalur pemasaran baru, bencana, atau berkah, masa swakarantina adalah masa di mana semakin banyak film-film yang dirilis secara video on demand, atau juga lewat Torrent--yang terakhir itu sebenarnya tidak saya sarankan tentu saja, tapi pilihan ada di tangan kalian, hai orang-orang yang bosan terpaksa tinggal di rumah. Apalah yang bisa kita lakukan dalam rumah selain mungkin membaca novel, ngemil, dan menonton film di sela-sela mengisi kekosongan waktu Kerja-dari-Rumah. Dan ketika saya diminta untuk menulis daftar film-film yang sebaiknya ditonton di masa swakarantina, yang saya pikirkan pertama kali adalah, singkirkan semua hasrat kalian untuk menonton film-film karya Tsai Ming-liang atau Andrei Tarkovsky, jangan! atau kalian justru akan merasa semakin terasing setelah menontonnya. Oleh karena itu saya pikir, baiknya menjaga mental kita tetap waras dalam rumah adalah menyaksikan film-film yang tidak mendukung rasa keterasingan diri, saya rasa.
1. Little Women (Sutradara Greta Gerwig, 2019)
Selesai menyaksikan film ini, tak ada yang bisa dirasakan kecuali rasa bahagia dan lega. Saya kali pertama membaca novel karya Louisa May Alcott ini sesaat sebelum masa kuliah berakhir, kini saya tidak mengingat semua detail plotnya, namun membandingkannya dengan film adaptasi garapan Gerwig, mereka adalah dua hal yang jauh berbeda. Versi Gerwig adalah gabungan antara novel Little Women dan Good Wives (sebuah sekuel yang juga digarap oleh Alcott). Gerwig bertutur dengan cara yang tangkas antara kenangan pahit manis masa lalu, dengan kegetiran dan tuntutan menjadi dewasa masa kini yang dijalani oleh 4 orang gadis, March bersaudari, melalui sudut pandang Jo, anak kedua dalam keluarga March.
Jo versi Gerwig juga adalah tokoh yang resah seperti kalian, jiwa-jiwa yang terperangkap dalam rumah. Jo pun demikian. Ia memiliki jiwa yang resah; terperangkap antara rasa sepi untuk disentuh asmara, namun di saat yang sama juga hasrat untuk meraih sesuatu yang bukan asmara itu sendiri; kebebasan, kuasa mencipta, sesuatu yang harusnya nyata namun anehnya tidak teraba. Little Women versi Gerwig adalah juga sebuah karya radikal yang membicarakan posisi perempuan dalam dunia domestik maupun kekaryaan. Pada akhirnya--ok, mungkin ini bisa dianggap spoiler--March bersaudari yang tersisa, semuanya menikah/memiliki pasangan hidup namun dengan cara yang sungguh mengusik. Gerwig mereka-ulang konsep pernikahan sebagai sesuatu melampui happy-ending. Bahwa masih banyak hal yang akan dan mestinya terjadi setelah pernikahan, bahwa hasrat pribadi tidak pernah akan meredah hanya karena seseorang akhirnya menikah. Serupa dengan kita, manusia manusia pekerja yang dulunya resah libur, menghabiskan waktu di rumah. Setelah meraihnya justru terasa memuakkan.
2. Never Rarely Sometimes Always (Sutradara Eliza Hittman, 2020)
Sungguh beruntunglah Hittman, sesaat sebelum Corona betul-betul melumpuhkan dunia, film perdananya ini masih sempat mencecap penayangan dan kemenangan di festival-festival film mancanegara macam Sundance dan Berlin. Never Rarely Sometimes Always sebenarnya adalah jika kalia perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, lalu memutuskan menggugurkan kehamilan tersebut, kalian akan melalui serangkaian prosedur, termasuk tanya jawab untuk memastikan bahwa kalian dalam posisi yang "aman" secara fisik dan mental. Salah satu prosedur tersebut adalah tanya jawab yang berisikan pilihan jawaban Never, Rarely, Sometimes, Always. Saya tidak tahu apakah prosedur ini berlaku di semua negara, namun ini yang tergambarkan berlaku di kota New York, tempat Autumn, si tokoh utama, jauh-jauh dari kota kecil di Pennsylvania datangi, didampingi teman perempuannya, Skylar, guna menggugurkan kandungannya.
