Salam dari Rumata'!

Penyebaran Covid-19 semakin meruak hampir di seluruh titik di Indonesia. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi tindakan yang diambil oleh pemerintah. Melalui newsletter ini, kami mengumumkan bahwa Rumata’ ditutup sementara sebagai salah satu upaya konkrit untuk membatasi penyebaran covid. Meski begitu, kegiatan-kegiatan berbasis online tetap dilaksanakan, seperti SEA-Talks yang akan berlangsung bulan Juli ini. Kami juga mendapatkan kiriman artikel dari Irwan Syamsir mengenai perempuan Mandar.
 
Sebagai pernyataan atas dukungan kami kepada pertumbuhan geliat literasi di kawasan Indonesia Timur, kami sangat merekomendasikan untuk ikut berpartisipasi di “Flores Writers Festival 2021: Ludung Wa Mai Tanan” yang akan berlangsung pada bulan Agustus mendatang. Untuk penyegaran ingatan, ada pula foto dokumentasi Ruang Rupa di Rumata’ ArtSpace. Saat ini, Ruang Rupa sedang menyiapkan documenta di Kassel, Jerman.
 
Salam,
Rachmat Mustamin
Direktur Program dan Kerjasama Rumata' ArtSpace.
__

Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:
Koordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Penulis Bulan Julii 2021: Tim Rumata', Agus Citra Sasmita, Andi Nurul Sri Utami, William Pakan, Irwan Syamsir, Maria Pankratia, Flores Writers Festival

Penerjemah: Edan Runge

Greetings from Rumata'! 

Covid-19 is increasingly spreading in almost all corners of Indonesia. The government has implemented Community Activity Restrictions (PPKM). Through this newsletter, we announce that Rumata’ will be temporarily closed as a measure to limit the spread of covid. Even so, online-based activities are still being organised, such as SEA-Talks which will take place this July. We also received an article from Irwan Syamsir regarding Mandar women.
 
As a statement of our support for the vibrant growth of literacy in the Eastern Indonesia region, we highly recommend participating in the “Flores Writers Festival 2021: Ludung Wa Mai Tanan” which will take place in August. To refresh our memories, this edition also features Ruang Rupa's photographic documentation at Rumata’ ArtSpace. Currently, Ruang Rupa is preparing a documentary in Kassel, Germany.
 
Regards,
Rachmat Hidayat Mustamin
Director of Program and Partnership at Rumata' ArtSpace

__

Rumata' ArtSpace Newsletter Team:
Coordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Author Contributors July 2021: Rumata's team, Agus Citra Sasmita, Andi Nurul Sri Utami, William Pakan, Irwan Syamsir, Maria Pankratia, Flores Writers Festival

Translator: Edan Runge

Selama masa PPKM Darurat di Makassar, kami menutup sementara semua ruang dan fasilitas kegiatan di Rumata' Artspace sebagai upaya menghindari segala risiko dari potensi penyebaran virus Covid-19 sampai keadaan benar-benar kondusif. Mari teman-teman saling mendukung untuk tetap berada di rumah.

During the Emergency Restriction (PPKM) period in Makassar, we have temporarily closed all facilities at Rumata' Artspace as an effort to avoid all risks from the potential spread of the Covid-19 virus until the situation is more conducive to holding our usual activities. Friends, let's support each other as we stay at home.

Inisiatif-inisiatif pewacanaan film dari berbagai wilayah di Indonesia mulai bermunculan di masa pandemi. Mulai dari Jakarta hingga Kupang, Makassar hingga Aceh maupun Jayapura hingga Belitung. Kegiatan-kegiatan diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh berbagai lembaga & komunitas film akar rumput secara independen. Program SINERIA merupakan inisiatif dari Rumata’ ArtSpace-SEAscreen Academy yang akan membahas mengenai isu-isu terkini dari berbagai kawasan Timur dalam konteks film Indonesia secara luas. Pembahasannya akan mencakup perumusan wacana kritis berbasis kontekstual serta lebih jauh melihat kondisi film di masa depan. Diskusi ini hendak membentangkan isu-isu terkini berbasis kontekstual mengenai film, khususnya dari kawasan Timur Indonesia. Selain itu, diskusi ini juga hendak meningkatkan pemahaman para pelaku/praktisi film di Indonesia tentang daya dan giat untuk terus bertahan di industri film.

