Salam dari Rumata'!

Semoga Anda sehat selalu di manapun berada. Bulan september ini, kami kembali menginformasikan beberapa update kegiatan dari Rumata’ - MIWF dan SEAscreen Academy. Voice to Marege, program yang didanai oleh Australia - Indonesia Institute ini memproduksi film animasi kolaborasi dengan Makkomikki Lab. Skinnyfish di Australia bekerjasama dengan MIWF merilis ulang lagu Bayini yang dinyanyikan Gurrumul dan turut diisi suara oleh seniman Makassar, yakni Dian dari ToD. Ada juga update mengenai Silence Program yang diikuti oleh dua seniman residensi, Fitrah Ramadhan (penyair dan penari hiphop dari Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan) dan Safyan Iqbal (pembuat film dan podcaster dari Wales) yang memasuki tahap akhir. Penulis Dewi Lestari bekerja sama dengan Penerbit Bentang dan BRI mendonasikan sebagian dari hasil penjualan buku terbarunya Rapijali 1 untuk membantu penulis-penulis Indonesia. Rumata’-MIWF berperan sebagai pengelola dan distributor dana ini.
 
Kami juga memberikan catatan tambahan mengenai SINERIA dan beberapa diskusi publik yang telah berlangsung selama beberapa pekan ini, serta surat kiriman dari Rita Kusuma Dewi dari Hamburg, Jerman, untuk Widji Thukul. Untuk menutup newsletter bulan ini, kami informasikan kegiatan Makassar Biennale yang berlangsung secara daring dan luring di enam titik di Indonesia.
 
Kami sangat senang bila Anda bersedia menjadi kontributor untuk mengirimkan tulisan, ulasan, atau bahkan kritik mengenai seni dan budaya Indonesia, terutama Indonesia Timur. Kami percaya bahwa keberagaman perspektif itu adalah salah satu kemewahan yang dapat kita lahirkan terus menerus.
 
Salam, dan selamat membaca!
 
Salam,
Rachmat Mustamin
Direktur Program dan Kemitraan Rumata’ ArtSpace
__

Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:
Koordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Penulis Bulan September 2021: Tim Rumata', Agus Citra Sasmita, Andi Nurul Sri Utami, William Pakan, Ifdhal Ibnu, Rita Kusuma Dewi

Penerjemah: Edan Runge

Greetings from Rumata'! 

I hope you are staying healthy wherever you are. This September, we again inform you of several updates concerning activities at Rumata', MIWF and SEAscreen Academy. Voice to Marege, a program funded by the Australia - Indonesia Institute, is producing animated films in collaboration with Makkomikki Lab. Skinnyfish in Australia in collaboration with MIWF re-released the song Babyni, sung by Gurrumul and also by a Makassar artist, Dian from ToD. There’s also an update on the Silence Program which was attended by two artists in residence, Fitrah Ramadhan (a hip-hop poet and dancer from Sungguminasa, Gowa, South Sulawesi) and Safyan Iqbal (a filmmaker and podcaster from Wales) who entered the final stages. Author Dewi Lestari, in collaboration with Bentang Publishers and BRI, donated a portion of the proceeds from the sale of her latest book, Rapijali 1, to help Indonesian writers. Rumata'-MIWF acts as the manager and distributor of this fund.
 
We also provide additional notes on SINERIA and some of the public discussions that have taken place over the past few weeks, as well as a letter from Rita Kusuma Dewi from Hamburg, Germany, to Widji Thukul. To close this month's newsletter, we would like to inform you that the Makassar Biennale will take place online and offline at six locations in Indonesia.
 
We’d be very happy if you are willing to be a contributor to submit writing, reviews, or even criticisms about Indonesian arts and culture, especially Eastern Indonesia. We believe that the diversity of perspectives is one comfort that we can offer over and over again.
 
Greetings and happy reading!
 
Regards,
Rachmat Mustamin
Rumata' ArtSpace’s Director of Programs and Partnerships

__

Rumata' ArtSpace Newsletter Team:
Coordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Author Contributors September 2021: Rumata's team, Agus Citra Sasmita, Andi Nurul Sri Utami, William Pakan, Ifdhal Ibnu, Rita Kusuma Dewi

Translator: Edan Runge

Makassar - Marege: Suara dari Makassar

Makassar - Marege: Voices from Makassar

Proyek yang didanai oleh Australia – Indonesia Institute ini bertujuan untuk menceritakan kembali sejarah perdagangan trepang yang dilakukan orang-orang Makassar di Australia Utara, pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20, yang melibatkan masyarakat Aborijin. Kegiatan ini dipimpin oleh Lily Yulianti Farid sebagai peneliti utama yang terdiri dari anggota tim peneliti dan tim kreatif. Proyek ini akan memproduksi laporan penelitian akademik / publikasi ilmiah serta film animasi yang dikerjakan oleh tim Makkomikki Lab.
 