Film yang sungguh minim dialog ini--mungkin karena Autumn adalah tokoh yang introvert--mengandalkan gerak tubuh dan ekspresi wajah Autumn menjalani hari-harinya berusaha lepas dari kehamilan yang mengagetkannya dan tidak ia inginkan. Namun begitu, sekalipun minim dialog, kekuatan persahabatan antara Autumn dan Skylar senantiasa terasa hidup. Hittman tidak berusaha meromantisasi persahabatan antar perempuan yang dikukuhkan lewat kegiatan bersenang-senang atau dialog penuh canda tawa, saling menghibur di kala sedih semacam itu, melainkan dengan cara mereka selalu "ada" bagi satu sama lainnya ketika kondisi nampak kacau. Bagi saya, ini salah satu film tersedih tahun ini, karena kebungkaman Autumn dan prosedur tanya-jawab Never, Rarely, Sometimes, Always, memperlihatkan bahwa ada kejadian traumatis yang dialami Autumn--yang kemunginan terjadi dalam rumahnya--sehingga membuat ia sampai hamil dan harus melalui sederet perjuangan berat melintasi kota guna membebaskan tubuhnya menjadi miliknya seutuhnya kembali.
3. Sorry We Missed You (Sutradara Ken Loach, 2019)
Ken Loach adalah sutradara kawakan asal Inggris yang dikenal akrab memperlihatkan usaha bertahan hidup kaum buruh dan kelas sosial bawah lewat film-film yang ia buat. Salah satunya pernah memenangi Palm d'Or
di tahun 2016 dengan judul I, Daniel Blake. Kali ini lewat Sorry We Missed You, Loach mengambil zaman krisis finansial tahun 2008 melalui sudut pandang keluarga Ricky. Si suami bekerja sebagai "self-employed delivery driver" yang tentu saja masih dibawahi sistem supervisi, mungkin jika di Indonesia macam Go-Jek atau Grab gitu. Lalu isterinya bekerja sebagai seorang perawat yang kliennya bukan di rumah sakit namun di rumah. Jadi ilustrasinya seperti ini, isterinya punya beberapa orang klien yang harus ia rawat dengan jam-jam tertentu yang telah ia jadwalkan dari satu rumah ke rumah lain dalam satu hari. Untuk mengakses kliennya tersebut, isterinya mengunjungi mereka menggunakan sebuah mobil, tapi karena Ricky bersikeras menjadi self-employed deivery driver, mobil tersebut terpaksa dijual untuk memodali usahanya. Sehinga kini isterinya harus menggunakan bis yang kerap membuat ia terlambat tiba di rumah klien. Sementara dua orang anaknya masih bersekolah; anak sulungnya gemar bolos sekolah, menggambar grafitti bersama teman-temannya di tembok-tembok bangunan kota yang membuat mereka kerap kali berurusan dengan polisi, sementara anak bungsunya, seorang gadis patuh yang rajin belajar.
Sorry We Missed You adalah kisah yang menguras emosi. Jika kini kalian menontonnya, kalian akan paham bahwa konsep "Work from Home" adalah sebuah konsep yang sangat problematik untuk kelas tertentu. Ia adalah konsep yang sangat privilese. Ada kelas masyarakat di luar sana yang karena kesenjangan ekonomi, harus mencari nafkah guna bertahan hidup tidak bisa jika tidak bekerja di luar rumah dan harus berinteraksi dengan orang lain. Pilihannya adalah kelaparan dengan jadi pengangguran dengan tinggal di dalam rumah, atau sakit--hingga tentu terancam mati--dengan bekerja di luar rumah
4. Beasts Clawing at Straws (Sutradara Kim Yong-hoon, 2020)
Serupa dengan Eliza Hittman, Kim Yong-hoon masih beruntung bisa mempertontonkan karya perdananya lewat festival film internasional, bahkan hingga memenangi penghargaan di festival film Rotterdam awal tahun ini. Kisahnya sendiri sulit saya ceritakan karena menggunakan banyak penokohan sebagai penggerak alur cerita. Namun secara sederhana ini adalah kisah tentang pencarian, penemuan, kehilangan uang dengan jumlah yang sangat besar yang menyeret banyak sekali orang terlibat di dalamnya; mulai dari perempuan korban KDRT, seorang perantau, mafia, pegawai bandara, pelacur, hingga lagi-lagi golongan karyawan kelas bawah yang hidup miskin. Ceritanya mengingatkan kita dengan--bukan Parasite karya Bong Joon-ho--karya-karya Coen Brother atau serial Game of Thrones. Tentang ketamakan vs "ketakberhinggaan". Sebuah kisah pilu nan ngilu, namun di saat yang sama juga jenaka. Ia adalah potret yang secara cemerlang memperlihatkan bahwa kemungkinan mengubah garis hidup atau kelas strata sosial hanya dibatasi secara tipis oleh uang.
