Tahun 2023 melesat begitu lekas. Kita sudah berada di bulan November dan serangkaian kegiatan telah berlangsung dua bulan terakhir ini. Ada yang berlangsung di Jakarta, Makassar, Flores baik online maupun offline. Beberapa informasi yang dapat saya sebutkan di sini ialah “Setangkai Lily dari Makassar” yang dipentaskan di Jakarta Content Week oleh penulis dan aktor Luna Vidya. Selain itu, ada diskusi film oleh Hannah Al Rashid mengenai film dan ruang aman, khususnya untuk perempuan dalam ekosistem yang didominasi oleh lelaki, serta kolaborasi antara Bioskop Online dan JAFF 18: Roadshow Makassar dengan menggelar serangkaian program seperti kelas akting, talk show dan penayangan film.
Newsletter ini sangat terbuka bagi siapapun, terutama jika Anda turut menuliskan mengenai kegiatan-kegiatan seni dan budaya di Makassar maupun di Indonesia Timur. Kami akan sangat senang sekali jika menerima tulisan Anda agar upaya pendokumentasian dan pengarsipan kita di Indonesia, khususnya di Kawasan Timur Indonesia, dapat diakses oleh semakin banyak orang.
Salam,
Rachmat Mustamin
Direktur Program dan Kemitraan Rumata’ ArtSpace
Tim Newsletter Rumata' ArtSpace:
Koordinator: Rachmat Hidayat Mustamin
Kontributor Bulan Desember 2023: Tim Rumata', Agus Citra Sasmita, Andi Nurul Sri Utami, Ifdhal Ibnu
Penerjemah: Edan Runge
Pertunjukan silang media teater, video game, dan sinematografi bertajuk "Waktu Batu, Rumah Yang Terbakar" (WB.RyT) hadir untuk pertama kalinya di Kota. Teater ini dipentaskan di Fort Rotterdam, pada 5-6 Desember 2023.
WB.RyT adalah pementasan yang disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin. Karya ini dipentaskan oleh Garasi Performance Institute berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media.
"Kenapa kami pilih Makassar karena Makassar buat saya pribadi cukup dekat. Saya dengan Garasi sudah berlangsung sejak 2003. Waktu itu ada festival sanggar Merah Putih, nama festivalnya Journal of Woman Art," kata Yudi dalam konferensi pers di Fort Rotterdam, Selasa (5/12/2023) sore.
Merayakan kiprah Christine Hakim di industri perfilman, program bertajuk The Journey of Christine Hakim yang diluncurkan pada Agustus 2023 lalu telah melakukan perjalanan ke dua negara, yaitu Amerika Serikat, di Indonesia Film Festival New York 2023, dan Timor Leste, di Dili International Film Festival 2023.
Di Makassar, pemutaran dan diskusi dilakukan pada 15 Desember 2023. Pemutaran dan diskusi film Tjoet Nya’ Dhien di Baruga Prof. A. Amiruddin, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar yang dihadiri lebih dari 100 mahasiswa, dosen, dan karyawan Universitas Hasanuddin, Makassar. Sore harinya, pemutaran dan diskusi film Daun di Atas Bantal dilakukan di Rumata Art Space. Lebih dari 50 peserta dari berbagai komunitas dan penonton umum hadir untuk menonton dan berdiskusi perihal industri film langsung dengan Christine Hakim.
Pemuda memegang peran yang krusial dalam Pemilu 2024. Studi yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2022 silam menemukan partisipasi pemilih muda pada pemilu 2019 sebesar 91,3%, naik dari 85,9% pada pemilu 2014. Namun ketika ditanya pandangannya, persentase anak muda yang menyatakan minatnya pada politik hanya 1,1%. Banyak pemilih muda yang ragu-ragu, pesimistis terhadap situasi politik dan kurang percaya pada elit politik. Survei yang dilakukan UMN Consulting menemukan 48,25% Gen Z menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2019, sementara 4,86% memutuskan untuk golput, dan 46,88% belum memiliki hak pilih pada tahun tersebut.