Untuk film animasi beberapa tahapan yang telah dilakukan yaitu: Pertemuan dan brainstorming, workshop riset sejarah – Marege, film animasi yang kini berkompetisi dalam festival ReelOz, workshop reflektif dari masing-masing tim menemukan dan mengenali tantangan, dan pengetahuan tentang project yang sedang dilaksanakan, pengembangan ide cerita dan plot. Sementara proyek ini dikerjakan, secara paralel juga dilakukan pengembangan karakter dalam cerita.

This project, funded by the Australia – Indonesia Institute, aims to retell the history of the Makassan trepang trade in Northern Australia, in the 18th to early 20th centuries, involving Aboriginal people. This activity is led by Dr Lily Yulianti Farid as its main researcher who will form both a research team and a creative team. The outcomes of this project will be academic research reports/scientific publications and animated films made by the Makkomikki Lab team.
 
For the animated film process, several stages have been carried out, namely: Meetings, Historical Research workshops, an initial draft animated film entered in the ReelOz competition, Reflective Workshops with each team to identify challenges, understand projects being implemented, develop story and plot ideas and, in parallel, develop the characters in the video animation.
 

A Yolngu / Macassan Version of The Song Bayini

MIWF bekerja sama dengan Skinnyfish di Australia untuk merilis ulang lagu berjudul Bayini yang dinyanyikan oleh Gurrumul. Sebelumnya Skinnyfish telah mereproduksi lagu ini dengan memasukkan/menambahkan duet Sarah Blasko (berbahasa Inggris). Project ini rencananya akan mereplace Sarah Blasko dengan Seniman Makassar untuk menyanyikan dalam syair bahasa Makassar. Telah disetujui untuk memilih pengisi suara/seniman Makassar yaitu Dian dari ToD. Mark selaku produser dan Kak Lily selaku co Producer. Tim Makassar akan terlibat membuat syair dalam bahasa Makassar. Akan ada behind the scene yang mendokumentasikan proses kreatif ini dikerjakan oleh Yoga. Take rekaman akan dilaksanakan di salah satu studio di Makassar.

MIWF teamed up with Skinnyfish in Australia to re-release a song called Bayini by Gurrumul. Previously Skinnyfish had reproduced this song by teaming up with Sarah Blasko for a duet in English. This new project will replace Sarah Blasko’s part with the voice of Makassar Artists who will sing Makassar language poetry. It has been agreed that a Makassar artist, Dian from ToD. Mark will be the producer and Dr Lily will be the co-producer. The Makassar team will be involved in making poetry in the Makassar language. There will be behind the scenes documenting this creative process done by team member, Yoga. The recording will be done in a studio in Makassar.

Silence Program - Connections Through Culture

Program SILENCE - Connections Through Culture

Fitrah Ramadhan (penyair dan penari hiphop dari Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan) dan Safyan Iqbal (pembuat film dan podcaster dari Wales) telah menyelesaikan program residensi dan teman tuli Makassar telah membuat jurnal kisah mereka sendiri dan kisah komunitas teman tuli di Makassar dan Wales.
 
Selama Maret hingga awal Juni 2021, kedua seniman ini didampingi oleh para mentor untuk mengembangkan keterampilan storytelling mereka melalui konsultasi dan asistensi berkala secara virtual. Para mentor Lily Yulianti Farid (direktur MIWF) dan Erni Aladjai (penulis) dari Indonesia serta Niall Griffiths (penulis dan pembuat film) dari Wales, Britania Raya.
 
Kedua tim dari Indonesia dan Britania Raya ini bekerja secara paralel menghasilkan dua karya yang berbeda. Fitrah sendiri ditemani dengan dua orang tim ilustrasi Astari Etti Nurcahyani dari Lampung dan Isya Nur Fatnaya dari Boyolali. Kedua illustrator ini membuat gambar-gambar visual ilustrasi dari cerita-cerita Fitrah dan didokumentasikan dalam bentuk jurnal.
 