Banyaknya penokohan dalam film ini membuat penonton bakal selalu dirundung pertanyaan pada diri sendiri, "apakah saya telah berada di pihak yang tepat?". Setiap kali seorang tokoh muncul dengan motif dan latar belakang tertentu, kita akan dibuat, "Oh, tentu saja ini tokoh yang saya jagokan, dialah yang benar!", kemudian ketika berkait dengan tokoh yang lain atau kejadian tertentu, kita kemudian akan dibuat, "Oh, atau mungkin saya salah menilai". Kadang-kadang jika menonton sebuah film yang penuh intrik dan mendebarkan, saya cuma berusaha rileks, bernapas, sembari berpikir, "Ok, tenang saja, sebuah film tahu cara mengurus diri mereka sendiri pada akhirnya", tapi Beasts Clawing at Straws tidak demikian. Ia akan mengacaukan aturan nafasmu. Sebelum kisahnya benar-benar berakhir, segalanya adalah ketidakpastian belaka.
5. Sauvage (Sutradara Camille Vidal-Naquet, 2018)
Lama setelah aturan physical distancing dan work from home diterapkan akibat pandemi COVID-19, saya dibuat bertanya-tanya, "bagaimana dengan para pekerja seks komersial?". Entah keterbatasan saya dalam menggunakan sosial media--demi menjaga mental saya tetap waras--atau pun menonton tv, tak pernah sekali pun saya menemukan berita tentang di mana mereka diposisikan saat ini. Menyaksikan Sauvage akan mengingatkan kita tentang kelompok pekerja seks saat ini.
Ini adalah kisah Leo, pelacur pria berorientasi gay yang mengumpulkan uang dengan cara beroperasi di jalan-jalan kota berlatar Prancis, mencari laki-laki kesepian berduit yang butuh asupan seks. Dalam Sauvage, Leo, dan begitu pun teman-teman seprofesinya adalah pribadi yang bebas tanpa germo. Mereka hidup, tentu saja dengan ancaman kelaparan, pembunuhan, penyakit, tapi di saat yang sama mereka memiliki kebebasan dalam artian, tidak ada aturan kerja atau sikap hidup. Jenis kebebasan yang mungkin dimiliki hewan dalam rimba. Jika kita googling arti kata Sauvage, ia berarti Wild. Sauvage adalah perayaan sebuah kebebasan yang dibayang-bayangi rasa pilu bagi kelas sosial bawah serupa Leo. Sudut pandang Leo membantu kita merekontruksi cara pandang kita melihat arti uang. Ia, mempertanyakan apakah uang adalah jalan menuju happy-ending, ataukah justru menjadikan kita pribadi-pribadi yang terkekang.
6. Every Day a Good Day (Sutradara Tatsuhsi Omori, 2018)
Every Day a Good Day, huh, tidakkah judul ini benar-benar terkesan lampau? Tapi sungguh Every Day a Good Day adalah film yang akan memberikan penontonnya energi baru, "baiklah saya akan bertahan sehari lagi dalam kekangan swakarantina ini", kira-kira begitu. Sungguh ironis. Berkisah tentang seorang gadis bernama Noriko, yang resah karena kesulitan menemukan pekerjaan mapan setelah lulus kuliah. Bahkan saat-saat di penghujung kuliah ketika teman-temannya sudah banyak yang merencanakan masa depan mereka; bekerja, menikah, bekerja, menikah, Noriko justru kesulitan melakukan hal yang sama. Saya yakin sebagian besar dari kita juga mengalami demikian, Noriko adalah kita, saya rasa. Bukannya Noriko tidak ingin bekerja, bukan pula Noriko tidak ingin menikah. Ia ingin keduanya, namun selalu gagal. Kegagalan ini akhirnya membuat Noriko yang berasal dari keluarga berada untuk mengambil kursus upacara minum teh yang dimentori seorang wanita yang berusia rentah namun hangat. Ok, maksud saya, kerap kali usia rentah selalu dikaitkan dengan sikap dingin atau bahkan mudah marah.