Studi lain mengungkapkan bahwa banyak remaja mengidentifikasi diri mereka sebagai golput (bukan partisipan dalam proses politik), apatis secara politik, dan bersikap pasif dalam politik meskipun mereka hidup di lingkungan politik yang lebih liberal. Kurang dari setahun menjelang pemilihan umum serentak 2024, partai politik dan sejumlah kandidat pemimpin sudah bergerak dengan gesit menyusun konstelasi. Di sisi lain, sebagian pemilih tak tahu apa yang harus diamati untuk menentukan arah masa depan Indonesia.
Turut Larut Bersama Perasaan-perasaan Melayari Manusia ke Tubuh Derita
Dissolve with the feelings that travel through a human’s suffering body
Ruangan terdengar senyap, lekat, penuh intim. Selembar kain putih polos, membentang rapi di tengah. Stoples berbentuk tabung kaca dengan penutup berbahan dasar kayu, tergeletak rapi di tepi kain. Sebuah buku catatan kecil lengkap beserta penanya turut menemani Sang Stoples di sana.
Alghifahri Jasin, selanjutnya disebut Agi, duduk di seberang tepi, rambutnya terurai, baju yang ia kenakan lebih mirip kemeja, tetapi seperti berbahan satin berwarna hitam, juga bawahan sarung putih. Suasana berlangsung khidmat, penonton memenuhi ruangan, donat buatan Istri tercinta Agi juga disuguhkan dengan menarik di atas meja di sisi kiri pintu masuk. Namun, kita tidak sedang membahas tentang donat yang rasanya maha lembut itu, tetapi perihal karya tumbuh yang sedang dipresentasikan.
Karya Agi, sengaja ia sebut karya yang tumbuh. Pertama kali membawakan presentasi karya tersebut, ia suguhkan di Tubaba, Lampung. Karya yang ia sebut karya yang tumbuh, bukan tanpa alasan, karena apa yang ditampilkan bukanlah karya utuh melainkan sebuah proses sebelum utuh menjadi karya. Presentasi ini mendapat pantulan dari penonton, selanjutnya Agi akan menangkap segala pantulan itu berupa cerita-cerita penonton tentang laut untuk dia olah dalam proses karyanya. Harapan dilihat bukan hanya menjawab pertanyaan bagaimana laut dan darat itu hidup di mereka. Namun, akan terus menjawab perihal pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan yang lahir kemudian. Bisa jadi perihal bagaimana perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang itu-itu, perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang mulai berubah-ubah, perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang nang ning nong.
The room sounded quiet. It was full of intimacy. A plain white sheet stretched neatly in the middle. A glass tube-shaped jar with a wooden lid, lying neatly on the edge of the cloth. A small notebook complete with a pen accompanied the jar there.
Alghifahri Jasin, hereinafter referred to as Agi, sat on the opposite side of the edge, his hair loose, the clothes he was wearing looked more like a shirt, but were made of black satin, with a white sarong underneath. The atmosphere was solemn, the audience filled the room, donuts made by Agi's beloved wife were also served attractively on the table on the left side of the entrance. However, we are not discussing the donuts that taste so soft, but about the growing work that is being presented.
Agi's work is, as he describes it, work that grows. The first time he presented this work, he presented it in Tubaba, Lampung. He calls this growing work with good reason, because what is displayed is not a complete work but a process before it becomes a complete work. This presentation gets reflections from the audience, then Agi will capture all the reflections in the form of the audience's stories about the sea for him to incorporate into his work process. The hope is not only to answer the question of how the sea and land live together. However, we will continue to answer further questions, questions that arise later. It could be about how they feel about going through the same routine, their feelings about going through a routine that is starting to change, their feelings about going through a routine that is monotonous.