Film discussion initiatives from various regions in Indonesia have begun to emerge during the pandemic. From Jakarta to Kupang, Makassar to Aceh and Jayapura to Belitung. Activities are organized by the government as well as by various grassroots film organizations & communities independently. The SINERIA program is an initiative of Rumata' ArtSpace-SEAscreen Academy which will discuss current issues from various Eastern regions in the context of Indonesian films in general. The discussion will include the formulation of contextual-based critical discourse and further look at the relative to filmmaking in the future. This discussion aims to present the latest contextual-based issues regarding films, especially from the eastern region of Indonesia. In addition, this discussion also aims to increase the understanding of film actors and filmmakers in Indonesia about their power and enthusiasm to continue to survive in the film industry.

Program Pengendalian Covid-19 Dalam Sudut Pandang Kebijakan dan Komunikasi Publik

Control Program Covid-19 In the Perspective of Public Policy and Communications

Aliansi Mahasiswa dan Makassar Peduli Covid-19 mengundang Anda dalam diskusi publik:

Program Pengendalian Covid-19 Dalam Sudut Pandang Kebijakan dan Komunikasi Publik

Diskusi ini akan membahas kebijakan dan komunikasi publik di tengah pandemi, merespon polemik seputar pelaksanaan Program Makassar Recover 

Diskusi ini menghadirkan nara sumber:

-Prof. Sangkala Rewa (Pakar Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin)
-Biondi Sanda Sima (Former Head of Jabar Digital Services/ Digital Goverment Consultant at the World Bank)
- M. Haedir (LBH Makassar)
- dr. Viviyanti ZN, Mkes, SpPK (Ketua Komite PPI/RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar)

Moderator
Marlisa Soepeno (Diplomat/Pemerhati kebijakan Publik)

Diskusi diadakan pada:

Kamis, 15 Juli 2021 | 19.00-20.00 WITA

The Student Alliance and Makassar Cares for Covid-19 invites you to a public discussion:

Covid-19 Control Program From the Point of View of Policy and Public Communication

This discussion will discuss policies and public communication in the midst of a pandemic, responding to polemics surrounding the implementation of the Makassar Recover Program

This discussion presents the following resource persons:

-Prof. Sangkala Rewa (Public Policy Expert at Hasanuddin University)
-Biondi Sanda Sima (Former Head of Jabar Digital Services/ Digital Government Consultant at the World Bank)
- M. Haedir (LBH Makassar)
- dr. Viviyanti ZN, Mkes, SpPK (Chairman of the PPI Committee/RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar)

Moderator
Marlisa Soepeno (Diplomat/Public Policy Observer)

Discussions were held on:

Thursday, 15 July 2021 | 19.00-20.00 WITA

Makassar International Writers Festival: Anthropause

Merekam Keringat Perempuan Mandar

Recording The Sweat of Mandar Women

Oleh: Irwan Syamsir

Beberapa bulan sebelumnya, saya sudah dikabari salah seorang kawan mahasiswa jurasan film dari Makassar yang akan melakukan syuting film dokumenter di Mandar, sebagai pemenuhan tugas akhir. Kami pun bertemu di pasar Tinambung, di hari-hari pertengahan ramadan dan membicarakan project film tersebut yang ternyata tentang Towaine Mandar. Towaine, dalam bahasa Mandar berarti perempuan. Pemaknaan perempuan tentu saja masih umum atau universal. Namun, alam, lingkungan dan kebudayaan di mana perempuan berada, amat menentukan bagaimana mereka hidup dan beraktivitas sepanjang hari. Jadi, bukan hanya soal perempuan, tetapi sekaligus tentang Mandar itu sendiri.

Sudah ada beberapa tempat yang hendak kami tuju. Salah satunya adalah sungai Mandar. Sebuah sungai besar yang membentang di kota kecil bernama Tinambung, yang hulunya berbatasan langsung dengan Mamasa. Di bawah sungai inilah, kami bertemu para perempuan passau’ uwai, yang berarti penimbah air. Massau’ atau menimbah, adalah pekerjaan sehari-hari perempuan Mandar yang notabene tinggal di sekitar sungai. Setiap hari mereka berangkat pada jam dini hari, berjalan kaki sekian kilo, masing-masing membawa kurang lebih seratus jerigen yang akan diisinya hingga siang hari lalu pulang dengan cara menghanyutkan diri sambil menarik beratus jerigen tersebut yang nanti dijualnya ke tetangga.