Upacara minum teh, meliputi sesi melipat serbet, memasak teh, menyajikan teh, kapan harus disajikan, bagaimana sikap kaki, bagaimana sikap tangan, bagaimana sikap duduk saat membuat dan menyajikan teh dan banyak lainnya. Percayalah, sungguh merepotkan. Noriko sendiri bahkan terheran-heran dengan kerepotan sesi upacara minum teh yang ia ambil, apalagi kalian para pembuat teh sachet Sari Murni. Tapi entah mengapa justru ini yang membuat film ini terasa hangat dan jenaka. Seperti yang saya sebut di atas, Noriko adalah kita. Kesabaran Noriko menghadapi kursus ini adalah kesabaran kita. Tawa Noriko juga adalah tawa kita. Satu hal paling lucu luar biasa adalah ketika akhirnya Noriko berpikir akhirnya ia sudah mahir menyajikan teh, yeay! Namun ternyata musim berganti, dan cara penyajian teh pun juga harus berganti. Noriko harus mulai dari awal lagi, dengan cara berbeda, mengikuti perubahan musim! Huh!
Ngomong-ngomong perubahan musim, kali pertama saya bertemu Tomomi
Ishiyama, seorang sutradara asal Jepang--kalian bisa googling namanya, saya tidak berbohong--, saya sempat mewawancarainya, dan salah satu pertanyaan saya saat itu adalah, "Tomomi, kenapa nama-nama musim kerap kali digunakan sebagai judul film-film Jepang?". Tomomi terdiam sembari memiringkan kepalanya, berpikir, entah ia kaget ditanyai pertanyaan seperti ini atau karena ia merasa ini adalah pertanyaan yang sungguh konyol. Ia kemudian bersuara, "mungkin karena di Jepang, musim adalah hal yang penting di sana. Setiap musim memiliki makna berbeda dan kerap kali diidentikkan dengan pola kehidupan di Jepang". Dalam Every Day a Good Day, sembari mengikuti kursus upacara minum teh, melewati berbagai banyak musim, banyak peristiwa pribadi yang juga terjadi dalam kehidupan Noriko. Peristiwa pribadi dan repotnya upacara minum teh ini mengubah cara pandang Noriko, membuatnya bertumbuh, mematangkannya sebagai seorang manusia. Ini adalah kisah tentang pemahaman berbanding lurus dengan jumlah waktu yang terlewati. Jadi, jika kalian berpikir Kopi Dalgona adalah minuman favorit kalian saat ini, huh, tentu saja jika pandemi ini berakhir, kopi ini akan mengingatkan kalian betapa memuakkannya masa yang disebut masa swakarantina, saya rasa.
I ASK, STAY SANE WHILE YOU WATCH THE MOVIES. DO NOT WATCH MOVIES IN ORDER TO STAY SANE.
By: Kemal Putra
The concept of filling in time with watching films in self-quarantine is increasingly
odd for me. Spending days at home - because you are forced, not because of the introverted character - the longer it goes, the more it feels oppressive. So, every time you watch a movie; Watching these characters go out, shop, spend time on the streets, eat pizza in restaurants, have a drink in the bar, party, and all other outdoor activities, makes me think, "Oh my God! This is a time when the Corona pandemic hasn't invaded our lives, and now the conditions are far different ". The outside activities of the people in the film are increasingly evident to me, like something that "we" have also experienced but no longer. Strangely, whether as a new marketing channel, disaster, or blessing, the self-Quarantine period is a period in which more films are released by video on demand, or also through Torrent - the latter is actually not I recommend, of course, but the choice is in your hands, you bored people are forced to stay home. What can we do at home besides maybe reading novels, snacking, and watching movies on the sidelines to fill the work-from-home time vacuum? And when I was asked to write a list of films that should be watched in self-quarantine, what I first thought was, put aside all your desires to watch films by Tsai Ming-liang or Andrei Tarkovsky, don't! or you will feel more isolated after watching it. Therefore, I think, it is better to keep our mental sanity in the house by watching films that do not support our sense of alienation, I think.