Sineria: Percakapan bersama Theo Rumansara, Manuel Alberto Maia dan Reza Fahriansyah
Sineria: Conversation with Theo Rumansara, Manuel Alberto Maia and Reza Fahriansyah
Inisiatif-inisiatif pewacanaan film dari berbagai wilayah di Indonesia mulai bermunculan di masa pandemi. Mulai dari Jakarta hingga Kupang, Makassar hingga Aceh maupun Jayapura hingga Belitung. Kegiatan-kegiatan diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh berbagai lembaga & komunitas film akar rumput secara independen.
Program SEA-Talk merupakan inisiatif dari Rumata’ ArtSpace-SEAscreen Academy yang membahas mengenai isu-isu terkini dari berbagai kawasan Timur dalam konteks film Indonesia secara luas. Pembahasannya mencakup perumusan wacana kritis berbasis kontekstual serta lebih jauh melihat kondisi film di masa depan.
Abe dikenal sebagai sutradara melalui film Nokas, kemudian menginisiasi Komunitas Film Kupang sebagai platform belajar bersama. Diskusi ini mengarahkan pada alasan mengapa film sebagai medium penting untuk mendistribusikan narasi dari Kupang dan NTT secara luas dan membincangakan bagaimana mulanya Theo masuk ke dunia film dan tahapan-tahapan berkolaborasi dengan Matta Cinema. Reza juga akan bercerita pengamatannya terhadap kecenderungan-kecenderungan film dari Indonesia Timur dan potensinya kedepan.
Pembicara: Theo Rumansara, Manuel Alberto Maia dan Reza Fahriansyah
Moderator Feranda Aries
Penanggap: Riri Riza
Film discourse initiatives from various regions in Indonesia began to emerge during the pandemic. From Jakarta to Kupang, Makassar to Aceh and Jayapura to Belitung, activities are organized by the government and various independent grassroots film institutions & communities.
The SEA-Talk program is an initiative of Rumata' ArtSpace-SEAscreen Academy which discusses current issues from various Eastern Indonesian regions in the broad context of Indonesian films. The discussion includes the formulation of contextually based critical discourse as well as looking further at the condition of films in the future.
Abe, known as a director through the film, Nokas, then initiated the Kupang Film Community as a joint learning platform. This discussion focuses on the reasons why film is an important medium for distributing narratives from Kupang and NTT widely and discusses how Theo first entered the world of film as well as the stages of collaborating with Matta Cinema. Reza will also share his observations on film trends from Eastern Indonesia and their potential for the future.
Speakers: Theo Rumansara, Manuel Alberto Maia and Reza Fahriansyah
Moderator Feranda Aries
Responder: Riri Riza
Rumata’ ArtSpace adalah rumah budaya yang resmi berdiri 18 Februari 2011, dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Selain menawarkan fasilitas yang bisa diakses secara luas khususnya bagi seniman dan komunitas di Makassar, Rumata’ dikenal dengan program-program unggulan yang telah menjadi bagian penting pengembangan kebudayaan dan kesenian, antara lain Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Ratusan seniman dan relawan telah terlibat dalam berbagai kegiatan di Rumata’ dan ribuan pengunjung telah mengikuti berbagai kegiatan Rumata’. Perluasan kerjasama, peningkatan kualitas kegiatan dan upaya melebarkan jangkauan audiens adalah tiga hal mendasar yang akan terus dikerjakan Rumata’ Artspace.
Rumata’ ArtSpace is a cultural institution officially established on the 18thof February 2011. It operates independently and receives most of its funding from public donations. Apart from offering facilities that can be widely accessed, especially by artists and the Makassar community, Rumata’ is famous for its featured programs which have become an important part of cultural and artistic development, for example the Makassar International Writers Festival (MIWF) and SEAScreen Academy. Hundreds of artists and volunteers have participated in various activities at Rumata’ and thousands of visitors have also got involved. The three objectives that Rumata’ ArtSpace will continue to strive for are extending its collaborations, increasing the quality of its activities and growing its audience.
Jika ada saran, masukan dan informasi yang perlu kami ketahui, Anda dapat mengunjungi Rumata' ArtSpace dan menghubungi email serta nomor telepon yang tertera:
Jl. Bontonompo No.12A, Gn. Sari, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Indonesia