Sementara itu di Britania Raya, Safyan dan Niall bekerja bersama dengan mitra MIWF, yakni LAF (Literature Across Frontiers), organisasi literasi dan seni kolaboratif yang berbasis di Wales. 18 September akan dilaksanakan diskusi untuk mempertemukan komunitas teman tuli di Makassar dan Wales. Saling berbagi cerita, pengalaman, perbedaan-perbedaan, tantangan dan kesamaan yang dihadapi di kedua negara. Dan harapannya juga bisa saling berjejaring untuk berkarya. Selain itu mengundang narasumber komunitas teman difabel yaitu PerDIK Makassar yaitu Ishaq Salim untuk berbagi pengalaman bekerja dengan teman difabel. Saat ini tim juga telah mempersiapkan project closure.

Fitrah Ramadhan (poet and hip-hop dancer from Sungguminasa, Gowa, South Sulawesi) and Safyan Iqbal (filmmaker and podcaster from Wales) have completed a residency program and Makassar's deaf friends have journaled their own stories and the stories of communities of deaf friends in Makassar and Wales.
 
From March to early June 2021, these two artists were accompanied by mentors to develop their storytelling skills through regular virtual consultations and assistance. The mentors included Lily Yulianti Farid (Director of MIWF) and Erni Aladjai (writer) from Indonesia and Niall Griffiths (writer and filmmaker) from Wales, United Kingdom.
 
The two teams from Indonesia and the United Kingdom worked in parallel to produce two different works. Fitrah was accompanied by two illustration teams, Astari Etti Nurcahyani from Lampung and Isya Nur Fatnaya from Boyolali. These two illustrators made visual illustrations of the stories of Fitrah and documented them in a journal.
 
Meanwhile in the UK, Safyan and Niall are working together with MIWF partner LAF (Literature Across Frontiers), a collaborative arts and literacy organization based in Wales. On September 18, there will be a discussion to bring together the deaf community in Makassar and Wales, sharing stories, experiences, differences, challenges and similarities faced in the two countries. The hope is that they can network with each other to work together. In addition, they invited the resource person, Ishaq Salim, for the community of friends with disabilities, PerDIK Makassar, to share his experience of working with the organisation. Currently, the team has been preparing a closure for the project.

Kelas Pranata Sosial Masyarakat Jepang

Japanese Social Order Class

Beberapa konten video dari Program Reading the People of Asia menjadi materi untuk mata kuliah Pranata Sosial yang secara garis besar memahami tema-tema utama termasuk perubahan-perubahan pada kehidupan sosial masyarakat Jepang masa kini. Perubahaan ini meliputi transformasi dari aspek agama; sejarah; struktur keluarga; ekonomi dan fenomena-fenomena penting yang terjadi di Jepang modern serta kontemporer. Beberapa konten dan materi dari MIWF yaitu: (1) Memahami Masyarakat Jepang melalui Karya Sastra dan Sastra Populer; (2) Mengenal Masyarakat Jepang dari Sudut Pandang Perempuan; (3) Memahami Bagaimana  Masyarakat Jepang Membayangkan Akhir Dunia dari Sudut Pandang Sastra Populer; (4) Workshop Kepenulisan; (5) Kuliah Tamu bersama Lily Yulianti Farid dan Penerbit Haru

Several videos from the Reading the People of Asia Program have become material for the Social Protocol course which has a main theme of changes in Japanese social life today. These changes include the transformations of religion; history; family structure; economics and important phenomena that occur in modern and contemporary Japan. Some content and material available from MIWF are: (1) Understanding Japanese Society through Literature and Popular Literature; (2) Knowing Japanese Society from Women's Perspective; (3) Understanding How Japanese Society Envisioned the End of the World from the Perspective of Popular Literature; (4) Writing Workshops; (5) A Guest Lecture with Dr Lily Yulianti Farid and Haru Publishing House.