1. Little Women (Director Greta Gerwig, 2019)
After watching this film, nothing can be felt except a sense of happiness and relief. I first read this novel by Louisa May Alcott shortly before the end of college, now I do not remember all the details of the plot, but comparing it with the film adaptation by Gerwig, they are two very different things. Gerwig's version is a combination of the novel Little Women and Good Wives (a sequel also worked on by Alcott). Gerwig skilfully tells a story blending bittersweet memories of times past, with the bitterness and the demands of being an adult today, as lived by 4 girls, the March sisters, through the perspective of Jo, the second child in the March family.
Jo in Gerwig's version is also a troubled figure like us, souls trapped in the house. Jo, too, has a troubled soul; trapped between loneliness to be touched by romance, but at the same time the desire to achieve something that is not romance itself; freedom, the power of creation, something that should be real but is strangely not palpable. Gerwig's Little Women version is also a radical work that discusses the position of women in the domestic and work world. In the end - ok, maybe this can be considered a spoiler – the remaining March sisters are all but they’re still troubled. Gerwig re-conceived the concept of marriage as something beyond a happy ending. There are still many things that will and should happen after marriage, that personal desires will never fade just because someone finally marries. Similar to us, human workers who are restless when on holiday, or spending time at home. To a certain point, it feels sickening.
2. Never Rarely Sometimes Always (Director Eliza Hittman, 2020)
Luckily for Hittman, just before Corona truly paralysed the world, this premiere film still had the chance to enjoy shows and victories at international film festivals such as Sundance and Berlin. Never Rarely Sometimes Always actually is like if a woman who has an unwanted pregnancy decides to terminate the pregnancy, you will go through a series of procedures, including question and answer to ensure that you are in a "safe" position physically and mentally. One such procedure is a question and answer session, where you can answer either “Never, Rarely, Sometimes, Always”. I do not know whether this procedure applies in all countries, but it is in New York City, where Autumn, the main character, goes far away from a small town in Pennsylvania, accompanied by her female friend, Skylar, to have an abortion.
This film that lacks dialogue - maybe because Autumn is an introverted character - relies on gestures and facial expressions. Autumn goes through her days trying to escape a pregnancy that surprises her and that she doesn't want. However, despite the lack of dialogue, the power of friendship between Autumn and Skylar always feels alive. Hittman does not try to romanticize the friendship between the women, confirmed through fun activities or dialogue full of laughter, entertaining each other in such sad times, but in a way they are always "there" for each other when conditions seem chaotic. For me, this is one of the saddest films of the year, because Autumn's silence and the Never, Rarely, Sometimes, Always question-and-answer procedure show that there was a traumatic event that Autumn experienced - which might have happened in her house - which made her pregnant and have to go through a series of heavy struggles across cities in order to free her body so it fully becomes her possession again.
3. Sorry We Missed You (Director Ken Loach, 2019)
Ken Loach is a veteran British director who is known to show the survival efforts of the workers and lower social classes through the films he makes. One of them won the Palm d'Or in 2016 with the title I, Daniel Blake. This time, through Sorry We Missed You, Loach looks at the era of the 2008 financial crisis through the perspective of Ricky's family. The husband works as a "self-employed delivery driver" which of course is still under the supervision system, maybe in Indonesia the equivalent is Go-Jek or Grab. Then his wife works as a nurse whose clients are not in the hospital but at home. His wife has several clients whom she must take care of within certain hours that she has scheduled from one house to another in one day. To access the client, his wife visits them using a car, but because Ricky insists on being a self-employed delivery driver, the car has to be sold to fund his business. So now his wife must use the bus which often makes her late arriving at the clients’ houses. While her two children are still in school; her eldest son likes to skip school, drawing graffiti with his friends on the walls of city buildings which makes them often have to deal with the police, while her youngest child, is an obedient girl who is studious.
Sorry We Missed You is a story that drains emotions. If you now watch it, you will understand that the concept of "Work from Home" is a very problematic concept for a particular class. It is a very privileged concept. There are classes of people out there who, because of economic inequality, have to earn a living in order to survive if they cannot work outside the home or interact with other people. The choice is to starve by becoming unemployed by staying indoors, or get sick - and of course risk death - by working outside the home
3. Beasts Clawing at Straws (Director Kim Yong-hoon, 2020)
Similar to Eliza Hittman, Kim Yong-hoon was lucky to be able to show his first work through an international film festival, even to win an award at the Rotterdam film festival earlier this year. The story itself is difficult for me to tell because it uses a lot of characters to move along the story line. But this is simply a story about searching, finding, losing huge amounts of money that drags a lot of people into it; starting from women victims of domestic violence, a migrant, mafia, airport employees, prostitutes, to the lower-class employees who live in poverty. The story reminds us of - not Bong Joon-ho's Parasite – but of Coen Brother or the Game of Thrones series. It’s about greed vs. "insatiability". A painful story, but at the same time funny. It is a portrait that brilliantly shows that the possibility of changing life course or classes of social strata is only narrowly limited by money.