Author: Irwan Syamsir
 
A few months earlier, I was informed by a friend of a film studies major from Makassar who was going to shoot a documentary in Mandar to complete their final project. We met at the Tinambung market, in the middle of Ramadan and talked about the film project, which turned out to be about Towaine Mandar. Towaine, means woman in Mandarin. The meaning of woman, of course, is still general or universal. However, the nature, environment and culture in which women find themselves, greatly determines how they live and move throughout the day. So, this documentary was not only about women, but also about Mandar itself.
 
There are already several places we want to go. One of them is the Mandar River, a large river that stretches into a small town, called Tinambung, and whose upper stream is directly adjacent to Mamasa. It is at the bottom of this river that we meet the passau' uwai women, which means water collectors. Massau' or to collect water, is the daily work of Mandar women who in fact live around the river. Every day they leave home at the early hours of the morning, walk several kilometers, each carrying approximately one hundred jerry cans, which they will fill until noon and then return home by drifting away while pulling the hundreds of jerry cans, which they will sell to neighbours.
 

Flores Writers Festival 2021: Ludung Wa Mai Tanan

Kerangka Kuratorial
Jauh sebelum Mario F Lawi, Felix K Nesi, atau nama-nama-nama lain dikenal sebagai sastrawan Indonesia dari NTT, Flores-NTT telah dikenal memiliki sastrawan, kritikus sastra, ahli tata bahasa, dan peneliti sosial-politik seperti Dami N Toda, Ignas Kleden, Gerson Poyk, Gorys Keraf, Daniel Dhakidae, Jos Daniel Parera, John Dami Mukese, dan Maria Mathildis Banda.

Namun, jauhnya jarak antara generasi tersebut, di antara pelbagai faktor lainnya, posisi Flores-NTT dalam peta sastra Indonesia seperti samar. Daerah ini sering luput dari percakapan sebagai daerah yang juga memproduksi karya sastra Indonesia – dengan dinamika dan sejarahnya sendiri.

Hampir seabad lalu, 21 Juni 1926, Sende Au yang berarti ‘utuslah’, sebuah buku doa berbahasa melayu pertama dicetak oleh percetakan Arnoldus yang dimiliki Serikat Sabda Allah (SVD) di Ende. Peristiwa ini adalah salah satu tonggak penting dalam perkembangan literasi tulis di NTT. Dengan mesin yang didatangkan dari Jerman, pulau ini akhirnya bisa mencetak buku-bukunya sendiri. Di kemudian hari, tahun 1970, percetakan Arnoldus melahirkan Penerbit Nusa Indah, salah satu penerbit yang pernah kondang di Indonesia. Tidak berhenti di situ, tahun 1973, di tahun yang sama berdirinya majalah Bobo, majalah bulanan anak-anak, Kunang-Kunang didirikan.

Curatorial Framework
Long before Mario F Lawi, Felix K Nesi, or other names were known as Indonesian writers from NTT, Flores-NTT was known to have writers, literary critics, grammar experts, and socio-political researchers such as Dami N Toda, Ignas Kleden, Gerson Poyk, Gorys Keraf, Daniel Dhakidae, Jos Daniel Parera, John Dami Mukese, and Maria Mathildis Banda.

However, given the great distance between these generations, among other factors, the position of Flores-NTT on the map of Indonesian literature appears more indistinct. This area is often overlooked as an area that also produces Indonesian literary works – with its own dynamics and history.

Almost a century ago, June 21, 1926, Sende Au which means 'messenger', became the first Malay language prayer book printed by the Arnoldus printery owned by the United Word of God (SVD) in Ende. This event is one of the important milestones in the development of written literacy in NTT. With machines imported from Germany, the island was finally able to print its own books. Later, in 1970, Arnoldus printing house gave birth to Nusa Indah Publisher, one of the most famous publishers in Indonesia. It didn't stop there, in 1973, the same year Bobo magazine was founded, a children's monthly magazine, Kunang-Kunang was founded.

Official Short Film: WE

Seiring telah dirilisnya lagu "We" di platform digital, Riuh Records mempersembahkan sebuah film pendek musik bertajuk "We" disutradarai oleh Aco Tenriyagelli. Berkisah tentang Adin (diperankan Rachel Amanda) bersama Bapak (Teuku Rifnu Wikana) dan Ibu (Riny Hamid) yang menanti pengumuman untuk Adin ke jenjang pendidikan berikutnya. Meskipun antusias, kebimbangan Bapak dan Ibu bercampur aduk dengan doa dan harapan yang dibentangkan untuk Adin di masa depan.