Donasi Penjualan Buku Rapijali

Rapijali Book Sales Donation

Penulis Dewi Lestari bekerja sama dengan Penerbit Bentang dan BRI mendonasikan sebagian dari hasil penjualan buku terbarunya Rapijali 1 untuk membantu penulis-penulis Indonesia Timur terdampak pandemi. Pengelolaan dana bantuan ini dipercayakan ke MIWF/Rumata’ dengan besar donasi 30 juta - Penyerahan akan berlangsung tgl 10 September
 
Donasi ini akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan Boothcamp Emerging Writers yang akan dilaksanakan di Bulan Oktober
 
Booth camp emerging writers sebuah program residensi, untuk memberikan penguatan kapasitas kepada emerging writers. Coach: Erni Aladjai, Ivan Lanin dan 1 kali diskusi bersama Leila S Chudori. Tanggal 2 September direncanakan bincang dan serah terima virtual bersama Dee dan pihak BRI melalui acara Tea Time, live di IG Story

Writer, Dewi Dee Lestari, in collaboration with Bentang Publishers and BRI, donated a portion of the proceeds from the sale of her latest book Rapijali 1 to help Eastern Indonesian writers affected by the pandemic. The management of this aid fund has been entrusted to MIWF/Rumata' with a large donation of 30 million - The donation took place on September 10.
 
This donation will be used to carry out the Emerging Writers ‘Boothcamp’ activity which will be held in October
 
The emerging writers ‘boothcamp’ is a residency program, to provide capacity building for emerging writers. Coaches: Erni Aladjai, Ivan Lanin and 1 discussion with Leila S Chudori. On September 2, a virtual discussion and handover ceremony is planned with Dee and BRI through the Tea Time event, live on Instagram Story.

Catatan SINERIA 2021

SINERIA Notes 2021

Film dan pengalaman sinema terbentang dari kesenangan menonton film. Para pembuat film yang berasal dari komunitas tumbuh bersama kecintaannya terhadap film. Bagi kawan-kawan komunitas film, memproduksi film ialah menciptakan narasi-narasi alternatif tentang apa yang sesungguhnya mereka rasakan selama ini, tentu dengan segala keterbatasannya.
 
Percakapan pertama, berlangsung dengan IAM Murda dari Indonesia Art Movement, “Kami memang punya banyak keterbatasan, selain SDM, misalnya artspace itu belum ada. Bioskop ada, Cuma ruang-ruang alternatif kami sedang  mengupayakan dari Indonesia Art Movement”. Ia juga menjadikan film sebagai cara untuk bercerita kepada lingkungan sekitarnya,
 
“Kalau di pelosok (Jayapura), kita cerita di Jakarta macet, mereka tidak faham. Melalui film, kita bisa menunjukkan bahwa macet itu seperti apa." Harapannya ialah "Film di Papua bisa memanusiakan manusia lagi".

Experiencing movies and the cinema has now extended beyond the pleasure of watching movies. The filmmakers within the community grew up with a love for film. For friends of the film community, producing a film requires creating alternative narratives about what they have experienced so far, with, of course, all the limitations of conveying this experience.
 
The festival’s first conversation took place with Murda from the Indonesia Art Movement (IAM), “We do have many limitations. Apart from a lack of human resources, for example, there is not enough artistic space yet. There are cinemas, which are just one alternative space we are working on from the Indonesia Art Movement.” He also makes films as a way to tell stories to his surrounding environment,
 
"In remote areas (Jayapura), if we talk about traffic jams in Jakarta, they don't understand. Through films, we can show what traffic jams are like." The hope is "Films in Papua can make humans humans again".

Istilah “isoman” atau isolasi mandiri telah menjadi bagian hidup kita sehari-hari seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19. Bagi penderita tanpa gejala atau dengan gejala ringan, isoman menjadi pilihan. Angka positif di luar Jawa sepekan ini membuat lonjakan beban di Rumah Sakit meningkat pesat,   baik di pusat-pusat isolasi yang disediakan pemerintah maupun non-pemerintah maupun di rumah masing-masing.
 
Di pusat isolasi mandiri,  tersedia fasilitas konsultasi dokter sehingga para pasien terpantau dengan baik, namun apa yang terjadi terhadap mereka yang melakukan isoman di rumah? Apa yang bisa dilakukan saat melewati 10-14 masa karantina?
 
Diskusi bersama Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Makassar Peduli Covid-19, membahas berbagai aspek isolasi mandiri dengan narasumber:
 
1. DR. Dr. Yose Waluyo, Sp. KFR (K) (Kaprodi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK Unhas)
2. Dr. Andi Faradilah M.Kes SpGK (Dosen UIN Alauddin Makassar dan klinisi Gizi Klinik)
3. Istiana Tajuddin, M.Psi. Psikolog (Dosen Prodi Psikologi FK Unhas)
 
Moderator :
Marlisa Soepono (Diplomat/Pemerhati Kebijakan Publik)

The term "isoman" or self-isolation has become a part of our daily lives along with the increasing number of Covid-19 cases. For patients without symptoms or with mild symptoms, isoman is an option. Positive case numbers outside Java recently have made the burden on hospitals increase rapidly, both in isolation centers provided by the government and non-government organisations, as well as in their respective homes.
 