The number of characters in this film makes the audience always overwhelmed by the question, "Am I already on the right side?". Every time a character appears with a certain motive and background, we will be made to think, "Oh, of course this is the character that I will champion, he is the right one!" Then when it comes to other characters or events, we will then be made to think, " Oh, or maybe I misjudged ". Sometimes when watching a film that is full of intrigue and thrilling, I just try to relax, breathe, while thinking, "Ok, just calm down, a film knows how to take care of itself in the end", but Beasts Clawing at Straws isn't like that. It will disrupt the rules of your breathing. Before the story really ends, everything is mere uncertainty.
4. Beasts Clawing Straws (Directed by Kim Long-hoon, 2020)
Similar to Eliza Hittman, Kim Yong-hoon was still fortunate to be able to show his first work through an international film festival, even to win an award at the Rotterdam film festival earlier this year. The story itself is difficult for me to tell because it uses a lot of characterizations as movers of the story line. However, this is a story about the search, discovery, refund of large amounts of money that dragged a lot of people involved in it; Starting from women victims of domestic violence, a migrant, mafia, airport employees, prostitutes, and again the lower class employees who live in poverty. The story reminds us of - not the work of Parasite Bong Joon-ho - the works of Coen Brother or the series Game of Thrones. About greed vs. "infinity". A painful story, but at the same time funny. It is a portrait that reverses the renewal of life or social strata that are only approved by money.
Many characterizations in this film make the audience will always be overwhelmed by questions about themselves, "Am I already in the right place?". Every time a character appears with a certain motive and background, we will be made, "Oh, of course this is the character that I champion, he is the right one!" Oh, or maybe I am wrong ". Sometimes when watching a film that is full of intrigue and thrilling, I just ask to relax, challenge, while thinking, "Ok, just calm down, a film that knows how to manage yourself in the end", but Beasts Clawing at Straws isn't. He will disrupt the rules of your breath. Before the story really ends, everything has been agreed to.
5. Sauvage (Director Camille Vidal-Naquet, 2018)
Long after the physical distancing and work from home rules were implemented due to the COVID-19 pandemic, I was made to wonder, "what about commercial sex workers?" Whether I am limited in using social media - to keep me mentally sane - or watching TV, I have never once found news about their situation at present. Watching Sauvage will remind us of the current group of sex workers.
This is the story of Leo, a gay male prostitute who collects money by operating on city streets in France, looking for wealthy lonely men who want sex. In Sauvage, Leo, and his prostitute friends are free, without pimps. They live, of course, with the threat of hunger, murder, illness, but at the same time they have freedom in the sense, there are no work rules or prescribed attitudes to life. The kind of freedom that animals may have in the jungle. If we google the meaning of the word Sauvage, it means Wild. Sauvage is a celebration of freedom which is overshadowed by melancholy for lower social classes like Leo’s. Leo's perspective helps us to reconstruct our perspective to see the meaning of money. He questions whether money is the path to a happy ending, or whether it makes us confined individuals.
6. Every Day a Good Day (Director Tatsuhsi Omori, 2018)
Every Day a Good Day, huh, doesn't this title really seem dated? But really Every Day a Good Day is a film that will give the audience a new energy, "OK I will survive another day in the confinement of this self-quarantine". How ironic. It tells the story of a girl named Noriko, who is restless because of difficulty finding an established job after graduating from college. Even at the end of college when many of her friends are planning their future; work, get married, work, get married, Noriko has trouble doing the same thing. I'm sure most of us have experienced this, Noriko is us, I think. It's not that Noriko doesn't want to work, nor does Noriko want to get married. She wants both, but always fails. This failure finally made Noriko take a tea ceremony course mentored by a woman who was frail but warm. Ok, I mean, often a frail age is always associated with a cold attitude or even irritability.