In the self-isolation center, doctor consultation facilities are available so that patients are well monitored, but what happens to those who do isoman at home? What can be done during the 10-14 day quarantine period?
 
This discussion with The Alliance of the Makassar Student and Community for Covid-19 Care, discusses various aspects of self-isolation with guests:
 
1. DR. Dr. Yose Waluyo, Sp. KFR (K) (Head of Physical Medicine and the Rehabilitation Study Program, FK Unhas)
2. Dr. Andi Faradilah M.Kes SpGK (Lecturer at UIN Alauddin Makassar and clinical nutrition clinician)
3. Istiana Tajuddin, M.Psi. Psychologist (Lecturer of the Psychology Study Program, FK Unhas)
 
Moderators :
Marlisa Soepono (Diplomat/Public Policy Observer)
 

Bagi para penyintas Covid-19, Isoman atau Isolasi mandiri adalah istilah yang menjadi bagian dalam melewati krisis terinfeksi Covid-19.  Isolasi mandiri, baik itu di rumah maupun di pusat-pusat isolasi mandiri yang disediakan pemerintah atau non-pemerintah telah menjadi pengalaman hidup yang tak terlupakan.
 
Minggu ini kami mempertemukan para penyintas Covid-19 untuk berbagi pengalaman isolasi mandiri mereka dengan kondisi personal dan karakteristik masing-masing.
 
Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Makassar Peduli Covid-19 mengajak Anda menyimak dan berbagi cerita tentang isolasi mandiri dengan narasumber:
 
1. Rany Toro (Penyintas Covid-19, Makassar dan Jakarta)
2. Mega Hardiyanti (Penyintas Covid-19, Makassar)
3. Ria Lestari Baso(Penyintas Covid-19, Makassar
4. Hasrina Muliawan (Penyintas Covid-19, Jakarta)
5. Andi Ahmar (Penyintas Covid-19, Makassar)
 
Moderator :
Firah Rahman (Moderator, Penyintas Covid-19

For Covid-19 survivors, Isoman or self-isolation is a term that is part of getting through the crisis of being infected with Covid-19. Self-isolation, be it at home or in self-isolation centers provided by the government or non-government organisations, has become an unforgettable life experience.
 
This discussion brings together Covid-19 survivors to share their experiences of self-isolation with their personal conditions and challenges.
 
The Alliance of Makassar Student and Community for Covid-19 Care invites you to listen and share stories about self-isolation with guests:
 
1. Rany Toro (Covid-19 Survivor, Makassar and Jakarta)
2. Mega Hardiyanti (Covid-19 Survivor, Makassar)
3. Ria Lestari Baso(Covid-19 Survivor, Makassar
4. Hasrina Muliawan (Covid-19 Survivor, Jakarta)
5. Andi Ahmar (Covid-19 Survivor, Makassar)
 
Moderators :
Firah Rahman (Moderator, Covid-19 Survivor)

Peranan pemerintah dan masyarakat sangat signifikan dalan penanganan Covid-19 di berbagai daerah. Namun sayangnya fokus penanganan Covid-19 tidak menyasar kelompok orang-orang terpinggirkan secara formal administratif kependudukan maupun kondisi dan status. Untuk itu, Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Makassar Peduli Covid-19 menyelenggarakan Diskusi Publik #7 dengan tema: Kelompok Masyarakat Rentan dalam Skema Penanganan Covid-19 Narasumber :

1. DR. Ishak Salim (Ketua PerDIK - Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan)
2. Lusia Palulungan, SH., M.Hum. (Aktivis Perempuan dan Pembina Dewi Keadilan Sulsel)
3. dr. Tenriagi Malawat, Sp.B-KBD. (Dokter Spesialis Bedah Konsultan Bedah Digestif di RSUP dr. Tadjuddin Chalid dan RS Hermina, Makassar)
4. Ni Nyoman Anna M (Orang tua Anak Autistik) Moderator: Nur Utaminingsih, S.IP., M.Si. (Dosen dan Peneliti UIN Alauddin Makassar)

The role of the government and the community is very significant in handling Covid-19 in various regions. But unfortunately the focus of handling Covid-19 does not target groups of people who are formally marginalized in population administration as well as conditions and status. For this reason, the Makassar Student and Community Alliance Cares for Covid-19 held a Public Discussion #7 with the theme: Vulnerable Community Groups in the Covid-19 Handling Scheme.