The tea ceremony includes a napkin folding session, cooking tea, serving tea, when to serve, how to stand, how to sit when making and serving tea and many other protocols. Believe me, it's really troublesome. Noriko herself was even amazed by the inconvenience of the tea ceremony session she took, especially that Sari Murni Tea. But somehow this is precisely what makes this film feel warm and witty. As I mentioned above, Noriko is us. Noriko's patience with this course is our patience. Noriko's laughter is our laughter. One of the funniest things is incredible when finally Noriko thinks that she is finally good at serving tea, yay! But, the seasons change, and the way the tea is served must also change. Noriko has to start all over again, in a different way, following the changing seasons! Humph!
Speaking of season changes, the first time I met Tomomi Ishiyama, a Japanese director - you can google his name, I am not lying -, I interviewed him, and one of my questions at that time was, "Tomomi, why are season names often used as titles for Japanese films? " Tomomi paused while tilting his head, thinking, whether she was surprised to be asked a question like this or because she felt this was a really ridiculous question. He then said, "maybe because in Japan, seasons are important there. Every season has a different meaning and is often identified with patterns of life in Japan". In Every Day a Good Day, while taking a tea ceremony course, through many seasons, many personal events also occur in Noriko's life. This personal event and the hassle of the tea ceremony changed Noriko's perspective, making her grow, maturing her as a human being. This is a story of understanding which is directly proportional to the amount of time passed. So, if you think Dalgona Coffee is your favorite drink right now, huh, of course, if this pandemic ends, this coffee will remind you how sickening the period called self-quarantine is, I think.
OPPORTUNITIES
Seleksi Emerging Writers MIWF Masih Dibuka!
Selection of MIWF Emerging Writers Opens Still!
Tahun 2019 lalu, sebanyak 195 penulis mengirimkan karya-karya terbaik mereka. Sebagai wadah untuk menemukan bintang-bintang sastra masa depan, Rumata' ArtSpace dan MIWF, sangat berharap akan lebih banyak penulis lagi yang mendaftar dan terlibat dalam program-program seni dan budaya yang ada dalam salah satu perhelatan sastra terbesar yang ada di Indonesia.
Last year, as many as 195 writers sent their best works. As a forum for the discovery of the future stars of literature, Rumata’ ArtSpace and MIWF hope even more writers will apply and get involved in the artistic and cultural programs on offer at one of the largest literary events in Indonesia.
Tentang Rumata'
Rumata’ ArtSpace adalah rumah budaya yang resmi berdiri 18 Februari 2011, dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Selain menawarkan fasilitas yang bisa diakses secara luas khususnya bagi seniman dan komunitas di Makassar, Rumata’ dikenal dengan program-program unggulan yang telah menjadi bagian penting pengembangan kebudayaan dan kesenian, antara lain Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Ratusan seniman dan relawan telah terlibat dalam berbagai kegiatan di Rumata’ dan ribuan pengunjung telah mengikuti berbagai kegiatan Rumata’. Perluasan kerjasama, peningkatan kualitas kegiatan dan upaya melebarkan jangkauan audiens adalah tiga hal mendasar yang akan terus dikerjakan Rumata’ Artspace.
About Rumata'
Rumata’ ArtSpace is a cultural institution officially established on the 18thof February 2011. It operates independently and receives most of its funding from public donations. Apart from offering facilities that can be widely accessed, especially by artists and the Makassar community, Rumata’ is famous for its featured programs which have become an important part of cultural and artistic development, for example the Makassar International Writers Festival (MIWF) and SEAScreen Academy. Hundreds of artists and volunteers have participated in various activities at Rumata’ and thousands of visitors have also got involved. The three objectives that Rumata’ ArtSpace will continue to strive for are extending its collaborations, increasing the quality of its activities and growing its audience.
Informasi
Jika ada saran, masukan dan informasi yang perlu kami ketahui, Anda dapat mengunjungi Rumata' ArtSpace dan menghubungi email serta nomor telefon yang tertera:
Jl. Bontonompo No.12A, Gn. Sari, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Indonesia
Information
If you have suggestions, feedback or information that we should be aware of, you can visit Rumata’ ArtSpace and contact us via email or the telephone number listed here:
+62 813-8801-5211
April Newsletter Contributors:
- Pamula Mita Andary
- Shinta Febriany
- Kemal Putra
- Rachmat Hidayat Mustamin
References:
- Koalisi Seni
- Wirasandi Ruslan's Documentations
- Gertjan Zuilhof's Documentations
- Riri Riza's Documentations
- Kompas, Mediana.
Translator:
- Edan Runge
- Wawan Kurniawan