1. DR. Ishak Salim (Chairman of PerDIK - Indonesian Difabel Movement for Equality)
2. Lusia Palulungan, SH., M. Hum. (Women Activist and Trustee of the South Sulawesi Goddess of Justice)
3. dr. Tenriagi Malawat, Sp.B-KBD. (Consultant Digestive Surgeon at Dr. Tadjuddin Chalid Hospital and Hermina Hospital, Makassar)
4. Ni Nyoman Anna M (Parent of Autistic Children) Moderator: Nur Utaminingsih, S.IP., M.Si. (Lecturer and Researcher of UIN Alauddin Makassar)

Surat untuk Widji Thukul

A Letter to Widji Thukul

Widji ...
 
Jasamu begitu besar! Kata-katamu tidak akan pernah sirna. Jiwamu akan selalu hidup dan tak akan pernah mati. Akan hidup bersama orang-orang yang menginginkan perubahan positif untuk Indonesia.

Dua minggu yang lalu teman-temanku dan aku mempunyai kesempatan membacakan puisimu di depan umum. Malam itu kami menonton film ("Istirahatlah Kata-Kata'') tentangmu, tentang perjalananmu. Filmnya memang tenang dan tidak menggambarkan kebrutalan. Tetapi kata-kata yang kau rangkai dalam puisimu berhasil menggerakan hati ini dan seketika meneteskan air mata.

Ketika film hampir selesai aku paksakan untuk tidak pergi ke kamar mandi biarpun mukaku berlumuran air mata. Maskara yg menempel di bulu mata membuatku tidak berani untuk mengusap air mata. Karena aku dan teman-temanku setelah film selesai akan membacakan puisi-puisimu di depan banyak orang. Mungkin nanti jika dihapus wajahku terlihat seperti hantu dengan bola mata hitam menyala, pikirku. Aku memang terkadang konyol.

Widji …
 
You have made a huge impact! Your words will never ever be forgotten. Your spirit will live on in the lives of many Indonesians that want change.
 
Two weeks ago, on that night, my friends and I had the opportunity to read out your poems and watch your movie, ‘’Istirahatlah Kata-Kata’’ (Solo, Solitude) based on you and your sojourn where it indeed did not depict any violence.  Nevertheless, the words you expressed in your poems moved me to tears.
 
When the movie was nearly finished, although, tears were running down my face, I refused to go to the bathroom because immediately my friends and I were about to read out your poems to many people after the movie ended. That’s why I didn’t want to wipe the mascara on my eyelashes. I would probably look like a black-eyed ghost if I wipe my eyes. I’m indeed foolish at times.

Makassar Biennale 2021 - Maritim: Sekapur Sirih

Makassar Biennale Makassar Biennale 2021- Martim: Sekapur Sirih masih berlangsung hingga tanggal 31 Agustus di 6 kota Indonesia Timur, yakni Makassar, Pangkep, Pare-Pare, Bulukumba, Labuan Bajo, dan Nabire. Makassar Biennale  2021 diisi dengan berbagai kegiatan yang berlangsung secara daring dan luring, mulai dari pameran, lokakarya, simposium, edukasi publik, panggung pertunjukan, residensi seniman, magang, dan beragam aktivitas seni dan dialog yang menekankan pembelajaran bersama komunitas/warga dan para pelaku seni. Seluruh kegiatan tersebut digelar sesuai dengan protokol kesehatan selama pandemi.

The Makassar Biennale 2021- Martim: Sekapur Sirih ran until August 31 in 6 cities in Eastern Indonesia, namely Makassar, Pangkep, Pare-Pare, Bulukumba, Labuan Bajo, and Nabire.
The Makassar Biennale 2021 was filled with various activities that took place online and offline, ranging from exhibitions, workshops, symposia, public education, stage performances, artist residencies, internships, and various art activities and dialogues that emphasize learning with the community,citizens and artists. All of these activities were carried out in accordance with health protocols during the pandemic.